The Twins Julian & Julivan : Chapter 8
Chapter
8
Liburan telah tiba. Julian,
Angga, dan Arman baru saja tiba di Alam Nusa. Mereka tiba di sana sekitar pukul
15.00 setelah menempuh perjalanan lima jam.
“Akhirnya kita sampe juga,
Jul.”
“Iya, Jul. Rumah lu di sebelah
mana?”
“Sabar, bentar lagi juga
sampai.”
Beberapa saat kemudian, Pak Barli
memberhentikan mobilnya di sebuah rumah.
“Sudah sampai, Den. Ini rumah
Den Julian yang baru selesai di renovasi.”
“Terima kasih, Pak Barli.
Sekarang kita turun ya!”
Mereka berempat turun dari
mobil membawa barangnya masing-masing dan mulai memasuki rumah tersebut. Saat
Julian masuk, ia dapat melihat memori masa lalunya seakan diputar di rumah itu.
“Jul, lu baik-baik saja?”
“Gue baik-baik saja, Ga. Gue
hanya kangen sama rumah ini. Sudah 10 tahun, gue nggak ke sini.”
“Syukurlah, lu baik-baik saja.
Ya sudah, kamar gue sama Arman di mana?”
“Hmm, mau satu kamar atau dua
kamar?”
“Barengan boleh,
sendiri-sendiri juga boleh.”
“Okay, ikut gue. Oh,
iya Pak Barli sudah tahu ‘kan kamarnya?”
“Sudah, Den.”
“Okay, saya sama
teman-teman permisi dulu ya!”
“Silakan, Den.”
Julian mengantar Angga dan
Arman ke kamar tamu.
“Ini kamar kalian, silakan
dipilih.”
“Gue yang ini saja, Jul.”
“Kalau gue yang ini. Kamar lu
di mana, Jul?
“Kamar gue di atas.”
“Oh, gitu. Ya sudah, gue sama
Arman beres-beres dulu.”
“Okay. Habis
beres-beres, kalian langsung istirahat saja. Nanti jam 19.00, gue mau ajak
kalian makan malam di luar.”
“Iya, Jul. Kami masuk dulu.”
“Silakan. Gue juga mau pamit
ke kamar.”
Julian beranjak menuju
kamarnya. Sesampainya di kamar, ia langsung membaringkan diri di tempat tidur.
Kemudian ia mengambil pigura yang diletakkan pada nakas.
“Untung saja rumah ini nggak
hancur sampai rata dengan tanah. Kamar
kita sama sekali nggak ada yang berubah, Van. Sekarang kamu di mana? Aku
sudah kembali ke sini.”
—oOo—
Waktu telah menunjukkan pukul
19.00. Julian, Angga, dan Arman telah bersiap hendak pergi untuk mencari makan.
Tadinya Pak Barli hendak diajak, tetapi ia ternyata sudah makan duluan di
warung nasi dekat rumah. Mereka bertiga pun berangkat dengan berjalan kaki.
“Jul, kita bakal makan apa
nih? Lu tahu makanan enak di sini apaan?”
“Lu nggak usah khawatir, Ga.
Kita percayakan saja pada masternya.”
“Hmm, gue juga nggak tahu.
Sejak kejadian itu, gue langsung pindah dari sini. Kita keliling saja dulu.
Dulu ada seafood enak langganan keluarga gue, tapi gue nggak tahu masih
ada atau nggaknya.”
“Ya sudah, kita coba ke sana.
Kalau nggak ada, kita bisa cari yang lain.”
Mereka pun berangkat menuju
warung seafood yang dimaksud, Warung Seafood Mas Gombrang. Lokasinya
tidak begitu jauh, hanya sekitar satu kilometer.
“Malam, Mas Gombrang! Apa
kabar?” sapa Julian kepada pemilik warung tersebut. “Masih ingat saya, Mas?”
“Malam, Nak. Kabar saya baik.
Hmm, bentar saya ingat-ingat dulu. Kalau nggak salah, Nak Julian bukan? Anaknya
Bu Jenny dan Pak Charles yang kembar ‘kan?”
“Betul banget, Mas.”
“Nak Julian apa kabar? Sudah
lama banget nggak ke sini.”
“Iya, Mas. Sejak kejadian itu,
saya sekeluarga pindah, Mas. Ini lagi liburan sama teman-teman saya. Ga, Man,
kenalin ini Mas Gombrang.”
“Saya Angga.”
“Gombrang.”
“Kalau saya Arman.”
“Gombrang.”
“Oh, gitu. Ya sudah, sekarang
mau pesan apa?” lanjut Mas Gombrang setelah berkenalan dengan Angga dan Arman.
“Udang saus tiram dua kilo,
cumi goreng tepung dua kilo.”
“Siap, ada tambahan lain?”
“Nasinya untuk tiga orang dan
minumnya teh tawar hangat saja. Angga, Arman, kalian nggak ada tambahan?”
“Nggak, Jul. Cukup itu saja.”
“Iya, bener.”
“Tumben banget. Biasanya
kalian banyak maunya.”
“Ya, kami nggak enak sama lu.”
“Mas, pesanannya itu aja. Kami
permisi cari tempat duduk.”
“Siap, silakan.”
Mereka bertiga pergi mencari
tempat duduk. Sementara itu, Mas Gombrang langsung melanjutkan membuatkan
pesanan.
“Warungnya rame banget ya!”
“Iya, Man. Rame banget. Ini
dari dulu begini, Jul?”
“Iya, dari dulu memang rame
kayak gini.”
Selang 20 menit, pesanan
mereka diantar. Mereka pun memulai makan malamnya. Ketika Julian, Angga, dan
Arman selesai makan, tiba-tiba Mas Gombrang menghampiri meja mereka.
“Bagaimana makanannya?”
“Enak, Mas. Ini seafood
terenak yang pernah saya makan!” jawab Angga bersemangat.
“Iya, Mas. Enak banget,”
tambah Arman.
“Syukurlah, kalau kalian suka.”
“Jadi berapa totalnya, Mas?”
“215 ribu, Nak Julian.”
Julian menyerahkan dua lembar
100 ribuan dan selembar 20 ribuan.
“Kembaliannya lima ribu ya!
Terima kasih sudah mampir.”
“Sama-sama, Mas. Kami pamit
dulu.”
Mereka bertiga beranjak dari
tempat tersebut. Dalam perjalanan pulang, Julian kembali menceritakan kisah
keluarganya sebelum tsunami terjadi.
—oOo—
Di seberang sana, Ivan sedang
bekerja paruh waktu untuk mengisi liburannya. Sekalian untuk membantu Dela, ibu
angkatnya yang akhir-akhir ini kesehatannya menurun. Tak terasa waktu telah
menunjukkan pukul 21.00 di mana kafe tersebut harus tutup. Ivan pun bergegas
pulang setelah semua pekerjaannya selesai.
“Pak, Bu, Ivan pulang.”
“Akhirnya kamu pulang juga,
Nak,” sambut Darius. “Van, Bapak mau bicara sama kamu sebentar.”
“Bicara apa, Pak?”
“Sebaiknya kamu berhenti dari
pekerjaanmu sekarang. Kamu fokus saja belajar. Untuk masalah uang, biar Bapak dan
Ibu yang cari.”
“Tapi, Pak… Ivan hanya ingin
membantu, apalagi akhir-akhir ini kesehatan Ibu menurun. Ivan akan tetap
bekerja buat bantu kalian.”
“Itu semua tugas Bapak, Ivan!
Bukan tugasmu! Tugasmu ya belajar! Pokoknya kamu harus berhenti dari
pekerjaanmu! Bapak nggak mau kamu kelelahan, pulang malem setiap hari, apalagi
kalau kamu sudah mulai masuk sekolah lagi. Kapan kamu belajarnya, Van? Kamu pertimbangkan
keputusanmu. Bapak masih bisa cari uang. Sekarang kamu makan malam dan
istirahat.”
“Baik, Pak. Ivan permisi ke
ruang makan dulu.”
Ivan berlalu ke ruang makan.
“Van, maafin Bapak. Gara-gara
kamu tinggal sama kami, kamu jadi hidup susah seperti ini. Apa Bapak harus mencari
keberadaan orang tua kandung kamu? Tapi… Bapak dan Ibu nggak mau kehilangan
kamu, Van. Kami sudah menganggapmu seperti anak kami sendiri. Sejak Joko nggak
ada, kamulah yang kami punya.”
Setelah menemani Ivan makan
malam, Darius masuk ke kamar menghampiri sang istri yang sedang terbaring
lemah.
“Bu, kita harus bicara.”
Dela menoleh.
“Bicara apa, Pak?”
“Sepertinya kita harus memberitahukan Ivan bahwa keluarga
kandungnya masih hidup.”
“Jangan, Pak. Aku nggak mau kehilangan Ivan. Ivan anak
kita, Pak.”
“Kamu nggak boleh egois, Bu. Bapak yakin keluarga kandungnya
masih mengharapkan dia kembali. Ini demi kebaikan Ivan juga, Bu. Bapak nggak
mau Ivan sekolahnya terganggu karena harus bekerja seperti ini untuk membantu
keuangan kita.”
Dela terdiam.
“Aku tetap nggak setuju, Pak. Aku mau Ivan tetap tinggal
bersama kita. Lagi pula, kita juga berhak atas Ivan. Kita sudah merawat dia
selama sepuluh tahun, Pak. Pokoknya jangan beritahu Ivan soal ini. Biarlah dia
mengganggap keluarganya sudah tiada akibat tsunami.”
“Ya sudah, terserah. Kamu itu ya dari dulu nggak pernah
berubah! Selalu keras kepala!”
To be continued...
©2022 By WillsonEP
Jangan egois ya, Bu! Ivan berhak kembali ke keluarganya! 😡😡
ReplyDelete