Terror Games (Chapter 3)

Chapter 3

Sekitar pukul 10.00 pagi tadi, jenazah Maxime telah dimakamkan tepat di samping makam sang istri, Jenny Ardiaman sesuai permintaannya beberapa minggu lalu. Julian beserta para pelayat yang ikut mengantar ke pemakaman telah berada di rumah duka. Satu per satu para pelayat mulai meninggalkan rumah duka untuk pulang ke rumah masing-masing setelah berpamitan dengan Julian.

“Jul, kita pulang sekarang ya? Aku antar kamu pulang.”

“Hmm … aku nggak mau pulang, Jess.”

“Terus kamu mau ke mana?”

“Kamu bisa antar aku ke makam Papa?”

“Aku tahu kamu lagi sedih sekarang. Tadi kita baru dari sana. Aku antar pulang saja ya? Kamu perlu istirahat. Besok aku akan anter kamu ke makam Om Maxime.”

“Ya, udah. Beneran ya?”

“Iya, Pacar,” respon Jessica sambil membukakan pintu mobil miliknya untuk Julian. “Silakan masuk, Pacar,” lanjut Jessica. Julian tersenyum kecil, kemudian ia mulai memasuki mobil sang kekasih. Tak lama, Jessica menyusul masuk dan duduk di kursi pengemudi.

“Makasih ya, Jess. Kamu selama tiga hari ini udah bantuin aku mengurus semuanya.”

“Sama-sama, Jul. Aku senang bisa bantu kamu. Kita jalan sekarang ya?”

“Oke.”

Jessica mulai melajutkan mobilnya meninggalkan area rumah duka menuju kediaman Julian. Sepanjang perjalanan Julian lebih banyak diam, tatapannya hanya fokus dengan jalanan di hadapannya. Sesekali Jessica mengajaknya bicara.

“Kamu mau minum?”

“Nggak. Aku lagi nggak haus.”

“Ya, udah. Kamu tidur aja sekarang. Kamu perlu istirahat. Nanti aku bangunin kalau udah sampe.”

Julian mengangguk pelan, kemudian mulai memejamkan kedua matanya.

“Kamu nyetirnya hati-hati.”

“Iya, Julian. Aku akan hati-hati.”

“Jangan ngebut.”

“Iya, Pacar. Udah tidur. Jangan ngomong.”

Julian menuruti dengan tetap diam hingga akhirnya ia terlelap.

“Kamu kuat, Julian. Kamu pasti bisa melanjutkan hidup kamu tanpa Om Maxime. Kamu masih punya aku, Mama, Kak Jazz, dan Kak Alexa.”

-oOo-

Sekitar satu jam perjalanan. Mobil Jessica akhirnya tiba di kediaman Julian.

“Kamu tidurnya nyenyak banget, Jul. Apa aku nggak usah bangunin aja ya. Kasian juga dia. Pasti tiga hari ini tidurnya nggak bener.”

“Sudah sampai, Jess? Kok nggak bangunin aku?”

“Iya, udah sampe. Hmm … aku nggak tega. Tidur kamu nyenyak banget.”

“Padahal bangunin aja nggak apa-apa kok.”

“Ya sudah, sekarang kamu masuk dan istirahat. Aku langsung ya?”

“Jangan. Kamu masuk dulu ya? Aku masih butuh kamu. Aku nggak bisa sendirian.”

“Bukannya ada Bi Ami dan Pak Mulyo?”

“Beda rasanya. Please, temenin aku.”

“Ya, udah. Aku temenin. Kita turun ya?”

“Makasih, Jess.”

Mereka pun turun dan mulai memasuki kediaman Julian. Di sisi lain, tepatnya di seberang jalan terlihat seseorang misterius berpakaian serba hitam mengintai rumah Julian.

-oOo-

Julian telah berganti pakaian menjadi pakaian rumah. Saat ini, ia tengah tiduran di pangkuan Jessica sambil menatap langit-langit ruang keluarga.

“Jess, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?”

“Tentu boleh dong. Kenapa harus izin? Apa yang mau kamu tanyakan?”

“Gimana caranya supaya aku bisa kuat?”

“Hmm … kuat menghadapi kehilangan orang yang disayang?”

“Iya.”

“Kalau aku waktu kehilangan Papa dulu, aku belajar ikhlas menerima kepergian Papa. Sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut. Percaya kalau aku sedih, Papaku di Surga juga akan sedih. Jadi jangan sedih lama-lama ya, Jul. Kasihan Om Maxime. Om Maxime sekarang udah bahagia bisa kumpul lagi sama Tante Jenny.”

“Hmm … kamu benar. Papa bisa ketemu lagi sama Mama. Mereka pasti bahagia banget bisa ketemuan lagi. Makasih kamu udah ngingetin dan nguatin aku.”

“Sama-sama. Aku percaya kamu itu orangnya kuat.”

“Ah, kamu bisa aja. Aku nggak sekuat itu.”

“Udah, ah. Jangan sedih-sedihan terus. Sekarang kamu harus bangkit! Semangat! Kapan kamu mulai ke kantor?”

“Kantor maksudnya?”

“Ya, ke kantor Ardiaman Group. Kamu nggak mau ngelanjutin usaha Om Maxime? Kasihan loh karyawan-karyawannya Om Maxime kalau nggak ada yang menggantikan posisi pemimpin Ardiaman Group.”

“Besok aku ke kantor,” ujar Julian sambil bangkit dari tidur, mengambil posisi duduk. “Sekalian aku mau menyelidiki siapa pelaku yang tega membunuh Papa,” lanjut Julian sambil mengepalkan tangannya kuat.

“Aku akan bantu kamu mencari pelakunya. Apa kamu ada petunjuk lain? Rekaman CCTV misalnya?”

“Ada, aku sampai lupa belum cek rekaman CCTV. Kita cek sekarang ya? Aku ambil laptop dulu.”

“Boleh tuh. Siapa tau ada petunjuk.”

Julian beranjak pergi untuk mengambil laptop di kamar. Sementara Jessica memutuskan untuk mengabari Margareth bahwa ia berada di rumah Julian. Tak lama, Jessica langsung mendapatkan pesan balasan.

Mama

Oke, Sayang. 14:17

Kamu temenin Julian. 14:17

Sekarang Julian lagi apa? 14:18

14:18 Dia lagi ke kamar buat ambil laptop. Mau cek rekaman CCTV kejadian penusukkan Om Maxime.

Oh, gitu. Semoga aja ada petunjuk baru soal pelaku. 14:19

Mama juga nggak terima kalau pelakunya masih bebas berkeliaran. 14:19

Kalau ada petunjuk baru, segera lapor ke polisi ya. 14:20

14:20 Pasti Ma.

Selang beberapa saat. Julian kembali membawa laptop. Ditaruhnya laptop tersebut di atas meja.

“Kok lama?”

“Hmm … aku sempet lupa taro laptopnya di mana.”

“Oh, gitu. Tumben banget biasanya kamu paling rapi kalau taro barang.”

“Hmm … entahlah. Mungkin karena perasaanku lagi kacau.”

“Aku paham itu.”

Julian mulai menyalakan laptopnya, membuka file CCTV kejadian penusukkan Maxime beberapa hari lalu. Julian mulai mengecek rekaman CCTV satu per satu dari mulai dari kamera yang lokasinya berada dekat berada di balkon kamar Maxime.

“Pelakunya sama sekali nggak kelihatan jelas. Wajahnya tertutup topeng.”

“Sialan, gimana kita bisa tau siapa pelakunya kalau pakai topeng. Ini bakalan susah sih.”

“Kamu tenang dulu, Jul. Ini ‘kan baru satu CCTV, masih ada CCTV lain ‘kan? Dari CCTV ini kita bisa tahu ciri-ciri pelakunya laki-laki, tingginya nggak jauh dari kamu, badannya agak berisi. Semuanya udah aku catat.”

“Iya, deh. Kita cek CCTV lain ya?”

“Coba cek CCTV gerbang belakang. Kemungkinan pelaku masuk dari gerbang belakang.”

“Oke.”

“CCTV gerbang belakang mati. Sepertinya pelaku berhasil merusak kameranya.”

“Ada rekamannya nggak sebelum CCTV mati?”

“Seharusnya ada sih. Rekamannya harusnya aman karena disimpan di cloud.  Nah, kan ada.”

Dari rekaman yang ada terlihat jelas seseorang datang menggunakan motor matic. Pengemudi motor tersebut langsung turun, mengambil beberapa kerikil dan dilemparnya kerikil-kerikil tersebut ke arah kamera sebelum akhirnya mati.

“Petunjuk baru, plat nomor motornya udah aku catet.”

“Aku nggak yakin sama plat nomornya. Bisa aja plat nomornya palsu.”

“Kita coba aja dulu.”

Julian langsung memasukkan file rekaman ke dalam flashdisk.

“Oke, kita ke kantor polisi sekarang? Kita serahkan bukti-bukti ini ke pihak kepolisian?”

Jessica menggeleng sambil tersenyum.

“Aku aja yang ke kantor polisi. Kamu istirahat aja di sini. Kamu butuh istirahat, Julian.”

“Kamu pergi sendiri? Janganlah aku ikut aja. Aku takut kamu kenapa-kenapa kalau sendiri. Pelakunya masih berkeliaran loh.”

“Aku bisa jaga diri. Sekarang kamu ke kamar dan istirahat. Aku pergi sekarang.”

“Oke, hati-hati ya?”

“Iya, Pacar.”

“Kalau udah sampe kantor polisi kabarin aku.”

“Iya.”

Jessica bergegas beranjak pergi menuju kantor polisi untuk menyerahkan bukti baru kasus penusukkan Maxime. Sementara, Julian beranjak memasuki kamarnya. Bukan beristirahat, ia malah fokus dengan papan investigasi yang sengaja dibuatnya untuk mempermudah penyelidikan, menempelkan beberapa foto pelaku yang baru dicetaknya pada papan tersebut.

“Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu tega menghabisi Papa? Aku akan pastikan kamu nggak akan lolos dari hukum!”

Tiba-tiba saja ponsel Julian berdering. Julian beralih ke ponselnya dan langsung menjawab panggilan telepon yang baru saja masuk.

“Halo, Pak Julian. Maaf mengganggu waktunya. Apa besok Pak Julian bisa ke kantor?”

“Hmm … besok memang saya ada rencana ke kantor. Apa ada masalah?”

“Bukan masalah sih, Pak. Ini ada klien dari PT Asmara Cempaka ingin bertemu dengan pimpinan Ardiaman Group. Tadinya mau ketemu Pak Maxime hari Jumat lalu, tapi di re-schedule jadinya besok. Apa Bapak bisa menemui klien tersebut?”

“Bisa, Tia. Kamu kabari ke saya saja waktu dan tempatnya. Saya akan temui klien tersebut.”

“Baik, sebentar saya kirimkan detail pertemuannya. Terima kasih atas waktunya, Pak. Saya juga turut berdukacita atas meninggalnya Pak Maxime. Semoga Bapak dan keluarga diberikan kesabaran dan keikhlasan.”

“Amin. Terima kasih doanya. Saya tunggu email-nya.”

To be continued … © 2024 WillsonEP. Bagaimana chapter kali ini? Tulis di kolom komentar ya.

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

Writing Skill #1 : Tanda Titik (.)

Little Parents 2 (Chapter 8)