Terror Games (Chapter 4)

Chapter 4

Sudah seminggu ini Julian sibuk mengurusi segala urusan kantor menggantikan posisi Maxime di perusahaan. Beruntung sebelumnya Julian sempat terlibat dalam beberapa proyek sehingga ia hanya perlu sedikit penyesuaian. Julian baru saja menyelesaikan pertemuan dengan rekan bisnisnya. Setelah mengantar rekan bisnisnya hingga masuk lift, Julian kembali ke ruangannya. Di ruangannya, Julian mendapati sebuah kotak berwarna hitam ditaruh di atas meja. Julian bergegas menghubungi sekretarisnya untuk menanyakan perihal kotak hitam tersebut.

“Saya kurang tahu, Pak. Tadi saya udah coba tanya ke kurirnya dan emang nggak ada nama pengirimnya. Coba dibuka aja kotaknya, Pak. Siapa tahu di dalamnya ada nama pengirimnya.”

“Ya, sudah. Terima kasih infonya. Saya coba buka kotaknya.”

Julian segera menaruh gagang telepon pada tempatnya, kemudian mulai beralih ke kotak hitam di atas meja. Dibukanya kotak tersebut perlahan hingga ia mendapati sebuah kertas penuh dengan darah bertuliskan “Hidupmu tidak akan tenang!!! (444).” Melihat tulisan tersebut, emosi Julian tidak tertahan, ia langsung menggebrak meja di depannya.

“Kamu mencoba bermain-main dengan saya! Saya nggak akan biarkan kamu bebas di luar sana. Kamu harus bertanggung jawab atas kematian Papa saya.”

Julian meraih ponselnya, kemudian mengambil beberapa gambar kotak ancaman tersebut.

“Kemarin angka 22, sekarang 444. Maksudnya apa ya? Apa ini semacam kode rahasia untuk mengetahui siapa pelaku pembunuhan Papa? Aku harus segera menyelidikinya.”

Beberapa saat kemudian. Ponsel Julian bergetar. Julian mendapatkan kabar dari Bi Ami bahwa rumahnya kembali dilempari batu oleh orang yang tidak dikenal. Bi Ami pun meminta agar Julian segera pulang. Julian bergegas mengambil kunci mobil dan membawa kotak ancaman, kemudian meninggalkan ruangannya.

“Pak Julian mau ke mana?” tanya Tia yang berpapasan dengan Julian di depan ruangan.

“Saya ada urusan penting, Tia. Saya harus pergi sekarang,” jawab Julian seadanya sambil beranjak pergi. Tia menghela napas panjang.

“Tia, Tia, kamu harus sabar. Bos mah bebas masuk-keluar kantor semaunya. Kapan ya aku punya perusahaan sendiri?”

Sekitar satu jam setengah perjalanan, Julian tiba di rumah. Ia pun segera mengecek beberapa kaca jendela yang pecah akibat lemparan batu.

“Bi Ami baik-baik saja ‘kan?”

Alhamdulilah, Den. Bibi baik-baik saja. Sebenarnya siapa sih yang iseng lempar batu ke rumah ini? Memangnya Den Julian atau Tuan Maxime punya musuh?”

“Hmm … entahlah, Bi. Julian yakin yang melakukan hal ini adalah pelaku pembunuhan Papa.”

“Bisa jadi. Bi Ami bantu doakeun supaya pelakunya cepet ketangkep.”

“Amin, Bi. Sekarang kita bersihkan pecahan kacanya ya, Bi.”

“Den, boleh Bibi kasih saran?”

“Hmm … saran apa, Bi?”

“Sebaiknya kita pindah untuk sementara waktu, Den. Di sini udah nggak aman. Bibi nggak mau Den Julian sampai kenapa-kenapa.”

“Oke, Bi. Kita pindah ya? Sekarang kita beres-beres buat pindahan.”

“Siap, Den.”

Tiba-tiba saja ponsel Julian berdering. Tertera nama Jessica melakukan panggilan telepon. Julian langsung menunjukkan ekspresi senyum begitu melihat panggilan tersebut.

“Siapa yang telepon, Den? Pasti Non Jessica ya? Cie, cie, pacarnya telepon langsung senyum-senyum.”

“Iya, Bi. Julian angkat telepon dulu ya?”

“Oke, Den. Bibi mau langsung bébérés buat pindahan.”

“Iya, Bi.”

Julian beranjak menuju ruang tengah sambil mengangkat telepon dari Jessica.

“Halo, Jul. Kamu masih di kantor? Kamu baik-baik saja ‘kan?”

“Halo, Jes. Aku udah di rumah dan baik-baik saja. Kamu nggak perlu khawatir.”

“Kamu yakin? Soalnya tadi aku mimpi buruk soal kamu.”

“Aku baik-baik saja, Jess. Mau video call biar kamu percaya?”

“Hmm … nggak perlu. Aku percaya sama kamu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya.”

“Iya, Jess.”

“Oh, iya aku mau ngabarin. Jason udah keluar dari penjara. Dia dapet remisi karena berkelakuan baik selama di penjara.”

“Jason keluar dari penjara? Kapan dia keluar?”

“Iya, kata James dua minggu lalu.”

“Kalau Mr. Bintang? Mr. Chandra? Udah bebas juga?”

“Belum. Mereka masih di lapas. ‘Kan divonisnya 9 tahun penjara.”

“Oh, gitu. Aku nggak terlalu ngikutin beritanya. Thanks infonya.”

“Sama-sama, Jul. Udahan dulu ya. Aku mau mandi sore.”

“Oke, bye.”

“Bye.”

Panggilan diakhiri keduanya. Setelah panggilan berakhir, Julian memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Mendengar kabar Jason yang sudah bebas dari penjara atas kasus Bintang Megah beberapa tahun lalu, Julian mencurigai kematian Maxime ada hubungannya dengan semua ini. Bisa saja Mr. Bintang dan Mr. Chandra dendam karena Julian dan Jessica berhasil menjebloskan mereka ke dalam penjara. Bisa juga Jason yang dendam. Julian mulai menempelkan foto Mr. Bintang, Mr. Chandra, dan Jason pada papan penyelidikan miliknya.

“Siapa pelaku sebenarnya? Mr. Bintang? Mr. Chandra? Jason? Atau mungkin salah satu orang suruhan mereka? Terus apa maksud dari angka-angka ini? 22 dan 444. Hmm … ini sungguh membingungkan. Aku harus minta tolong Jessica.”

Diraihnya ponsel untuk mengirim pesan pada Jessica. Julian langsung mengirim foto kotak ancaman beserta kertas yang penuh dengan darah kepada Jessica.

17:00 Aku dapat kotak ancaman, Jess.

17:00 Photo

17:00 Photo

17:01 Isinya kertas penuh dengan darah bertuliskan seperti pada foto. Ada angka 444. Kemaren angka 22, sekarang angka 444. Maksudnya apa ya?

Selang beberapa menit, Jessica membalas pesan Julian.

Kalau menurutku, angka 22 dan 444 itu semacam kode. Nanti aku bantu pikirin deh maksudnya apa. 17:21

Tapi kamu baik-baik saja ‘kan? 17:21

17:22 Hmm … kode yang membingungkan.

17:22 Aku baik-baik saja. Kamu nggak perlu khawatir.

17:22 Kamu sendiri baik-baik saja? Aku takut pelakunya incar kamu juga.

Aku baik. Ini baru beres mandi. 17:23

17:23 Kalau ada apa-apa, telepon aku ya?

Siap, Pacarku. 17:24

Senyum tipis Julian terpancar setelah membaca kata “Pacarku” yang dikirimkan oleh Jessica. Kata tersebut membuat perasaan Julian lebih tenang di tengah situasi yang terjadi beberapa hari ini. Namun, perasaan tersebut hanya sesaat. Julian kembali fokus dengan penyelidikannya.

“22 dan 444. Apa hubungannya angka tersebut dengan kematian Papa? Kayaknya nggak ada hubungan deh. Ah, kenapa harus ada kode-kode seperti ini? Aku jadi penasaran.”

Selang beberapa saat, Bi Ami memasuki kamar Julian.

“Den, teleponannya udah selesai?”

“Udah, Bi. Ada apa?”

“Kok ada apa? Kita jadi ‘kan pindah dari sini? Bibi mau bantuin Den Julian bébérés.”

“Oh, iya jadi, Bi. Padahal Julian bisa beresin sendiri, Bi.”

“Nggak apa-apa, Den. Bibi bantuin.”

“Hmm … beresin barangnya nanti aja, Bi. Sekarang Julian laper.”

“Oh, iya Bibi belum masak. Den Julian mau dibikinin apa?”

“Yang cepet aja, Bi. Nasi goreng.”

“Oke, Bibi bikinin ya. Bibi permisi dulu.”

“Bikin yang enak ya, Bi. Julian mau mandi dulu.”

“Oke, Den.”

-oOo-

Hari ini adalah hari ketiga Julian dan Bi Ami tinggal di rumah mendiang sang kakek yang telah lama meninggal dunia. Kakek Ardiaman meninggal sewaktu Julian berusia satu tahun. Saat ini, Julian tengah berada di kamar, berusaha memecahkan kode angka 22 dan 444 bersama dengan Jessica.

“Kalau menurut kamu apa maksud angka-angka ini, Jess?”

“Hmm … apa ya? Aku sama sekali nggak dapat petunjuk. Apa ada angka lainnya?”

Julian menggeleng.

“Nggak ada. Dari kemarin baru dua angka ini.”

“Sebaiknya kita kumpulkan dulu angka-angka ini. Baru kita pikirkan lagi apa artinya.”

“Iya, juga. Bentar aku coba telepon Pak Mulyo ya? Siapa tahu ada angka lain?”

“Oke.”

Julian meraih ponselnya, menghubungi Pak Mulyo selaku satpam yang menjaga rumahnya.

“Halo, Tuan Julian.”

“Halo, Pak. Gimana kondisi rumah?”

“Kondisi rumah belum baik-baik saja, Tuan. Rumah masih sering dilempari batu. Pelakunya sudah coba saya kejar, tapi sayang saya kehilangan jejak. Maaf ya, Pak.”

“Tidak apa. Tolong perketat penjagaan rumah ya, Pak.”

“Baik, Pak.”

“Oh, iya apa ada kertas ancaman baru?”

“Sejauh ini nggak ada, Tuan. Hanya batu-batu saja.”

“Oke. Kalau ada kertas ancaman baru, kirimkan fotonya ke saya ya?”

“Siap, Tuan.”

Julian mengakhiri panggilan tersebut. Ia segera menyusul Jessica yang tadi pamit keluar kamar. Julian tersenyum kecil begitu menemukan keberadaan Jessica di dapur bersama dengan Bi Ami.

“Kamu ngapain di sini, Jess? Aku cari-cari ternyata kamu di sini.”

“Bantuin Bi Ami. Kasihan masa masak nggak ada yang bantuin.”

“Baik banget sih Pacarku yang satu ini. Makasih ya udah bantuin Bi Ami.”

“Iya, Non. Bibi terbantu banget.”

“Sama-sama. Mumpung Jessica lagi main ke sini. Oh, iya tadi Pak Mulyo bilang apa? Ada petunjuk baru?”

“Nggak ada. Hanya rumahku masih sering dilempari batu.”

“Aku turut prihatin. Semoga teror ini cepet berakhir.”

“Amin.”

“Masalah teror kita lupakan dulu sejenak. Sekarang waktunya kita nikmati masakan Bi Ami.”

“Oke. Biar aku bantu pindahin ke meja makan.”

“Makasih.”

“Sama-sama.”

To be continued … © 2024 WillsonEP. Bagaimana chapter kali ini? Tulis di kolom komentar ya.

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

Writing Skill #1 : Tanda Titik (.)

Little Parents 2 (Chapter 8)