The Twins Julian & Julivan : Chapter 9
Chapter
9
Keesokan harinya…
Julian dan kedua sahabatnya
sedang berada di pantai. Mereka berkeliling untuk menanyakan ke beberapa
pengunjung soal keberadaan Ivan. Namun, usaha mereka gagal.
“Van, kamu di mana? Kenapa
nggak ada orang yang melihatmu di sini?” batin Julian sambil menatap laut di
depannya.
“Sabar ya, Jul. Gue yakin kita
pasti dapat petunjuk soal keberadaan Ivan. Sekarang kita makan siang dulu. Gue
yang traktir deh. Bakso bagaimana?”
“Boleh, Ga. Gue juga sudah
lapar banget. Jul, ayo kita makan bakso! Nanti kita lanjutkan lagi
pencariannya.”
“Okay, kita makan
dulu.”
Mereka pun menghampiri pedagang
bakso dan segera memesan tiga porsi bakso.
“Eh, Nak Ivan akhirnya datang
lagi. Sudah lama banget nggak ke sini. Ke mana saja?”
“Bapak kenal sama Ivan?”
“Ya, kenal atuh. ‘Kan dulu
langganan setia bakso saya. Mau pesan yang kayak biasa?”
“Hmm, boleh, tapi saya bukan
Ivan, Pak. Saya Julian, kembarannya.”
“Kembaran? Oh, gitu. Saya baru
tahu Nak Ivan punya kembaran.”
“Iya, Pak. Bapak tahu
keberadaan Ivan di mana? Teman saya ini lagi nyari kembarannya.”
“Iya, Pak. Kami butuh
informasi keberadaannya sekarang,” tambah Arman.
“Waduh, saya juga kurang tahu.
Dia nggak pernah cerita rumahnya di mananya, tapi yang saya tahu nama Bapaknya
Darius.”
“Darius?”
“Iya, Nak. Oh, iya
teman-temannya pesanannya mau di samain?”
“Boleh, Pak. Samain aja,” respon
Angga cepat.
Setelah disiapkan, pesanan
mereka diantar. Mereka mulai menyantap seporsi bakso di depannya masing-masing.
Selang 10 menit, mereka pun mulai mencari keberadaan rumah Darius.
“Akhirnya kita ketemu juga
sama rumah Pak Darius, Ga, Man. Semoga saja ini betul rumah Pak Darius yang
kita cari.”
“Amin, Jul, tapi kok rumahnya
sepi ya? Kayak nggak ada orang di dalam.”
“Hmm, coba dulu saja, Jul.
Siapa tahu mereka sedang tidur siang?” tambah Arman.
“Permisi, permisi.”
“Mau cari siapa, Nak?” tanya
seseorang Ibu yang tiba-tiba datang hendak masuk ke rumah sebelah. Julian,
Angga, dan Arman menoleh.
“Eh, Nak Ivan. Lagi liburan ya
bareng teman-temannya dari kota! Bapak dan Ibu gimana sehat? Mereka nggak
ikut?”
“Maaf, Bu. Saya bukan Ivan.
Saya Julian, kembarannya Ivan.”
“Kembaran? Nak Ivan punya
kembaran?”
“Iya, Bu. Teman saya ini
sedang mencari kembarannya yang hilang 10 tahun lalu. Ibu tahu keberadaan Pak
Darius dan keluarga sekarang?”
“Iya, Bu. Kami butuh informasi
sedikit saja. Ibu bisa bantu kami?”
“Maaf, Nak. Ibu nggak tahu
keberadaan mereka sekarang. Ibu hanya tahu mereka pindah ke kota karena Pak
Darius dipindahtugas. Untuk ke mananya saya juga kurang tahu.”
“Ibu yakin nggak tahu?”
“Ibu nggak tahu apa-apa. Sudah
ya, Ibu masuk dulu,” jawab ibu itu panik sambil segera masuk ke rumahnya.
“Jul, lu percaya sama Ibu itu?
Gue sih yakin dia nutupin sesuatu dari kita.”
“Iya, Jul. Gue juga yakin dia
tahu keberadaan Pak Darius dan saudara kembar lu sekarang,” tambah Arman.
“Iya, gue tahu dia berbohong.
Kita datang lagi besok. Pokoknya gue harus dapat informasi soal Ivan. Gue mau
Mama sembuh.”
“Amin, Jul. Lu yang sabar ya!
Gue yakin lu bisa lewatin ini semua.”
“Iya, Jul. Gue sama Angga akan
selalu dukung lu.”
“Thanks, kalian emang brothers.”
“Ya sudah, sekarang kita mau
ngapain? Pulang atau lanjut main di pantai?”
“Kalian maunya bagaimana?”
“Lanjut pantai!”
“Okay, kita main di
pantai. Kita lupakan sejenak masalah keluarga gue. Kita harus bersenang-senang
di sini.”
—oOo—
Ivan sedang berada di sebuah
taman dekat rumahnya. Ia sedang memikirkan omongan sang bapak kemarin malam.
“Apa gue berhenti saja ya
kerja part time ? Semua omongan Bapak tadi malam ada benarnya juga.
Setiap hari aku pulang malam. Kalau aku sudah mulai sekolah lagi, aku kapan belajarnya?
Kalau nilaiku turun bagaimana? Bisa-bisa beasiswaku dicabut dan akan menambah biaya
lagi.”
“Van, kamu di sini juga rupanya.
Muka kamu kok kusut banget? Lagi ada masalah?”
“Eh, Tar. Iya, aku ada sedikit
masalah. Bapak nggak setuju aku kerja part time. Dia mau aku berhenti
secepatnya. Menurutmu bagaimana?”
“Alasannya?”
“Dia takut sekolahku
terganggu.”
“Hmm, Bapak kamu ada benarnya
juga. Kalau saran aku, kamu ikuti saja kemauannya. Itu semua demi kebaikkan
kamu juga.”
“Okay. Oh, iya kamu
ngapain ke sini?”
“Bosen di rumah. Orang tuaku
kapan pulang ya, Van? Aku kangen banget sama mereka. Apa mereka nggak peduli
lagi sama aku?”
“Kamu jangan ngomong seperti itu.
Mereka pasti pulang, Tar.”
“Kapan?”
“Kalau urusan mereka sudah
selesai, mereka pasti pulang.”
“Thanks ya, Van. Aku
senang bisa sahabatan sama kamu. Kamu satu-satunya yang aku punya sekarang.”
“Sama-sama, Tar. Aku juga mau
berterima kasih sama kamu. Kamu sudah mau jadi sahabat aku. Meskipun kamu tahu kondisiku
sekarang.”
“Tidak apa. Aku ngerti kok.
Oh, iya bagaimana kondisi Ibu kamu sekarang? Sudah membaik?”
“Puji Tuhan, Tar. Kondisinya
sudah membaik. Mungkin, besok sudah mulai jualan lagi.”
“Syukurlah, aku senang
dengarnya.”
Ivan beranjak dari tempat
duduknya.
“Tar, kamu tunggu sebentar ya
di sini. Aku mau ke sana dulu.”
“Okay, mau ngapain?”
“Ada deh.”
Ivan pergi menghampiri tukang
gulali yang lokasinya tidak begitu jauh.
“Gulalinya berapaan, Mang?”
“Dua belas ribu. Mau beli
berapa?”
“Saya ambil satu ya! Ini uangnya.”
“Oke, terima kasih.”
“Sama-sama.”
Ivan kembali ke Tari.
“Kamu beli gulali?”
“Iya, ini buat kamu.”
“Kamu nggak beli?”
“Hmm, nggak. Uangku pas-pasan.”
“Oh, gitu. Ya sudah, kita
makan berdua gimana?”
“Nggak usah, ini buat kamu
saja.”
“Ya, nggak bisa dong. Kamu
‘kan sudah kasih gulali ini ke aku. Jadi aku bebas dong mau berbagi ke siapa
pun.”
Tari membuka bungkusan gulali
tersebut dan langsung menyuapi lelaki itu.
“Gimana, Van? Enak nggak
gulalinya.”
“Enak, kamu cobain juga dong!
Sini aku suapin.” Ivan pun mulai menyuapi Tari.
“Enak ‘kan?”
“Iya, enak.”
“Maaf, hanya bisa beli satu.”
“Nggak, apa. Aku senang kok
bisa makan satu berdua kayak gini.”
Mereka pun akhirnya saling
suap-suapan hingga gulali tersebut habis. Setelah habis, mereka pun kembali
mengobrol-mengobrol santai. Ivan memilih untuk menceritakan kisah keluarga
kandungnya.
“Jadi nama saudara kembar
kamu, Julian?”
“Iya, Julian. Wajahnya persis
banget kayak aku.”
“Ya, iya, ‘kan kalian kembar.”
“Mereka semua masih hidup
nggak ya?”
“Hmm, ya kemungkinan hidup
masih ada, Van. Kamu sudah coba cari mereka?”
Ivan menggeleng. “Cari ke
mana, Tar? Aku bingung harus cari mereka ke mana.”
“Mungkin kita coba cari lewat
sosmed? Siapa tahu saudara kembarmu punya Instagram, Facebook, Twitter?”
“Kamu tahu ‘kan aku nggak
punya HP, apalagi punya sosmed.”
“Ya, aku tahu itu. Kamu bisa
pinjam HPku. Namanya lengkapnya Julian Charles Abraham?”
“Iya, memangnya bakal nemu
ya?”
“Ya, siapa tahu bisa ketemu.”
Tari mengambil ponselnya yang
ia taruh di saku celana. Ia pun mulai mencari akun sosmed Julian. Beberapa username
telah mereka coba cari, tetapi mereka belum berhasil menemukan akun yang dimaksud.
“Sudah beberapa username kita
coba, tapi nggak ketemu juga. Apa mungkin kembaranmu nggak main sosmed juga?”
“Ya, aku nggak tahu, tapi kayaknya kecil sih kalau dia nggak punya
sosmed. Dia pasti punya HP nggak kayak aku. Mungkin, username-nya dia
pakai nama lain yang tidak lazim?”
“Hmm, bener juga. Foto profil
pun belum tentu pakai foto asli.”
“Kayaknya nggak mungkin kita
bakal ketemu sama akun sosmed Julian, Tar. Kita berhenti saja ya!”
“Jangan nyerah dong. Aku akan
bantu cari keluargamu.”
“Thanks, kamu mau bantu
aku. Sekarang, kamu pulang ya! Aku harus ke kafe sekarang. Sudah jam segini.”
“Kok masuk siang? Biasanya
sore.”
“Kafe lagi penuh-penuhnya
sejak kemarin. Makanya mereka butuh orang.”
“Oh, gitu. Semangat kerjanya, Van.
Aku permisi pulang dulu.”
“Hati-hati di jalan.”
“Kamu juga.”
“Iya.”
Setelah Tari pamit, tiba-tiba
Ivan merasakan sakit di dadanya.
“Argh, kenapa harus sakit lagi
sih? Kenapa akhir-akhir ini jadi sering sakit ya? Padahal dulu, sakitnya nggak
sesering ini. Ivan, kamu nggak boleh sakit. Kamu harus kerja sekarang.”
To be continued...
©2022 By WillsonEP
Ivan kenapa? ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDeleteSakit :(
Delete