The Twins Julian & Julivan : Chapter 4

Chapter 4

Seminggu kemudian, anak-anak SMA Pancasila mulai mendapatkan tugas dari para guru. Tari pun mengajak Ivan untuk mengerjakan tugas tersebut bersama-sama.

“Van, kita kerjain PR bareng ya di rumahku? PR Matematika yang ini aku nggak ngerti banget.”

Ivan tidak langsung menjawab. Ia sama sekali belum pernah main ke rumah temannya selama ini. Kalau ada tugas kelompok, ia memilih menyelesaikannya  di sekolah.

Please, Van. Aku butuh bantuanmu.”

Okay, tapi sebentar saja ya! Soalnya aku harus bantu Ibu.”

“Iya, yuk kita ke rumahku sekarang! Aku hari ini bawa sepeda.”

Mereka pun mulai mengayuh sepeda masing-masing menuju kediaman Tari.

“Tar, kamu ‘kan orang kaya. Memangnya kamu dibolehin bergaul sama aku yang bukan siapa-siapa ini? Orang tuamu nggak akan marah?”

“Santai saja, Van. Aku bisa atasi mereka. Lagian mereka nggak ada di sini, mereka lagi di luar negeri. Aku sendiri di rumah. Makanya aku ajak kamu.”

“Sendiri? Jadi nanti kita hanya berdua saja gitu?”

“Nggak. Di rumah ada ART dan satpam rumah, jadi kita nggak berdua.”

“Oh, gitu. Syukurlah, soalnya aku nggak nyaman kalau hanya berdua, takut ada fitnah.”

“Iya, aku tahu itu.”

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di tujuan. Rumah mewah yang ditinggali oleh Tari.

“Pak Nasrul, buka gerbangnya.”

“Baik, Non.”

“Ayo, Van! Masuk.”

Mereka pun mulai memasuki halaman rumah mewah tersebut. Melihat rumah mewah Tari, Ivan kembali teringat dengan rumahnya di Alam Nusa yang rusak parah akibat tsunami. Ia sering mengunjungi rumah itu, hampir setiap tahun. Namun, rumah itu dibiarkan terbengkalai. Melihat kondisi rumahnya terbengkalai bertahun-tahun, membuat Ivan kehilangan harapan untuk berkumpul kembali dengan keluarganya.

“Van, kamu baik-baik saja? Kok melamun?”

“Aku baik-baik saja, Tar. Aku hanya teringat sama keluargaku.”

“Keluargamu?”

“Iya, sebenarnya Bapak dan Ibu yang tinggal bersamaku bukan orang tua kandungku. Mereka adalah orang tua angkatku sejak peristiwa tsunami Alam Nusa sepuluh tahun yang lalu.”

“Maaf, Van. Aku baru tahu soal ini. Jadi kamu terpisah dengan keluargamu akibat peristiwa itu?”

“Iya, aku pun nggak tahu kondisi mereka. Apakah mereka masih hidup atau sudah tiada.”

“Kamu yang sabar ya! Kita doakan saja yang terbaik buat keluargamu.”

“Amin, Tar. Thanks ya! Maaf, jadi curhat begini.”

It’s okay. Ya sudah, ayo masuk!”

Mereka memasuki rumah itu. Tari mengajak Ivan untuk mengerjakan tugasnya di kamar. Namun, Ivan menolaknya dan memilih untuk mengerjakannya di ruang tamu.

“Kalau di kamar kamu, aku nggak nyaman, Tar. Mending kita kerjakan di sini.”

“Iya, deh. Maaf, bikin kamu nggak nyaman. Oh, iya kamu mau minum apa? Es jeruk? Jus? Atau apa?”

“Nggak usah repot-repot, Tar. Aku masih ada minum di tas. Lebih baik kita mulai saja ya!”

Okay, deh.”

Mereka pun memulai mengerjakan tugas-tugas tersebut. Sekitar satu jam, mereka berhasil menyelesaikan tugas tersebut. Ivan pamit ke kamar mandi.

“Hmm, mumpung Ivan lagi ke kamar mandi, ini saatnya.”

Tari menaburkan serbuk obat tidur ke dalam botol minuman Ivan. 

“Maafin aku ya, Van. Aku sangat butuh bantuanmu. Semoga saja, habis dari kamar mandi, Ivan minum lagi.”

Tak lama, Ivan kembali.

“Tar, aku langsung pamit ya! Aku harus bantu Ibu.”

“Langsung pulang? Makan dululah, aku sudah minta tolong Bibi siapkan makanan buat kita. Makanannya sudah siap tuh di ruang makan “

“Ya sudah, habis makan aku langsung pulang ya!”

Ivan kembali meminum air dari botolnya. Setelah itu, mereka pun segera menuju ruang makan. Mereka berdua mulai menyantap makan siang yang telah dihidangkan.

“Bagaimana, Van? Masakan Bibi enak ‘kan?”

“Enak, Tar. Thanks ya atas jamuan makan siangnya.”

My pleasure, Van.”

Tiba-tiba, Ivan merasakan kepalanya sangat berat.

“Van, kamu baik-baik saja?”

“Kepalaku tiba-tiba pusing, Tar.”

Tak lama, Ivan tak sadarkan diri.

“Bagus, rencanaku berhasil. Saatnya bawa dia ke kamarku.”

“Non, Den Ivannya kenapa?”

“Saya kasih obat tidur, Bi. Bibi tolong bantu saya bawa dia ke kamar.”

“Walah, di bawa ke kamar Non?”

“Iya, kamar saya.”

“Tapi, Non… nanti Bapak marah bagaimana?”

“Itu urusan saya, cepat bantu saya!”

“Baik, Non.”

Tari dan Bi Sum membawa Ivan ke kamar Tari.

“Tidurin di ranjang, Bi.”

“Non, yakin?”

“Yakin, Bi. Cepat jangan banyak tanya!”

Ivan telah dibaringkan di atas ranjang.

“Sekarang Bibi keluar.”

“Non, mau ngapain?”

“Itu urusan saya, Bibi keluar deh. Bibi mau saya pecat?”

“Jangan, Non. Bibi permisi.”

Bi Sum meninggalkan ruangan. Sementara itu, Tari mulai membuka jas sekolah milik Ivan dan membuka beberapa kancing kemeja seragamnya.

“Segini cukup kali ya? Atau aku buka saja bajunya? Semuanya deh.”

Tari mulai melepaskan kemeja Ivan. Setelah itu, Tari membuka seragamnya juga menyisakan tanktopnya berwarna hitam serta rok seragamnya. Tari segera mengambil posisi tidur dengan kepala menyandar di dada pria itu. Kemudian, ia mengambil beberapa foto momen itu dengan kamera ponselnya.

“Fotonya bagus, aku yakin kalau Papa dan Mama lihat foto ini di sosmed pasti mereka akan segera pulang.”

Tari pun membuka akun Instagramnya yang kedua kemudian memposting foto tersebut di feed-nya. Untuk akun kedua ini, tentu saja Tari hanya mengizinkan Papa dan Mamanya saja yang melihat postingan akun tersebut.

Tariinad

[[Foto]]

Tariinad Thankyou for today, Sayang ️ Besok lagi ya? 😜

Tak lama, sang Papa langsung menelepon. Tari dengan santai menerima panggilan tersebut.

“Halo, Pa.”

“Tari! Kamu ini apa-apaan? Bawa cowok tidur di kamar kamu! Kamu ini gila? Ngapain saja kamu sama cowok itu?”

“Santai, Pa. Papa mau tahu banget aku ngapain saja sama pacarku? Makanya Papa pulang. Aku tunggu lho!”

“Kamu ini ya! Benar-benar bikin malu! Sudah nggak naik kelas, sekarang bikin ulah baru! Papa dan Mama itu sibuk tahu di sini! Kamu malah bikin ulah di sana!”

“Aku butuh Papa dan Mama di sini! Cepat pulang! Kalau kalian nggak pulang, aku sebar foto barusan ke akun IG utama aku.”

“Jangan gila kamu! Hapus foto itu sekarang! Jangan bikin malu!”

“Nggak akan aku hapus! Aku kasih waktu satu minggu, kalau kalian nggak pulang aku sebar foto tadi. Bye!”

Tari memutuskan panggilan tersebut.

“Selalu saja! Kerja, kerja, kerja yang dipikirin. Aku butuh kalian, Pa, Ma!”

Tari menoleh ke arah pria di sampingnya.

“Van, maafin aku ya! Semoga kamu nggak marah. Hanya kamu yang bisa bantu aku sekarang.”

—oOo—

Sekitar dua jam tertidur, Ivan terbangun. Ia kaget bukan main mengetahui dirinya berada di sebuah kamar, bertelanjang dada, dan di sampingnya hanya ada Tari yang masih tertidur pulas hanya menggunakan tanktop hitam.

“Tari, bangun! Kenapa aku bisa ada di sini?”

Tari membuka kedua matanya. Ia tersenyum melihat kepanikan di wajah Ivan.

“Memangnya kamu nggak ingat kita habis ngapain?”

“Kita? Memangnya kita melakukan apa? Kamu jangan bercanda ya! Aku nggak ngapa-ngapain kamu.”

“Kamu yakin nggak ingat? Tadi seru lho!”

“Nggak mungkin! Aku yakin kita nggak mungkin ngapa-ngapain.”

Ivan pun segera memakai seragamnya kembali.

“Aku harus pulang.”

“Ets, nggak bisa! Kamu mau lepas tanggung jawab? Kamu harus tanggung jawab, Van!”

“Tanggung jawab apa, Tar? Aku nggak ngapa-ngapain kamu! Seingatku, tadi kepalaku pusing dan pas bangun aku ada di kamar ini bersamamu.”

Tari tersenyum.

“Nggak usah panik, Van. Memang kita nggak ngapa-ngapain di sini. Aku hanya butuh bantuanmu sebentar tadi.”

“Bantuan? Bantuan apa? Bisa kamu jelaskan? Tapi sebelum kamu jelasin, lebih baik kamu pakai baju dulu.”

“Memangnya kamu nggak suka lihat aku pakai tanktop seperti ini?”

“Nggak. Cepat pakai bajumu dan jelaskan semuanya.”

“Iya, sabar.”

Setelah berpakaian, Tari pun mulai menceritakan kejadian tadi.

“Aku ngerti perasaan kamu, tapi jangan gini juga caranya. Cara yang kamu lakukan ini bodoh, Tar. Kalau kamu kenapa-kenapa bagaimana? Mungkin sama aku, kamu baik-baik saja. Kalau sama cowok lain? Aku kecewa sama kamu, Tar. Lebih baik aku pulang sekarang. Permisi.”

“Van, maaf ya? Aku memang keterlaluan. Seharusnya aku nggak berbuat sejauh ini.”

Ivan tak merespon. Ia memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Ia sama sekali tidak menyangka, Tari bakal melakukan tindakan bodoh seperti tadi. Sementara itu, di seberang sana Julian sedang merawat Jenny, ibunya yang baru saja kembali histeris. Sang mama pun menganggap Julian sebagai Ivan.

“Ivan, kamu selamat? Tuh ‘kan tim SAR waktu itu bohong! Buktinya sekarang Mama bisa lihat Ivan ada di depan Mama. Ivan jangan tinggalin Mama lagi ya? Mama nggak bisa kehilangan kamu.”

“Iya, Ma. Ivan selamat. Sekarang Mama minum obatnya dan istirahat. Ivan mau keluar dulu.”

“Jangan, Mama nggak mau kehilangan kamu lagi!”

“Ya, sudah. Ivan akan tetap di samping Mama.”

Tak lama, Jenny tertidur setelah meminum obatnya.

“Ma, Julian sayang sama Mama. Julian nggak mau Mama seperti ini terus. Julian akan berusaha mencari Ivan sampai ketemu. Liburan nanti, aku bakal pergi ke Alam Nusa untuk mencari keberadaan Ivan. Meskipun aku sedikit trauma dengan pantai, aku akan lawan rasa trauma itu demi Mama. Aku yakin Ivan masih hidup.”

To be continued... 🌊🌊

©2022 By WillsonEP


Comments

  1. Chapter kali ini Tari murahan banget! Bodoh! 🤬🤬

    ReplyDelete

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

Little Parents 2 (Chapter 1)