Terror Games (Chapter 11)

Chapter 11

Mobil yang ditumpangi Julian dan Jessica telah tiba di depan Gang Kopi.

“Hmm … memangnya Kak Ardan masih tinggal di sini, Jul?”

“Kurang tahu juga. Semoga aja dia masih tinggal di sini. Kita turun sekarang?”

“Oke.”

Julian dan Jessica turun secara bersamaan, kemudian mulai melangkahkan kaki memasuki gang menuju rumah nomor 12. Kondisi gang tersebut sudah banyak berubah semenjak Julian dan Jessica beberapa tahun lalu pernah ke sini. Beberapa rumah di bagian depan sudah rata dengan tanah dan tertutup seng.

“Hmm … gang ini udah banyak berubah ya, Jul. Dulu di sini masih rumah ‘kan?”

“Iya.”

“Aku takut Kak Ardan udah pindah dari sini.”

“Kita cek dulu aja rumahnya. Kalau pindah pun, kita bisa tanya warga sekitar sini ke mana dia pindah.”

Mereka melanjutkan langkahnya hingga tiba di rumah bernomor 12. Kondisi rumah tersebut sangat terawat dengan cat serba hijau. Kalau dari bau-baunya Julian dan Jessica meyakini bahwa rumah tersebut baru selesai dicat.

“Permisi,” ujar keduanya sambil salah satu dari mereka mengetuk pintu rumah. Tidak ada jawaban. Selang beberapa saat, seorang wanita paruh baya menghampiri mereka.

“Mas dan Mbaknya cari siapa ya?”

“Kami cari pemilik rumah ini, Bu. Ardan. Apa dia masih tinggal di sini?”

“Oh, Nak Ardan. Masih kok, tapi kalau jam segini Nak Ardan dan ibunya nggak ada di rumah. Mereka masih jualan.”

“Oh, gitu. Kira-kira pulangnya jam berapa ya?”

“Jualannya sampe malem, Mbak.”

“Kalau tempat jualannya Ibu tahu di mana?”

“Tau, Mbak. Mereka jualan di Simpang Kopi Lima, Pecel Lele Bu Annie.”

“Oh, gitu. Terima kasih informasinya ya, Bu. Kita mau langsung ke sana.”

“Sama-sama. Saya permisi ya. Mari.”

Setelah ibu itu pergi, Julian dan Jessica kembali ke mobil, kemudian berangkat menuju Simpang Kopi Lima—tempat Ardan dan ibunya berjualan. Sesampainya di sana, Julian dan Jessica langsung mencari keberadaan Pecel Lele Annie. Tak butuh waktu yang lama, mereka berhasil menemukan warung tersebut di salah satu ruko. Suasana warung cukup ramai dengan pengunjung yang sedang menikmati makan malam. Julian dan Jessica mulai memasuki warung tersebut.

Kedatangannya mereka langsung di sambut oleh salah satu karyawan warung.

“Selamat datang di Warung Pecel Lele Annie. Untuk berapa orang, Mas, Mbak?”

“Dua orang aja, Mas. Masih ada tempat?”

“Masih, Mas. Mari, ikut saya.”

“Oke, Mas. Ayo, Jess!”

Karyawan tersebut langsung mengantar Julian dan Jessica ke meja yang masih kosong.

“Silakan pesanannya.”

“Kamu mau pesen apa, Jess? Pecel lele atau bebek goreng?”

“Hmm … aku pecel lele aja.”

“Oke, pecel lele dua porsi ya.”

“Baik, pecel lele dua porsi. Untuk nasinya, mau nasi putih atau uduk?”

“Aku uduk.”

“Saya juga uduk, Mas. Minumnya teh hangat dua.”

“Baik, dua nasi uduk. Minumnya teh hangat. Mohon ditunggu ya?”

“Oke, Mas. Oh, iya saya bisa ketemu Ardan? Dia pemilik warung ini ‘kan?”

“Oh, Masnya kenal sama Mas Ardan. Nama Mas sama Mbaknya siapa? Nanti saya panggilin Mas Ardannya.”

“Julian dan Jessica.”

“Oke, ditunggu sebentar ya.”

“Oke, Mas.”

Karyawan tersebut pergi.

“Kenapa kita jadi makan? Bukannya tujuan kita ke sini ketemu sama Kak Ardan?”

“Ya, memang. Sekalian makan malam apa salahnya, Jess. Kita belum makan dari siang loh. Memangnya kamu nggak laper? Kalau aku sih, laper banget.”

“Iya, juga. Perutku juga laper.”

“Penyelidikan boleh lanjut, tapi jangan lupa makan biar nggak sakit.”

“Iya, iya. Kamu ada benarnya. Kok Kak Ardan lama banget sih? Apa dia takut ketemu kita ya?”

“Sabar, Jess. Mungkin dia lagi kagok. Kamu nggak lihat warung ini lagi rame banget? Jangan negative thinking.”

“Habis aku penasaran banget sama pelaku teror selama ini. Hidup kita berdua jadi nggak tenang kalau seperti ini terus.”

“Ya, aku juga, tapi melihat warung yang rame seperti ini, aku nggak yakin Kak Ardan sempat melakukan teror terhadap kita. Dia pasti sibuk banget jadi nggak mungkin dia pelakunya.”

“Kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kak Ardan patut kita curigai. Bukannya gerak-geriknya mencurigakan saat Kak Ardan menemui Mr. Bintang?”

“Mencurigakan ‘kan kata James. Siapa tahu hanya percakapan biasa?”

“Ah, aku tetap curiga sama Kak Ardan.”

“Ya, itu terserah kamu. Aku sih nggak yakin Kak Ardan pelakunya. Kita coba selidiki dulu aja. Inget, jangan menuduh tanpa bukti yang kuat.”

“Iya, iya.”

Beberapa saat kemudian. Pesanan mereka diantar.

“Selamat menikmati. Semoga suka. Oh, iya Mas Ardannya masih sibuk di dapur. Mohon ditunggu sebentar katanya.”

“Oke, Mas. Terima kasih.”

Setelah karyawan tersebut pergi, Jessica kembali menunjukkan kecurigaannya terhadap Ardan.

“Tuh ‘kan menghindar terus. Pasti dia takut sama kita.”

“Jess, udah dulu penyelidikannya. Sekarang kita makan. Cobain deh pecelnya. Kamu pasti suka.”

“Iya, iya.”

Setelah mencuci tangannya menggunakan air kobokan, Jessica mulai memakan pesanannya dengan lahap. Sambil menikmati makan malam, sesekali Julian dan Jessica memerhatikan ke arah pintu dapur, berharap Ardan segera muncul dan menemui mereka. Hingga mereka selesai makan, Ardan sama sekali belum terlihat.

“Kita mau tunggu sampai kapan, Jul? Ini sih fix Kak Ardan sengaja menghindar dari kita karena takut ketauan.”

“Sabar, Jess. Mungkin Kak Ardan masih sibuk. Lihat masih banyak yang belum terlayani. Gimana kalau kita nambah? Kamu mau nambah nggak?”

“Nggak, aku kenyang.”

“Yakin?”

“Iya, aku udah kenyang. Kalau kamu mau nambah ya nggak apa-apa.”

“Oke.”

Julian memanggil karyawan tadi, memesan seporsi bebek goreng serta satu nasi uduk. Sementara Jessica kembali memerhatikan ke arah pintu dapur.

“Pacarku nggak sabaran banget sih. Sabar dikit kenapa.”

“Kamu kayak nggak tau aja kalau udah penasaran kayak apa. Pasti bakal aku selidiki sampai dapat.”

“Iya, deh. Semoga masalah ini cepet selesai biar kamu nggak penasaran terus.”

“Amin. Aku juga maunya gitu. Nggak enak tau hidup penuh dengan rasa penasaran.”

Sorry, sorry, bikin kalian nunggu. Hai, kalian apa kabar?” sapa Ardan yang tiba-tiba muncul.

“Hai, Kak. Kabar kita baik kok.”

“Iya, Kak. Kabarku juga baik.

“Syukurlah. Oh, iya itu tangan kamu kenapa, Jess?”

“Oh, ini tulang retak gara-gara diserempet motor.”

“Oh, gitu. Saya turut prihatin ya. By the way kalian tau saya di sini dari mana?”

“Kami tau dari tetangganya Kak Ardan. Tadi kita ke rumah.”

“Oh, ya? Kalian ada apa mau ketemu saya? Ada perlu?”

“Kami mau menanyakan soal …”

“Nggak, Kak. Kami hanya mau bersilahturahmi saja. Udah lama kita nggak ketemu. Kakak sendiri apa kabar?”

“Kabar saya juga baik, Jul. Oh, iya apa kalian sudah makan? Kalau belum, mau pesan apa?”

“Tadi sudah kok, Kak. Pecelnya enak. Julian sama Jessica sampai ketagihan.”

“Wah, syukurlah kalau kalian suka.”

“Bumbu pecelnya bikin sendiri, Kak?”

“Iya, resep turun menurun dari nenek saya.”

Selang beberapa saat, pesanan tambahan Julian diantar.

“Selamat menikmati.”

“Terima kasih, Mas.”

“Wah, nambah, Jul?”

“Iya, Kak.”

“Jessica nggak nambah juga?”

“Nggak, Kak. Aku udah kenyang.”

“Oh, gitu. Oke, deh. Jul, selamat menikmati ya? Saya harus permisi dulu, maaf loh nggak bisa lama.”

“Oke, Kak. Santai. Kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi.”

Ardan beranjak pergi meninggalkan Julian dan Jessica. Julian kembali melanjutkan makan malamnya dengan bebek goreng serta nasi uduk. Sambil makan, Julian mendapati raut wajah Jessica berubah menjadi cemberut.

“Kamu kenapa, Jess? Kok mukanya gitu?”

“Aku sebel sama kamu. Kenapa tadi kamu potong pembicaraan aku? Aku ‘kan mau nanya soal pertemuan Kak Ardan dengan Mr. Bintang.”

Julian tersenyum sambil melanjutkan makannya.

“Waktunya nggak tepat, Sayang. Kak Ardan lagi kerja. Nggak enaklah kalau kita ganggu. Kita cari waktu lain ya? Oh, ya mau coba bebek gorengnya? Ini enak loh. Nggak kalah sama pecel lelenya. Buka mulutnya.”

Jessica menerima suapan Julian.

“Gimana? Kamu suka?”

“Ya, gitu deh.”

“Udah jangan ngambek-ngambek. Mau pesen ga kamu?”

“Boleh deh.”

“Oke, aku pesenin. Sama nasi uduk nggak?”

“Boleh.”

“Oke.”

-oOo-

Saat ini, Julian dan Jessica telah berada di mobil sehabis menikmati makan malam mereka di Warung Pecel Lele Bu Annie.

“Jess, sepertinya kita salah sasaran. Menurutku, bukan Kak Ardan pelakunya.”

“Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu?”

“Ya, dari pertemuan tadi sepertinya Kak Ardan menerima kita dengan baik. Dari tatapannya tidak ada tatapan penuh kebencian.”

“Hmm … iya juga, tapi bisa ‘kan dia berpura-pura baik? Kita tetap harus selidiki Kak Ardan lebih lanjut. Gimana kalau kita tungguin sampe warung pecelnya tutup?”

Julian meraih ponselnya untuk mengetahui jam operasional warung tersebut.

“Sepertinya menunggu warung ini tutup bukanlah solusi, Jess. Tutupnya malem banget. Jam 11 malam. Mana mungkin aku biarin kamu nunggu di sini. Tante Margareth pasti khawatir kalau kamu belum pulang jam segitu. Kita pulang sekarang ya?”

“Iya, deh. Eh, tunggu dulu sebentar. Itu Kak Ardan.”

Jessica langsung turun dan menghampiri lelaki itu yang baru saja membuang sampah.

“Kak Ardan! Bisa kita bicara sebentar aja?”

“Eh, Jessica. Kamu sama Julian belum pulang ternyata. Ada apa?”

“Beberapa waktu lalu, Kak Ardan ketemu sama Mr. Bintang?”

“Iya, betul. Kamu tahu dari mana?”

“Ada temen. Kalau boleh tahu ada urusan apa ya?”

“Saya hanya memberitahukan dia bahwa saya sudah mengembalikan uang pengobatan ibu saya ke rekeningnya. Ibu saya nggak mau pakai uang haram. Kenapa memangnya?”

“Sebelumnya Jessica minta maaf, Kak. Awalnya Jessica curiga Kak Ardan punya dendam sama Jessica dan Julian.”

“Dendam? Untuk apa saya dendam ke kalian?”

“Ya, karena kita udah bikin Pak Ardian masuk penjara.”

Ardian tersenyum kecil.

“Buat apa saya dendam ke kalian. Ayah saya masuk penjara karena kesalahannya. Jadi kamu dan Julian nggak usah merasa bersalah. Saya nggak akan membenarkan suatu kesalahan meskipun itu ayah saya sendiri. Ada lagi yang mau kamu tanyakan, Jess?”

Jessica menggeleng. “Nggak ada, Kak. Maaf, Jessica sempat berpikir macam-macam soal Kak Ardan. Soalnya aku dan Jessica akhir-akhir ini lagi diteror orang nggak dikenal, Kak. Kami lagi berusaha mencari pelakunya.”

“Kalian diteror? Saya turut prihatin ya. Saya nggak mungkin melakukan teror ke kalian. Kalian orang baik. Justru saya harus minta maaf ke kamu, Jess. Maafin ayah saya ya atas apa yang dia perbuat ke Kakak kamu, Jazz. Gimana kabarnya sekarang?”

“Kondisinya sudah jauh membaik, Kak.”

“Syukurlah. Oh, iya saya harus balik lagi. Kamu pulangnya hati-hati. Titip salam buat Julian.”

“Oke, Kak. Makasih buat waktunya. Maaf, kalau ganggu waktunya.”

“Santai, kapan-kapan kita ngobrol-ngobrol lagi.”

“Oke, Kak.”

Setelah berpamitan dengan Ardan, Jessica kembali ke mobil.

“Udah ngobrolnya?” tanya Julian dengan nada datar.

“Udah, ternyata bener bukan Kak Ardan pelakunya. Pertemuan Kak Ardan dengan Mr. Bintang hanya sekadar pemberitahuan bahwa Kak Ardan telah mengembalikan semua biaya pengobatan mamanya ke Mr. Bintang. Mamanya nggak mau pakai uang haram katanya.”

“Oh, gitu.”

“Kamu kenapa? Kok jawabnya gitu sih?”

“Aku nggak kenapa-kenapa.”

“Cemburu ya? Kenapa kamu harus cemburu?”

“Nggak. Aku nggak cemburu.”

“Udah ngaku aja.”

“Ya, aku ngaku. Aku cemburu soalnya kamu ngobrolnya akrab banget tadi.”

“Kenapa harus cemburu? Aku ‘kan hanya sayang sama kamu.”

“Beneran?”

“Iya, beneran.”

“Buktinya apa?”

“Hmm … memangnya perlu bukti?”

“Perlulah. Kamu nggak bisa buktiin?”

“Oke aku buktiin.”

Jessica mulai mendekatkan wajahnya pada Julian.

“Kamu maunya aku ngapain?”

“Hmm … cium mungkin?”

“Oke.”

Jessica langsung mengecup pipi Julian kiri dan kanan.

I love you, Julian Maxime Ardiaman. Udah ya jangan cemburu. Aku hanya sayang sama kamu.”

“Mama kamu sama Kak Jazz nggak disayang dong.”

“Iya, juga. Ralat deh. Kesayanganku ada tiga, kamu, mama, dan Kak Jazz.”

“Makasih ya, Jess. Sekarang aku hanya punya kalian.”

“Cup, cup, cup. Jangan sedih ya? Sekarang kita pulang.”

“Oke, aku nggak sedih kok. Aku udah ikhlas papa pergi.”

To be continued … © 2024 WillsonEP.

Comments

  1. Seru banget! Julian boleh juga 🤣

    ReplyDelete
  2. Cie, ada yang cemburu...

    ReplyDelete
  3. Kira-kira siapa ya dalang dari semuanya? Penasaran banget.🤔🤔

    ReplyDelete

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

Writing Skill #1 : Tanda Titik (.)

Little Parents 2 (Chapter 8)