Terror Games (Chapter 15)

Chapter 15

Sesuai dengan janjinya pada Margareth apabila Jessica belum pulang setelah pukul 21.00 malam, Jazz langsung menghampiri rumah Julian untuk mencari keberadaan adiknya.

“Malem, Pak Mulyo.”

“Malem, Mas Jazz. Tumben malem-malem ke sini. Nyari Pak Julian ya?”

“Iya, Pak. Juliannya ada di dalam?”

“Waduh, Pak Juliannya belum pulang, Mas.”

“Belum pulang?”

“Iya, Mas. Nggak seperti biasanya. Mana nggak ada kabar lagi.”

“Memangnya biasa Julian pulang jam berapa, Pak?”

“Nggak tentu, Mas. Kadang jam tujuh, paling malam jam sepuluh.”

“Oh, gitu.”

“Kalau boleh tau ada keperluan apa Mas Jazz ketemu Pak Julian?”

“Saya cari adik saya, Pak. Katanya pergi sama Julian, jam segini belum pulang ke rumah. Kira-kira Pak Mulyo tau nggak Julian biasa pergi ke mana?”

“Waduh, kurang tau saya, Mas. Udah coba telepon belum?”

“Udah, Pak, tapi nggak aktif.”

“Wah, nggak seperti biasanya. Biasa selalu aktif kok.”

“Ya, justru itu. Saya khawatir mereka kenapa-kenapa. Boleh saya tunggu di dalam?”

“Boleh, Mas. Silakan masuk.”

“Terima kasih, Pak.”

Jazz mulai memasuki rumah Julian yang tidak terkunci.

“Bi Ami, Bibi di mana?”

Selang beberapa saat Bi Ami datang menghampiri.

“Malem, Bi. Bibi tau Julian pergi ke mana?”

“Malem, Den Jazz. Maaf, Bibi nggak tau, Den. Memangnya ada apa ya?”

“Tadi sore katanya Jessica pergi sama Julian, tapi sampai sekarang Jessica belum pulang.”

“Oh, gitu. Tumben banget. Bukannya Den Julian selalu nganter Non Jessica pulang sebelum jam sembilan?”

“Ya, biasa begitu, tapi akhir-akhir ini sering banget telat. Kira-kira Bibi tau nggak tempat-tempat yang biasa dikunjungi Julian?”

“Ada, Den. Beberapa kali Den Julian cerita ke Bibi. Bentar Bibi coba inget-inget dulu.”

Bi Ami langsung mengirimkan daftar tempat yang biasa dikunjungi Julian pada Jazz melalui chat.

“Makasih ya, Bi. Jazz mau cek ke sana.”

“Sama-sama. Semoga ketemu ya, Den.”

Sementara itu, di sisi lain Julian dan Jessica masih terjebak di sebuah ruangan gelap dan pengap. Saat mereka sadar dari pingsan, mereka sudah berada di tempat tersebut.

“Ini semua gara-gara kamu, Jul. Coba kamu tadi dengar kata-kataku. Kita nggak mungkin ada di sini. Kalau udah begini, gimana kita bisa keluar dari sini?”

“Aku minta maaf. Semuanya memang salah aku.”

“Emang salah kamu.”

“Jangan marah dong. Aku ‘kan udah minta maaf.”

“Tau ah.”

“Jess, please maafin aku.”

“Jess.”

“Jessica pacarnya Julian Maxime Ardiaman?”

“Udah, jangan berisik. Aku mau tidur.”

“Aku minta maaf. Selamat istirahat ya. Ngambeknya jangan lama-lama. Dugaanku sekarang kamu lagi manyun kayak bebek. Sayang di sini gelap, aku nggak bisa liat manyunnya kamu.”

“Dasar nyebelin!”

“Biarin, tapi kamu sayang ‘kan sama aku. Selamat tidur ya, Sayang.”

-oOo-

Keesokan harinya. Jazz masih berada di rumah Julian setelah mencari Julian dan Jessica semalaman. Ia tidak berhasil menemukan keberadaan mereka berdua. Selang beberapa saat, tim detektif yang ditugaskan Julian datang.

“Selamat pagi.”

“Pagi, Bapak-Bapak ini siapa ya?”

“Perkenalkan saya Toni, kami adalah tim detektif yang ditugaskan oleh Pak Julian untuk menyelidiki kasus pembunuhan Pak Maxime dan pelaku teror terhadap Pak Julian dan Bu Jessica.”

“Saya Jazz, kakak dari Jessica. Apakah Bapak tahu keberadaan Julian?”

“Saya pikir Pak Julian ada di rumahnya karena saya sudah beberapa kali mencoba menghubungi, HP-nya tidak aktif.”

“Julian dan adik saya semalam tidak pulang ke rumah, Pak. Saya khawatir terjadi sesuatu sama mereka. Apa Bapak-Bapak bisa membantu saya mencari mereka?”

“Tentu bisa, Pak. Sebelum kami melakukan pencarian, apakah Pak Jazz mengetahui lokasi terakhir mereka terlihat?”

“Mereka terakhir terlihat di Laama Bakery dan Jolie Market Robusa.”

“Baik, kami akan ke sana untuk mengecek lokasi.”

“Saya ikut, Pak.”

“Boleh, Pak. Mari ikut kami.”

Di sisi lain, Julian dan Jessica masih berada di ruangan yang gelap dan pengap.

“Jul, kamu udah bangun belum?”

“Julian!”

Jessica mencoba memanggil kekasihnya itu, tetapi tidak ada respon.

“Jul, kamu masih hidup ‘kan? Please, jawab kalau kamu masih hidup.”

“Masih.”

“Kenapa baru jawab?”

“’Kan kamu nyuruh jangan berisik. Jadi aku diem.”

“Ah, kamu! Itu ‘kan kemaren malem. Kemungkinan sekarang udah pagi.”

“Kamu udah nggak marah sama aku?”

“Hmm … nggak. Sekarang kita harus gimana?”

“Syukurlah. Aku juga bingung kita harus apa. Kita tunggu sampai ada yang dateng ya.”

“Oke, kira-kira masih lama nggak ya? Aku laper dan haus. Jahat banget mereka nggak kasih kita makan.”

“Namanya juga penjahat. Sabar ya, Jess. Kita harus hemat energi yang ada.”

“Oke, kamu ada benarnya.”

Selang beberapa saat. Dua orang datang memasuki ruangan.

“Selamat pagi. Gimana tidurnya semalam? Nyenyak?”

“Nggaklah! Ruangan pengap gini gimana mau nyenyak?”

Dua orang itu tertawa, kemudian melempar dua bungkus nasi pada Julian dan Jessica.

“Kalian sarapan dulu. Pasti kalian lapar ‘kan?”

“Siapa sebenarnya kalian? Kenapa kalian menyekap kami?”

“Lo nggak perlu tau siapa kami. Lebih baik lo makan dan jangan banyak tanya.”

“Gimana mau makan kalau tangan diiket seperti ini.”

“Oh, iya lupa, tapi kalau gue buka lo jangan coba-coba kabur.”

“Lebih baik jangan deh, Jat. Kita suapin aja mereka.”

“Ide bagus. Gue suapin aja ya.”

Kedua orang itu mulai membuka nasi bungkus dan mulai menyuapi Julian dan Jessica.

“Makan yang banyak ya. Biar kalian nggak mati. Ternyata nyulik orang ribet juga ya.”

“Makanya bebaskan kami!”

“Oh, tidak bisa. Nanti kami dimarahi.”

“Siapa bos kalian?”

“Siapa ya, Jat?”

“Mana tau. Wajahnya aja nggak tau yang mana, apalagi namanya.”

“Kalian nggak pernah ketemu bos kalian?”

“Iya, aneh banget. Aku sih nggak percaya, Jul.”

“Ketemu sih pernah, tapi dia pake topeng. Jadi mana tau. Udah ah kalian jangan banyak tanya. Makan, makan. Lanjut lagi.”

“Pinter anaknya Papa.”

“Lo cocok jadi Papanya mereka, Jat.”

“Sialan lo!”

-oOo-

Sudah seminggu ini, Julian dan Jessica hilang tanpa kabar. Jazz dan Toni CS sudah berusaha mencari keberadaan keduanya siang dan malam. Margareth sampai jatuh sakit dan di rawat inap di rumah sakit karena memikirkan anak gadisnya yang tak kunjung pulang. Jazz baru saja memasuki ruang rawat Margareth.

“Gimana, Jazz? Apa adikmu sudah ketemu?”

“Belum, Ma, tapi Mama nggak perlu khawatir. Jazz pasti akan menemukan Jessica dan Julian. Mama harus cepet sembuh.”

“Mama udah baik-baik saja, Jazz. Mama bantu kamu cari Jessica ya?”

“Nggak perlu. Mama harus banyak istirahat. Jazz sekarang hanya punya Mama dan Jessica. Jazz nggak mau Mama kenapa-kenapa.”

“Kamu nggak perlu khawatir. Mama baik-baik saja. Kondisi Mama juga sudah membaik daripada kemaren. Mama hanya kelelahan aja.”

“Puji Tuhan, tapi tetep aja Mama butuh istirahat. Biar Jazz, Pak Toni CS, dan pihak kepolisian yang mencari Jessica dan Julian.”

“Iya, deh. Mama istirahat. Kalau ada kabar, jangan lupa kasih tau Mama.”

“Iya, Ma. Pasti Jazz kabarin.”

“Oh, iya kamu udah makan belum?”

“Belum, Ma.”

“Kenapa belum makan? Ini udah siang loh. Kamu makan ya? Nanti kalau kamu sakit, Mama siapa yang urus? Terus adik kamu siapa yang cari?”

“Iya, Jazz makan. Mama istirahat, Jazz ke kantin sekarang.”

“Beneran ya?”

“Iya, Jazz makan di kantin.”

“Awas kalau kamu bohongin Mama.”

“Jazz nggak berani bohong, Ma. Jazz makan sekarang.”

To be continued … © 2024 WillsonEP.

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

Writing Skill #1 : Tanda Titik (.)

Little Parents 2 (Chapter 8)