My Love Destiny (Chapter 3)
Chapter
3
Hari pernikahanku dengan Novia
tiba. Tadi pagi aku dan Novia telah melangsungkan pernikahan di sebuah gereja.
Kini aku dan Novia telah sah menjadi pasangan suami-istri. Aku bersyukur
seluruh rangkaian acara hari ini berlangsung dengan lancar. Saat ini, aku dan
Novia barus saja sampai di rumah setelah acara resepsi.
“Akhirnya sampai juga. Mulai
hari ini kita akan tinggal di sini. Anggap saja rumah sendiri ya. Jangan
malu-malu.”
“Oke. Kamarnya di mana? Saya
mau bersih-bersih.”
“Mari saya antar. Kamarnya ada
di atas.”
Aku mengajak Novia naik ke
atas, menuju kamarku.
“Ini kamar kamu?”
“Iya, tapi mulai sekarang jadi
kamar kita berdua.”
“Kamar kita berdua? Kita tidur
sekamar?”
“Iya, dong. Kita ‘kan sudah
menikah.”
“Saya tahu, tapi kita ‘kan
menikah karena dijodohkan. Saya nggak mau sekamar sama kamu.”
“Kalau nggak mau sekamar, kamu
mau tidur di mana?”
“Memangnya rumah segede ini
kamarnya hanya satu?”
“Nggak sih, tapi kamar yang
siap baru satu.”
“Maksudnya?”
“Kamar yang lain belum
dibersihkan. Masih banyak debunya karena jarang ditempati. Kalau kamu mau
bersihin sih terserah.”
“Ya, udah. Kita sekamar, tapi
ada syaratnya.”
“Syarat? Apa syaratnya?”
“Syarat pertama, selama kita
sekamar kamu nggak boleh sentuh saya.”
“Oke, jadi nggak boleh sentuh-sentuh
kamu. Ada lagi?”
“Tentu ada. Syarat kedua,
seluruh aktivitas ganti baju wajib dilakukan di kamar mandi. Gimana setuju
nggak?”
“Setuju. Saya janji akan
memenuhi syarat yang kamu berikan.”
“Saya pegang janji kamu,
Keenan. Bytheway, di mana baju-baju saya berada? Katanya kamu sudah menyuruh
anak buah untuk membawa bajuku ke sini.”
“Semua baju kamu sudah di
dalam lemari.”
“Lemari? Siapa yang
memasukkannya?”
“Iya, Bi Tum yang memasukkan
semuanya.”
“Oh, saya pikir kamu lancang
sekali membongkar koper orang lain sembarangan.”
“Saya bukan orang lain, Nov.
Sekarang saya suami kamu.”
“Ingat, suami itu hanya
status. Bagi saya kamu hanya lelaki asing yang baru saya kenal, Keenan Aditya.”
Novia membuka lemari,
mengambil pakaian ganti serta handuk, kemudian beranjak menuju kamar mandi.
Kini Novia telah berada di dalam kamar mandi. Melihat perempuan itu masuk ke
kamar mandi menggunakan gaun pernikahan, membuatku bertanya-tanya. Apa dia bisa
membuka resleting gaunnya itu sendirian?
“Nov, apa kamu butuh bantuan
saya untuk membuka resleting gaun kamu?”
“Nggak perlu, Keenan! Saya
bisa sendiri. Bilang saja kamu mau mencari kesempatan dalam kesempitan ‘kan?”
“Kamu terlalu berprasangka
buruk. Niat saya hanya mau membantu. Kalau nggak mau, ya udah.”
Setelah aku berbicara
demikian, Novia tidak menganggapi lagi. Mungkin dia sudah berhasil membuka resleting
gaunnya. Syukurlah, jadi aku tidak perlu adu mulut lagi untuk masalah
resleting. Kuputuskan untuk menonton TV sambil menunggu Novia selesai mandi.
Sekitar lima menit kemudian, tiba-tiba saja perempuan itu memanggilku.
“Keenan, Keenan!” panggilnya
dari dalam kamar mandi.
“Ada apa, Nov?”
“Sekarang saya perlu bantuan
kamu. Resletingnya agak macet. Susah banget bukanya. Kamu bisa tolong bukain?”
“Tentu.”
Aku segera beranjak,
menghampiri Novia di dalam kamar mandi.
“Kenapa nggak minta bantuan
dari tadi?”
“Saya pikir gampang, eh
ternyata macet.”
“Ya, sudah. Saya izin bantu
ya?”
“Okay.”
Tak butuh waktu lama, aku
berhasil membantu menurunkan resleting gaun tersebut yang sempat macet karena terdapat
kain yang nyangkut
“Thanks, Keenan.”
“Ada lagi yang bisa saya
bantu, Nov?”
“Nggak ada. Kamu bisa keluar
sekarang.”
“Okay. Mandinya jangan
lama-lama ya? Ini sudah cukup larut malam.”
“Iya, saya mandi nggak lama
kok.”
Aku beranjak keluar,
melanjutkan tontonanku. Sementara Novia memulai aktivitas mandinya. 10 menit
berlalu, Novia keluar kamar mandi sudah berpakaian piyama merah maroon.
“Sekarang giliran kamu yang
mandi.”
“Okay.”
Aku beranjak dari tempat
tidur, mengambil pakaian ganti serta handuk dari dalam lemari, kemudian masuk
ke kamar mandi. Sekarang giliranku untuk mandi. 10 menit berlalu, aku keluar kamar
mandi dengan mengenakan kaos putih dan celana pendek hitam. Kulihat Novia tidak
berada di kamar. Ke mana perempuan itu?
Apa mungkin dia pergi ke dapur
untuk minum? Aku memutuskan untuk mencari keberadaan Novia. Ternyata dia sedang
di dapur.
“Kamu lagi ngapain, Nov?”
“Eh, Keenan. Kamu udah beres
mandi ternyata,” responnya sedikit kaget.
“Kamu lagi ngapain?”
“Masak mie instan. Tiba-tiba
lapar. Kamu mau bikin juga?”
“Nggak. Saya ke sini nyari
kamu, Nov.”
“Ada apa kamu nyari saya?”
“Saya nggak mau kehilangan
kamu, Nov. Saya cinta sama kamu.”
“Masa? Kalau menurut saya,
jangan terlalu terburu-buru mencintai seseorang. Takutnya nggak sesuai ekspetasi
kamu dan akhirnya kecewa. Kita baru kenal loh.”
“Ya, saya paham itu, tapi saya
yakin kamu adalah takdir cinta saya. Saya akan perjuangkan cinta saya ke kamu.”
“Itu terserah kamu ya. Kalau
kamu kecewa, saya nggak mau disalahkan,” ujarnya sambil menuangkan mie yang
telah selesai direbus ke dalam mangkok.
“Kamu yakin nggak mau mie
instan?”
“Yakin, saya udah kenyang.
Saya temani kamu makan aja boleh?”
“Boleh, tapi jangan liatin
saya terus.”
“Kenapa?”
“Nggak nyaman aja makan sambil
diliatin.”
“Oke, saya nggak akan liatin
kamu terus-terusan.”
Selesai Novia menyantap mie
instan, kami kembali ke kamar.
“Sekarang kita mau ngapain,
Nov?”
“Tidurlah, ngapain lagi coba!”
ujarnya sambil beranjak menuju kamar mandi.
“Kamu mau ngapain lagi?”
“Sikat gigi.”
“Oh, okay. Saya tunggu
kamu.”
Aku segera beralih ke tempat
tidur berukuran king size yang sekarang masih dipenuhi dengan kelopak
bunga yang posisinya sudah agak berantakan. Kuputuskan untuk membereskan
kelopak-kelopak bunga tersebut sebelum aku menidurinya lagi. Menurutku,
bunga-bunga seperti ini tidak perlu ada sebab malam ini kami tidak mungkin
melakukan hal itu. Novia saja tidak mau kusentuh, bagaimana kami bisa
melakukannya. Beberapa saat kemudian, Novia kembali.
“Kamu yakin nggak mau
melakukannya, Nov?”
“Melakukan apa yang kamu
maksud?”
“Jangan pura-pura tidak
mengerti maksud saya.”
“Oh, soal itu. Tentu kita
tidak akan melakukan hal itu malam ini. Kamu lupa dengan syarat yang saya
berikan?”
“Saya nggak lupa. Barangkali
kamu berubah pikiran, tentu saya akan dengan senang hati melakukannya.”
“Dasar mesum! Pokoknya nggak
ada sentuh-sentuhan atau saya tidur di sofa!”
“Saya nggak mesum. Kalau kamu
nggak mau, saya nggak akan paksa kamu.”
“Bagus kalau kamu mengerti. Kalau
kamu sampai berani macam-macam, saya nggak akan segan-segan menendang milikmu!”
“Ampun, Sayang. Sadis amat!
Saya ini tipe lelaki yang memegang janji. Kalau saya udah janji nggak akan
sentuh kamu, saya nggak akan sentuh kamu.”
“Oh, ya? Kita buktikan saja
ya? Saya butuh bukti.”
“Oke, siapa takut.”
“Guling ini sebagai pembatas.
Awas aja sampe kamu melewati batas ini. Habis kamu!”
“Saya nggak akan melewati
batas yang kamu tentukan. Good nite, Sayang.”
“Nggak usah basa-basi.”
“Ini bukan basa-basi. Ini ungkapan
dari hati saya yang paling dalam.”
“Sudah jangan berisik! Saya
mau tidur.”
“Iya, iya.”
Tidak apa, Novia. Mungkin malam
ini kita nggak melakukan hal itu, tapi aku sangat yakin suatu hari nanti kita
akan melakukan hubungan suami-istri. Saya akan berusaha bersabar hingga waktu
itu tiba. Selamat tidur, Novia Alexandra. Semoga tidurmu nyenyak ya.
-oOo-
Keesokan harinya. Aku bangun
sekitar pukul 06.00 pagi. Saat aku bangun, Novia sudah tidak ada di sampingku. Mungkin
dia sedang di kamar mandi atau sedang menyiapkan sarapan di dapur. Kuputuskan
untuk mencari keberadaan perempuan itu.
“Selamat pagi, Sayang. Kamu
lagi masak apa pagi ini?”
“Pagi. Ini lagi masak yang simple.
Pagi ini makan nasi goreng telor aja nggak apa-apa ‘kan?”
“It’s okay. Apapun yang
kamu masak, pasti aku suka.”
“Yakin? Kalau saya masak pete
atau jengkol, kamu bakal suka?”
“Khusus dua makanan itu,
nggak. Saya nggak suka.”
“Memangnya udah pernah coba?”
“Udah, rasanya nggak enak
banget.”
Novia tertawa kecil. “Aneh, padahal
pete dan jengkol enak loh.”
“Ya, menurut kamu enak. Kalau
saya sih nggak suka. Oh, iya gimana semalam? Kamu bisa tidur?”
“Bisa kok. Saya ini tipe orang
yang cepat beradaptasi.”
“Oh, berarti bisa langsung beradaptasi
jadi istri yang baik ya?”
“Tergantung apa dulu yang
dilakukan. Kalau untuk hal malam pertama, saya belum bisa.”
“Why? Kamu nggak
percaya kalau saya benar-benar mencintaimu?”
“Pertama, kita nikah karena
dijodohkan. Kedua, saya belum mencintaimu, Keenan. Ketiga, saya nggak percaya
namanya cinta. Cinta itu mudah berubah seiring berjalannya waktu.”
“Kalau cinta saya ke kamu
nggak seperti itu, Nov. Cinta saya akan selamanya untukmu.”
Novia hanya diam tidak
menanggapi pernyataanku. Ia melanjutkan aktivitas memasaknya dan mulai
menuangkan nasi goreng buatannya di atas piring.
“Sekarang makan, nggak usah
bahas hal itu lagi.”
“Okay, kita mulai sarapannya.”
Kami mulai menyantap nasi
goreng masing-masing. Ternyata selain cantik, Novia juga jago masak. Nasi
gorengnya sangat enak dan sesuai seleraku. Dari bintang satu sampai lima, aku
kasih nilai sempurna untuk nasi goreng buatannya.
“Ini enak banget, Nov. Makasih
ya udah masakin saya pagi ini. Saya suka masakan kamu.”
“Sama-sama. Oh, iya tadi saya
liat bahan makanan di dapur udah nggak banyak. Hanya ada mie instan, telor, dan
sedikit beras. Gimana kalau saya belanja bulanan dulu? Mumpung saya cuti hari
ini.”
“Boleh, saya temani kamu?”
“Hmm … boleh, tapi nanti kamu
yang bawa belanjaannya ya?”
“Nggak masalah. Saya siap-siap
dulu kalau gitu.”
“Oke, kamu mandi. Biar saya
yang cuci piring kotornya.”
“Makasih ya?”
“Iya.”
-oOo-
Selesai bersiap, kami pun berangkat
menuju pasar swalayan terdekat. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersama
Novia dengan belanja seperti ini. Aku sangat berharap ini adalah salah satu
jalan agar aku bisa meluluhkan hatinya.
“Budget belanjanya
berapa?” tanya Novia sambil mengambil troli yang disediakan.
“Biasanya berapa kalau untuk
hidup berdua?”
“Ya, tergantung belanjanya apa
aja.”
“Ya, sudah beli seperlunya aja
dulu. Kalau ada yang kurang, bisa nanti.”
“Oke, berarti seperlunya dulu
ya?”
“Iya.”
Kami mulai berkeliling untuk
belanja kebutuhan rumah. Jujur, aku sama sekali kurang tahu apa saja yang harus
dibeli saat belanja bulanan. Biasanya semua urusan belanja diurus oleh Bi Tum
atau Mama. Sedangkan untuk urusan pembayaran masih ditanggung oleh Papa. Sementara
uang hasil kerjaku di CMTV untuk keperluanku sehari-hari, seperti isi bahan
bakar kendaraan, bayar parkir, makan di luar, dan sebagiannya lagi ditabung
untuk masa depan.
Kurang lebih satu jam setengah
kami berkeliling, sekarang saatnya untuk membayar belanjaan di kasir. Setelah proses
pembayaran selesai, aku pamit ke toilet sebentar. Aku meminta Novia untuk
menunggu di sebuah kedai roti yang cukup terkenal.
“Kamu boleh beli roti kalau mau
sambil tunggu saya.”
“Memangnya bakal lama?”
“Ya, sepertinya. Saya agak
sakit perut. Tadi pagi belum soalnya.”
“Ya, sudah. Saya tunggu di
sini.”
“Nih, kartu buat kamu belanja.
PIN-nya tanggal pernikahan kita.”
Aku segera menuju toilet
setelah menyerahkan kartu debitku pada Novia. Perutku mules sekali. Untungnya
aku masuk toilet tepat waktu. Telat sedikit, mungkin … tidak usah dilanjut
juga kalian pasti paham. Sekitar 15 menit, aku menyelesaikan aktivitas buang
air besarku pagi ini.
Aku segera beranjak
menghampiri Novia di tempat tadi. Dari kejauhan, kulihat Novia sedang bersama
seorang lelaki yang tidak kukenali. Mungkin temannya, tapi dari ekspresi Novia
sepertinya dia kesal dengan lelaki tersebut. Apa mungkin lelaki itu mengganggu
kenyamanan istriku? Aku nggak bisa tinggal diam!
“Ada apa ini? Kamu nggak
apa-apa, Nov? Apa yang lelaki ini lakukan?”
To be continued ... © 2024 WillsonEP
Terima kasih telah membaca chapter ini.☺️
Next
ReplyDeleteNext thor ditunggu
ReplyDelete