Terror Games (Chapter 13)

Chapter 13

Minggu pagi. Jessica bangun seperti biasanya pukul 05.00. Setelah mematikan alarm ponselnya, ia langsung beranjak masuk ke kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ibadah. Sambil bersenandung, Jessica mulai menanggalkan pakaiannya, membungkus tangan yang digips menggunakan plastik, kemudian  baru menyalakan shower. 20 menit lamanya, Jessica melakukan aktivitas paginya di kamar mandi.

Kini ia sedang mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer di depan meja rias. Tiba-tiba saja terdengar suara Jazz memanggil.

“Dek, kamu udah selesai mandinya? Boleh Kak Jazz masuk?”

“Boleh, Kak. Masuk aja.”

Tak lama, Jazz masuk.

“Ada apa, Kak?”

“Barusan polisi telepon Kakak, ngasih tau bahwa polisi telah berhasil menemukan pemilik motor yang platnya terekam CCTV.”

“Siapa pelakunya, Kak?”

“Pelakunya Jeremie, papanya temen kamu.”

“Papanya temen aku? Siapa?”

“Itu loh yang masuk penjara karena kasus Bintang Megah.”

“Jason?”

“Iya, papanya Jason yang udah tega ngebakar rumah Kakak sampai Alexa dan Nasya meninggal dunia. Polisi mau menangkapnya pagi ini. Kamu mau ya temenin Kakak ke rumahnya Pak Jeremie? Kita harus menyaksikan Pak Jeremie ditangkap.”

“Jam berapa kita berangkat?”

“Sekarang ini. Polisi udah menuju ke sana.”

“Oke, aku temenin Kakak.”

Jessica dan Jazz beranjak keluar kamar untuk berpamitan dengan Margareth.

“Kalian mau pergi ke mana pagi-pagi gini? Rapi amat.”

“Kami mau menangkap pelaku pembakaran rumah Jazz, Ma. Orang itu nggak boleh lolos!”

“Oh, sudah ketemu pelakunya siapa?”

“Papanya Jason, Ma.”

“Astaga, tega banget tuh orang. Ya, sudah kalian hati-hati ya. Kalau ada apa-apa kabarin Mama.”

“Siap, Ma. Jazz sama Jessica berangkat dulu ya.”

Jessica dan Jazz bergegas menuju mobil. Jazz melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju kediaman Jason. Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil hening. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampainya di kediaman Jeremie, mereka langsung bergabung dengan pihak kepolisian untuk menyergap pelaku. Suasana di sekitar rumah Jeremie menjadi menegangkan.

Beberapa warga mulai berkerumun untuk menyaksikan pihak kepolisian mengepung kediaman Jeremie.

“Semuanya bersiap!” komando seorang polisi.

Pihak kepolisian langsung menerobos masuk ke dalam rumah. Setelah beberapa saat, Jeremie keluar rumah dengan tangan diborgol didampingi oleh dua orang petugas.

“Kalian pantas mendapatkan ini semua! Keluarga kalian harus hancur sehancur-hancurnya!”

“Kurang ajar!” emosi Jazz langsung meninju Jeremie.

“Sabar, Pak. Jangan main hakim sendiri,” cegah seorang petugas kepolisian. “Serahkan semuanya pada kami.”

“Maaf, Pak. Tolong berikan hukuman seberat-beratnya karena dia telah membunuh istri dan anak saya.”

“Baik, Pak. Kami akan proses Saudara Jeremie sesuai dengan hukum yang berlaku.”

Polisi langsung membawa Jeremie masuk ke dalam mobil polisi. Selang beberapa saat, polisi meninggalkan lokasi. Jessica dan Jazz kembali ke mobil.

“Dek, kita ke pemakaman Alexa dan Nasya dulu ya? Kamu nggak apa-apa ‘kan?”

“Boleh. Kita ke sana sekarang ya.”

“Oke.”

Jazz melajukan mobilnya dengan kecepatan pelan menuju Pemakaman Kencana Mulia. Sepanjang perjalanan, suasana dalam mobil seperti tadi. Sepi tanpa suara. Jazz fokus menyetir, sementara Jessica memilih untuk memejamkan matanya karena perjalanan menuju pemakaman cukup jauh.

-oOo-

Dua jam perjalanan. Jessica dan Jazz tiba di tujuan. Sesampainya di sana, mereka langsung menghampiri penjual bunga dan membeli beberapa jenis bunga. Saat sedang memilih-milih bunga, tiba-tiba ponsel Jessica berdering. Jessica pamit sebentar pada Jazz untuk mengangkat telepon di luar kios karena sinyal di dalam kurang mendukung.

“Halo, Jess.”

“Halo, Jul. Suara aku udah jelas belum?”

“Udah, Yang. Kamu lagi di mana? Kok sinyalnya putus-putus tadi?”

“Aku lagi di Pemakaman Kencana Mulia sama Kak Jazz.”

“Oh, gitu. Ke makam Kak Alexa dan Nasya ya?”

“Iya. Kamu sendiri lagi di mana?”

“Aku lagi di rumah. Baru pulang dari gereja.”

“Oh, gitu. Pelaku pembakaran rumah Kak Jazz udah ketangkep. Ternyata pelakunya papanya Jason.”

“Papanya Jason? Kok bisa sih? Motifnya apa?”

“Iya, papanya Jason. Mungkin dendam sama kayak Andreas.”

“Ya, bisa jadi. Aku jadi penasaran sama pelaku teror terhadap kita selama ini. Kira-kira siapa pelakunya ya? Apa mungkin Jason ya?”

“Hmm … bukannya Jason sahabat kamu? Kalian deket ‘kan?”

“Memang dia sahabat aku, tapi nggak menutup kemungkinan kalau dia pelakunya. Bisa jadi dia dendam juga sama kita.”

“Iya, juga. Berarti kita harus selidiki lebih lanjut.”

“Tadi kamu ikut penangkapannya papanya Jason?”

“Ikut, kenapa gitu?”

“Ketemu sama Jason?”

“Nggak. Tadi hanya ada papanya Jason.”

“Hmm … mencurigakan banget. Jason ke mana coba? Kok nggak ada di rumah?”

“Mungkin lagi pergi? Bisa jadi ‘kan.”

“Bisa jadi, tapi aku tetep curiga sama diam Kita harus selidiki dia lebih lanjut.”

“Oke, nanti kita sambung lagi ya. Kak Jazz udah manggil nih.”

“Oke, titip salam buat Kak Jazz. Bye, Sayang.”

Bye, Sayang.”

“Teleponan sama Julian ya?”

“Iya, Kak.”

Jazz tersenyum. “Pantes lama. Kalau udah ngobrol sama Julian dunia serasa milik berdua.”

“Ah, Kakak!”

“Sekarang kita ke makam Kak Alexa dan Nasya.”

“Iya, iya.”

Jessica dan Jazz melangkahkan menuju makam Alexa dan Nasya. Sesampainya di depan makam, mereka mulai menaburkan bunga di atasnya.

“Hai, Lexa, Nasya. Kalian apa kabar? Aku mau kasih tau kalian, pelaku pembakaran rumah kita telah berhasil ditangkap. Kalian yang tenang ya?”

“Sabar ya, Kak. Jessica tau ini berat, tapi Kak Jazz harus mengikhlaskan mereka pergi. Mereka sudah tenang di surga.”

“Iya, Dek. Kak Jazz akan berusaha ikhlas meskipun sulit.”

Selang beberapa saat. Ponsel Jessica tiba-tiba berbunyi. Sang pemilik ponsel langsung mengecek pesan yang baru saja masuk.

Kamu pikir semuanya sudah berakhir, Jessica? Tidak semudah itu. Masih banyak yang akan terjadi padamu dan Julian. Tunggu tanggal mainnya! Kalian harus menderita seumur hidup!

“Siapa, Jessica? Julian lagi?”

“Bukan, Kak. Jessica juga nggak tahu siapa yang kirim. Isinya pesan ancaman.”

“Wah, boleh Kak Jazz liat pesannya?”

Jessica langsung menyerahkan ponselnya pada Jazz.

“Kamu nggak perlu khawatir ya, Dek. Kak Jazz akan selalu lindungi kamu.”

“Aku takut, Kak. Gimana kalau pelakunya nekat?”

“Nggak perlu takut. Justru kalau kamu takut, pelakunya semakin bahagia. Sekarang kita pulang ya?”

“Iya, iya. Kita pulang sekarang, tapi sebelum pulang mampir makan dulu dong, Kak. Laper nih. Tadi belum sempet makan.”

“Iya, kamu mau makan apa?”

“Hmm … Will’s Bento deh. Kak Jazz yang traktir ya?”

“Oke, siapa takut. Kita ke sana sekarang.”

Jessica dan Jazz kembali ke mobil. Jazz melajukan mobilnya menuju tempat makan ala Jepang tersebut. Sementara, Jessica memutuskan untuk curhat pada sang pacar mengenai teror yang ia dapatkan tadi melalui pesan singkat. Julian merespon dan berusaha menenangkan gadis itu.

“Kamu nggak usah khawatir, Sayang,” bunyi voice note yang baru saja dikirimkan Julian.

“Cie, cie, dipanggil Sayang nih sama pacar,” goda Jazz.

“Ah, Kak Jazz! Jangan godain aku.”

“Ga apa-apa, Dek. Daripada chat, kenapa nggak telepon aja? Lebih enak telepon.”

“Nggak ah, nanti Kak Jazz denger. Mending chat.”

“Emang lagi ngomongin apa kalian?”

“Bahas soal teror yang selama ini kita hadapi. Kira-kira siapa pelakunya ya?”

“Entahlah, musuh kalian lebih dari satu. Kemaren ada Andreas dan Pak Jeremie. Menurut Kakak, pasti pelaku peneror kalian nggak jauh dari kasus Bintang Megah. Paling pelakunya orang-orang itu lagi. Kalian sudah selidiki Mr. Bintang? Atau mungkin Mr. Chandra?”

“Belum, Kak. Kalau aku sama Julian sih curiga sama Jason.”

“Jason? Ya, bisa jadi juga dia pelakunya. Kalian selidiki semua orang yang terlibat dalam kasus Bintang Megah. Kakak yakin pelaku peneror kalian salah satu dari mereka.”

To be continued … ©2024 WillsonEP. Bagaimana chapter kali ini? Tulis di kolom komentar ya.

Comments

  1. Satu pelaku terbongkar lagi!

    ReplyDelete
  2. Jason suspect banget! 😨 Dugaanku Jason dalang semuanya!

    ReplyDelete
  3. Jason kemungkinan pelakunya

    ReplyDelete

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

Writing Skill #1 : Tanda Titik (.)

Little Parents 2 (Chapter 8)