Terror Games (Chapter 8)

Chapter 8

Beberapa hari ini Julian telah kembali ke rumahnya setelah kejadian teror bom dan menginap selama sehari di hotel. Saat ini, Julian tengah menikmati sarapannya di ruang makan bersama Bi Ami.

Alhamdulilah ya, Den. Terornya udah mulai nggak ada. Mungkin karena penjagaannya diperketat ya? Kemaren-kemaren mah ngeri pisan.”

“Iya, Bi. Semoga situasinya segera membaik. Julian udah mulai capek dengan semua ini.”

“Amin. Oh, iya Den Julian udah punya petunjuk baru soal pelakunya?”

“Hmm … sekarang sih belum ada, Bi. Rencananya nanti sore Julian mau selidiki lagi bareng Jessica.”

“Oh, gitu. Bibi selalu doain supaya Den Julian bisa segera mengetahui kebenarannya.”

“Amin, Bi. Terima kasih doanya.”

Julian melanjutkan sarapannya. Selesai sarapan, ia langsung berangkat ke kantor. Sekitar pukul 08.00 kurang beberapa menit, Julian tiba di kantor. Ia langsung memasuki ruang kerjanya. Ia duduk di kursi kerjanya, kemudian menghela napas panjang.

“Kapan teror ini berakhir? Bagaimana cara agar aku bisa mengetahui siapa pelaku pembunuhan Papa?”

Tiba-tiba saja ponsel Julian berdering nyaring. Julian meraih ponselnya itu. Tertera nama James Ardian melakukan panggilan telepon.

“Halo, James.

“Halo, Jul. Kemarin sore, gue ke lapas tempat Mr. Bintang dan Mr. Chandra ditahan.”

“Oh, iya? Ngapain lo ke lapas?”

“Jenguk Om gue yang dituduh membunuh atasannya.”

“Oh, gitu. Gue turut prihatin. By the way, lo telepon gue ada apa?”

“Gue nggak sengaja liat Kak Ardan temuin Mr. Bintang. Mencurigakan banget, Jul. Apa ini ada kaitannya sama teror yang lo sama Jessica alami selama ini?”

“Hmm … bisa jadi, James, tapi kita nggak bisa sembarangan nuduh tanpa bukti.”

“Iya, sih, tapi Kak Ardan perlu dicurigai. Mau bagaimana pun dia anak dari Pak Ardian Permana.”

“Iya, James. Sorry, gue harus tutup telepon sekarang. Gue ada meeting. Nanti kita sambung lagi.”

“Oke, Jul. Bye.”

Bye.

-oOo-

Jessica sudah berada di kediaman Julian sejak beberapa menit yang lalu. Jessica memutuskan untuk menunggu Julian di ruang makan sambil menikmati teh hangat buatan Bi Ami.

“Teh buatan Bibi enak banget. Jessica yang tadi penat karena kerjaan langsung plong.”

“Ah, masa sih, Non? Padahal bikinnya biasa aja. Tinggal masukin bubuk teh, terus tinggal kocek-kocek.”

“Beneran, Bi. Ini enak banget.”

“Makasih, Non.”

“Julian biasa pulang jam berapa, Bi?”

“Nggak tentu, Non. Kadang jam tujuh, kadang jam sembilan.”

“Oh, gitu. Paling malem jam berapa?”

“Jam sepuluh, Non.”

“Oh, makasih ya Bi infonya.”

“Sama-sama, Non. Bibi permisi ke belakang lagi ya, Non?”

Okay, Bi.”

Jessica beralih ke ponselnya, mencoba menghubungi pacarnya.

Julian Maxime Ardiaman

18:30 Kamu di mana?

18:30 Aku udah di rumah kamu.

Maaf ya, Jess. Aku agak telat.😥18:31

Ban mobilku bocor tiba-tiba. Ini baru mau ganti ban serep. 18:31

18:32 Oke, semangat ganti bannya.😘

🥰🥰 18:32

“Ah, Julian pasti lama. Apa aku coba selidiki sendiri dulu ya?”

Jessica mulai menyalakan laptop di depannya, kemudian mulai membuka foto pesan ancaman yang masing-masing memiliki kode angka. Jessica mulai memerhatikan angka-angka tersebut dengan seksama.

“Kode angka yang ada 22, 444, 66, 8, 2, 66, 4. Kira-kira apa maksudnya ya? Hmm … sepertinya ini cara bacanya pakai metode keyboard handphone zaman dulu. 22 untuk B, 444 untuk I, 66 untuk N, 8 untuk T, 2 untuk A, 66 untuk N, dan 4 untuk G. Bintang! Selanjutnya kalau ada pasti kata megah. Bintang Megah! Berarti teror ini ada hubungannya dengan Bintang Megah. Kalau begini, motif pelaku pasti dendam. Teror dan dendam, tapi siapa pelakunya? Yang berkaitan dengan Bintang Megah ‘kan banyak. Siapa yang dendam denganku dan Julian?”

Tiba-tiba saja ponsel Jessica berdering. Ia mendapati ponselnya ditelepon oleh nomor tidak dikenal. Awalnya Jessica ragu untuk mengangkat panggilan tersebut, tetapi karena penasaran akhirnya diangkatnya telepon tersebut.

“Halo, siap dengan permainan selanjutnya? Siap-siap ya? Sebentar lagi!”

“Halo, ini siapa? Tolong jangan jadi pengecut! Hey, jawab!”

Mendengar teriakan Jessica, Bi Ami langsung datang menghampiri.

“Non Jessica kenapa? Ada masalah? Apa ada teror lagi?” Mana batunya? Perasaan baru kemaren-kemaren damai sekarang malah dateng lagi. Capek tau!”

“Jessica nggak apa-apa, Bi. Tadi Jessica ditelepon sama nomor nggak dikenal.”

“Wah, yang bener? Non Jessica kenal sama suaranya?”

“Hmm … nggak. Suaranya disamarkan, Bi.”

“Maksudnya gimana, Non? Bibi nggak ngerti.”

“Itu loh, Bi. Suaranya kayak penjual nakal yang disiarin di TV.”

“Oh, gitu. Memang orangnya ngomong apa kalau boleh Bibi tau?”

“Siap dengan teror selanjutnya? Siap-siap ya? Gitu, Bi.”

“Walah, teror deui? Ampun Gusti. Kenapa sih orang téh meni jahat pisan. Memangnya Den Julian sama Non Jessica salah apaan?”

“Pelakunya punya dendam pribadi ke kami, Bi.”

“Memangnya kalian ngapain?”

“Entahlah, mungkin karena pelaku nggak terima masuk penjara gara-gara Jessica dan Julian.”

“Oh, yang kasus Bintang Megah téa?”

“Iya, Bi.”

“Ah, itu mah dia yang salah, kenapa pake nggak terima. Aneh!"

“Iya, emang aneh, Bi. Jessica juga nggak habis pikir.”

“Yang sabar ya, Non. Bibi doain semoga masalah ini bisa cepet beres.”

“Amin, Bi. Kok Julian belum pulang juga ya, Bi? Ini udah jam 7.30?”

“Mungkin kejebak macet, Non.”

“Jeesica jadi khawatir.”

“Sabar ya, Non. Paling sebentar lagi dateng. Coba atuh ditelepon.”

“Bener juga. Jessica coba telepon deh.”

“Maaf, nomor yang Anda panggil sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi.”

“Gimana, Non?”

“HP-nya sekarang nggak aktif.”

“Mungkin abis batre. Ditunggu aja, Non. Mau Bibi bikinin teh lagi?”

“Boleh, Bi. Maaf, Jessica jadi ngerepotin.”

“Nggak ngerepotin sama sekali, Non. Tunggu sebentar ya, Non.”

“Oke, Bi. Makasih.”

Tiba-tiba hujan lebat mengguyur, mulai membasahi kaca jendela. Jessica menatap sebentar ke arah jendela.

“Yah, hujannya gede banget. Julian, kamu hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut-ngebut.”

Beberapa saat kemudian. Bi Ami datang membawa nampan dengan satu gelas dan satu teko di atas.

“Wah, kok bikinnya satu teko, Bi?”

“Biar bisa tambah. Cuacanya lagi mendukung banget minum yang anget-anget. Non Jessica mau makan nggak? Biar Bibi siapin.”

“Makan malamnya bareng Julian aja, Bi.”

“Oh, ya udah. Kalau butuh apa-apa panggil Bibi ya?”

“Iya, Bi.”

Jessica kembali menyeruput teh hangat buatan Bi Ami.

“Hmm … enak.”

-oOo-

Sekitar pukul 20.00 lewat beberapa menit. Julian tiba di rumah. Kedatangannya langsung disambut oleh Jessica.

“Akhirnya kamu pulang juga, Jul.”

“Iya, Jess. Maaf ya, kamu nungguin aku kelamaan. Jalanan banyak yang banjir. Ditambah tadi ban mobil pake bocor.”

“Iya, nggak apa-apa. Baju kamu basah banget. Kamu kehujanan?”

“Iya, mau gimana. Lagi ganti ban, tiba-tiba hujan. Udah kepalang basah ya jadi aku terusin.”

“Kasian. Ya, udah kamu mandi dulu. Biar nggak sakit.”

“Oke. Oh, iya kamu udah makan malem ‘kan?”

Jessica menggeleng. “Aku mau makan malem bareng kamu.”

“Oh, gitu. Tunggu sebentar ya. Aku mandi sebentar. Lima menit.”

“Mandi apaan lima menit?”

“Lima menit itu mandi, Jess.”

“Bentar banget. Minimal sepuluh menit lah biar bersih.”

“Ya, udah aku mandi sepuluh menit. Bentar ya.”

“Oke.”

To be continued … © 2024 WillsonEP. Bagaimana chapter kali ini? Tulis di kolom komentar ya.

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

Writing Skill #1 : Tanda Titik (.)

Little Parents 2 (Chapter 8)