The Twins Julian & Julivan : Chapter 5

Chapter 5

Sudah satu minggu, Ivan memilih menjauh dari gadis bernama Tari. Tari pun sudah mencoba mengajak Ivan bicara, tetapi Ivan selalu menolak. Saat ini, Ivan tengah menikmati semangkok mie ayam di kantin. Melihat keberadaan Ivan di sana, Tari mencoba menghampiri pria itu.

“Van, please maafin aku. Aku janji nggak akan melakukan hal bodoh itu lagi. Jangan begini terus. Aku hanya butuh Papa dan Mamaku pulang. Aku kesepian di rumah, Van. Aku hanya tinggal sama Bi Sum dan Pak Nasrul di rumah besar  itu.”

Ivan tak merespon. Ia memilih tetap melanjutkan aktivitasnya makan mie ayam. Setelah selesai, ia pun mulai menatap gadis di depannya.

“Aku sudah maafin kamu, Tar. Jangan kamu ulangi lagi.”

“Seriusan nih? Aku dimaafin?”

“Iya, Tar. Aku juga minta maaf sudah menjauhimu. Jujur, sejak kejadian itu, aku risih dekat sama kamu.”

It’s okay. Memang sikap gue waktu itu sangat murahan. Gue nggak pikir panjang waktu itu.”

“Sudahlah, nggak perlu dibahas. Oh, iya bagaimana orang tuamu? Sudah pulang?”

“Nggak, mereka sama sekali nggak peduli.”

“Sabar, mungkin mereka sibuk. Kalau urusan mereka sudah selesai, pasti mereka pulang.”

“Iya, Van. Thanks ya!”

“Sudah ah, jangan sedih terus. Nanti cantiknya ilang.”

“Apa kamu bilang? Aku cantik?”

“Iya, sedikit. Lebih baik, sekarang kita ke kelas. Sudah mau bel. Bentar aku bayar mie ayam dulu.”

Wajah Tari memerah.

“Ivan bilang aku cantik? Apa dia juga suka sama aku? Van, aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu, tapi apakah kita bisa berhubungan? Kamu ‘kan lebih muda dari aku,” batin Tari.

—oOo—

Bel pulang sekolah berbunyi. Sebelum pulang, Julian, Angga, dan Arman memutuskan untuk nongkrong di lapangan untuk bermain basket sebentar.

“Jul, gue mau nanya. Kapan gue sama Arman bisa main ke rumah lu? Sejak kita sahabatan, masa kami nggak tahu rumah lu di mana.”

“Bener banget kata, Angga. Kenapa lu nggak kasih tahu kami sih?”

Julian terdiam sejenak.

“Jul, lu baik-baik saja?”

“Gue baik-baik saja. Memangnya kalian mau apa ke rumah gue?”

“Mainlah, Jul. Sekalian kenalan sama orang tua lu juga.”

“Belum saatnya kalian tahu rumah gue di mana. Kalian nggak apa-apa ya? Gue belum siap.”

“Kenapa? Ada yang lu sembunyiin dari kami? Ayolah, Jul! Cerita saja sebenarnya apa yang membuat lu nggak mau cerita.”

“Sebenarnya… ada sebuah peristiwa yang kalian nggak tahu.”

“Peristiwa apa?”

“Kalian tahu peristiwa tsunami sepuluh tahun lalu? Keluarga gue adalah salah satu korbannya. Sejak peristiwa itu, Mama gue mengalami trauma berat dan sering banget histeris. Gue nggak mau kalian jadi merasa nggak nyaman kalau ke rumah.”

“Maaf, gue nggak tahu. Gue prihatin dengarnya.”

“Iya, Jul. Kita benar-benar nggak tahu.”

It’s okay. Mau lanjut main atau pulang?”

“Pulang deh, Jul. Suasananya udah nggak enak. Lu istirahat dan tenangin diri lu.”

Okay, gue balik duluan ya!”

Julian mengoper bola basket yang dipegangnya kepada Angga. Ia mengambil tas sekolahnya dan segera meninggalkan lapangan.

“Gue kaget banget, Man. Gue nggak nyangka selama ini dia selalu terlihat bahagia.”

“Iya, Ga. Gue juga nggak nyangka. Di balik keceriaannya, dia menyimpan kesedihan yang mendalam. Pasti dia trauma banget.”

“Bener banget, gue sempat lihat beritanya di TV, ngeri banget! Nggak kebayang kalau gue mengalaminya secara langsung. Semuanya hancur dan banyak banget korbannya.”

“Sudah ah, kita juga balik yuk!”

“Setuju, daripada kita nggak fokus main.”

Angga dan Arman meninggalkan lapangan. Sebelum pulang, mereka memutuakan untuk membeli minuman dulu di depan sekolah. Tak sengaja, Ivan melihat Ivan yang sedang berboncengan dengan Tari.

“Eh, Man. Itu Julian bukan? Kok dia boncengan sama cewek pakai sepeda sih? Siapa cewek itu?”

“Ah, mana?”

“Itu yang di sana.”

“Nggak mungkin, Ga. Julian hari ini dijemput sopirnya naik mobil. Mungkin lu lagi halu. Julian juga nggak mungkin lagi deket sama cewek.”

“Iya, juga. Julian ‘kan nggak mau mikirin cinta-cintaan dulu. Bener kata lu, mungkin gue lagi halu. Lagian sepeda tadi nggak mungkin banget punya Julian. Sepeda tua loh.”

Julian baru saja tiba di rumah. Tak lama, ia mendengar suara sang mama berteriak histeris. Julian pun bergegas masuk menghampiri kamar Jenny.

“Ivan, kamu ke mana saja? Mama nggak mau kehilangan kamu!”

Jenny langsung memeluk Julian yang baru saja memasuki kamarnya.

“Ivan baru pulang sekolah, Ma. Ivan nggak mungkin ninggalin Mama. Mama yang tenang ya!”

“Oh, gitu. Mama takut banget kehilangan kamu. Oh, iya Julian mana? Nggak pulang bareng kamu?”

“Hmm… Julian lagi… ekskul di sekolah. Lebih baik sekarang Mama istirahat ya! Ivan nggak akan meninggalkan Mama.”

“Janji?”

“Ivan janji, Ma. Mama nggak perlu khawatir.”

“Ya sudah, Mama istirahat. Oh, iya kamu makan siangnya bagaimana? Biar Mama siapin ya?”

“Nggak perlu, Ma. ‘Kan ada Bibi yang siapin. Mama istirahat saja di kamar.”

“Oh, iya. Mama lupa.”

“Ivan, pamit keluar dulu ya! Mau makan siang, lapar banget nih.”

Okay, Sayang. Kalau sudah makan, langsung mandi ya!”

“Iya, Ma. Ivan permisi dulu.”

Okay.”

“Selamat istirahat, Ma.”

Julian keluar dari kamar tersebut dengan lesu. Ia khawatir sekali dengan kondisi sang mama sekarang.

“Van, kamu di mana sih? Mama nyariin kamu terus. Masa aku dianggap sebagai kamu. Aku ini Julian, Van.  Bukan kamu,” batin Julian.

“Den, makan siangnya sudah siap.”

Okay, Bi. Oh, iya Mama hari ini bagaimana, Bi Asih?”

“Dari tadi pagi, Nyonya nangis terus, Den. Nyariin Den Ivan terus. Den Ivan ke mana? Den Ivan ke mana?  Saya bilang masih sekolah, Nyonya.”

“Terus?”

“Nyonya kayak nggak denger perkataan saya, Den. Dia terus saja manggil Den Ivan terus sambil nangis dan histeris. Maaf, kalau Bibi lancang. Apa nggak sebaiknya Nyonya dirawat lagi, Den?”

“Hmm, Bibi ada benarnya juga. Nanti saya diskusiin lagi sama Papa. Saya juga mau yang terbaik buat Mama.”

“Iya, Den. Saya juga nggak tega lihat Nyonya seperti ini terus. Ya sudah, sekarang Den Julian makan dulu ya! Bibi sudah siapin makanan kesukaan Den Julian.”

“Wah, masak apa nih, Bi? Tempe goreng? Ayam goreng?”

“Paket komplit, Den. Semuanya ada.”

“Mantap!”

“Ya sudah, cepat dimakan. Nanti keburu dingin.”

“Siap, Bi. Meluncur ke meja makan.”

—oOo—

Sekitar pukul 18.00, Julian, Charles, dan Jenny sudah berkumpul di ruang makan untuk menikmati makan malam mereka.

“Van, Julian mana? Dia sudah pulang? Kok nggak ikut makan bareng?”

“Hmm, Julian sudah pulang kok, Ma. Tadi dia sudah makan malam di luar, jadi dia langsung ke kamar.”

“Oh, gitu. Ya sudah, kita mulai saja ya makannya.”

Julian dan Charles sempat saling menatap seakan prihatin dengan kondisi Jenny sekarang.

“Kenapa kalian?”

“Nggak, Ma. Papa hanya bingung saja kenapa anak kita makin dewasa, makin ganteng ya? Kamu sudah pacar belum, Van?”

“Belum, Pa. Aku masih mau fokus sekolah. Nggak mau pacaran dulu.,”

“Mama setuju sama Ivan, Pa. Biarlah anak kita fokus dulu sekolahnya.”

“Iya, Ma. Papa ngerti kok. ‘Kan Papa hanya nanya. Siapa tahu anak kita sudah punya pacar?”

Mereka pun memulai makan malamnya. Selesai makan malam, Jenny langsung kembali ke kamarnya. Sementara itu, Julian dan Charles memutuskan untuk membicarakan kondisi Jenny di ruang makan.

“Pa, kondisi Mama kayaknya kembali memburuk. Kata Bi Asih, Mama tadi pagi histeris terus dan mulai nggak bisa ngebedain mana Julian dan mana Ivan.”

“Papa juga sudah tahu. Apa sebaiknya kita bawa lagi Mama ke RSJ lagi untuk menjalani perawatan? Kamu setuju nggak, Julian?”

“Aku sih setuju-setuju saja. Aku mau yang terbaik buat Mama.”

Okay, kalau kamu setuju. Besok pagi, Papa akan antar Mama.”

“Aku boleh ikut, Pa?”

“Kamu lebih baik sekolah saja ya! Biar Mama, Papa yang urus.”

“Ya sudah. Oh, iya bagaimana dengan pencarian Ivan, Pa? Apa sudah ada kabar?”

“Belum, Jul. Sampai sekarang Papa belum menemukan petunjuk apapun. Oh, iya rumah kita di Alam Nusa sudah mulai diperbaiki. Semoga saja suatu saat nanti, Ivan bakal kembali ke sana untuk mencari keberadaan kita.”

“Amin, Pa.”

To be continued...

🌊🌊©2022 By WillsonEP

 

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

Little Parents 2 (Chapter 1)