Terror Games (Chapter 16)⚠️🔞
Chapter 16
Kamis
malam sekitar pukul 23.00. Julian dan Jessica dipindahkan ke sebuah kerangkeng yang
digantung kurang lebih 10 meter di atas sebuah kolam berenang. Kedua tangan
diikat oleh rantai dan salah satu kaki mereka diberi pemberat. Sekitar 20 menit
kemudian, Julian dan Jessica tersadar setelah sebelumnya tidak sadarkan diri
akibat dibius.
“Kita
di mana, Jul? Kenapa kita ada di sini?”
“Hmm …
kita di kerangkeng, Jess. Bawah kita kolam,” ujar Julian sambil berusaha
melihat sekitarnya.
“Kamu
benar. Ini tinggi banget. Aku takut.”
“Selamat
malam, Julian dan Jessica,” ujar seorang bertopeng yang tiba-tiba muncul dan
berdiri di balkon tepat di seberang kerangkeng.
“Siapa
Anda sebenarnya? Kenapa Anda memperlakukan kami seperti ini? Bebaskan kami dari
sini!”
“Hmm …
Anda tidak perlu tahu siapa saya. Saya hanya
ingin melihat kalian mati tenggelam. Bebas? Jangan harap kalian bisa bebas dari
sini.”
“Kurang
ajar! Cepat bebaskan kami dari sini!”
“Tidak
semudah itu. Cepat turunkan kerangkengnya!”
Selang
beberapa saat, kerangkeng mulai bergerak turun.
“Ucapkan
selamat tinggal pada dunia. Selamat bersenang-senang. Ini baru teror yang sesungguhnya.
Teror yang mengancam nyawa kalian!”
“Jul,
kita harus gimana? Kita nggak mungkin bisa berenang dengan pemberat seperti
ini, apalagi tanganku masih digips.”
“Aku
juga nggak tahu, Jess.”
“Hahaha.
Seru sekali melihat kalian ketakutan seperti itu. Lanjutkan!”
“Jangan!
Kalau Anda mau balas dendam ke saya saja. Jangan ke Jessica! Tolong bebaskan
Jessica!”
“Tahan
sebentar! Wow, wow, sesayang itu Anda sama pacarnya. Romantis sekali, tapi
sayang saya tidak menerima penawaran Anda. Kalian harus mati bersama-sama.
Sekarang boleh lanjut. Turunkan kerangkengnya lagi!”
“Sialan!”
“Jul,
aku takut. Aku nggak mau mati sekarang,” ujar Jessica sambil mendekatkan diri
pada Julian.
“Kamu
yang tenang ya. Kita pasti bisa keluar dari sini.”
Julian
berusaha menenangkan Jessica dengan membelai rambutnya. Ia meminta gadis itu
untuk memejamkan matanya.
“Tenang
ya, Jess. Kita sama-sama hadapi hal ini.”
“Aku
takut. Sudah sampai mana kita?”
“Hmm …
kurang lebih 5 meter lagi kita menyentuh air.”
“Gimana
ini?”
“Kamu
tenang ya. Aku dan kamu ‘kan udah biasa berenang. Jadi hal ini bukan masalah
besar. Kita tinggal tahan napas untuk beberapa saat sampai kita bisa keluar
dari kerangkeng ini.”
“Kamu
yakin kita bisa keluar dari sini?”
“Aku
yakin. Sekarang kamu tenangkan diri.”
“Hai,
hai, gimana kabarnya kalian? Semoga kalian masih kuat ya? Kayaknya masih kurang
seru kalau kalian hanya sekadar tenggelam di kolam renang. Gimana kalau saya
tambahkan sesuatu di dalam kolamnya. Tambahin apa ya? Hmm … buaya atau mungkin
hiu kali ya biar bisa melahap kalian?”
“Jangan
gila, Anda! Tolong hentikan permainan gila Anda!”
“Wah,
seru nih! Jadi mau apa kalian? Buaya atau hiu? Saya masih menunggu jawaban
kalian loh.”
“Jangan
macam-macam Anda!”
“Lanjutkan!
Turunkan kerangkengnya!”
“Sialan!
Jangan jadi pengecut Anda! Hadapi saya dengan jantan!”
“Aw
takut. Ada yang ngancam saya.”
“Hentikan
kerangkengnya!” ujar seseorang yang muncul dari balkon dengan ketinggian lima
meter. Meskipun orang tersebut mengenakan topeng, Julian mengenali suara
tersebut.
“Gimana?
Kalian sudah cukup menderita belum?”
“Sebenarnya
apa mau kalian?”
“Nggak
banyak, Jul. Gue hanya mau lo sama Jessica menderita seumur hidup.”
“Jul,
kok suara yang ini kayaknya aku kenal deh. Suara siapa ya? Kamu kenal
suaranya?”
“Kenal,
banget Jess. Suaranya memang nggak asing.”
“Bagus
kalau lo kenal sama suara gue. Gue dendam sama lo dan Jessica. Lo udsh bikin
gue masuk penjara, keluarga gue jadi hancur berantakan gara-gara kalian! Mama
dan Papa gue jadi nggak harmonis saat gue di penjara hingga akhirnya cerai.
Kalian harus bertanggung jawab!”
“Itu
semua bukan salah kita. Semuanya memang salah lo! Kenapa lo malah ikut-ikutan
sama Mr. Bintang dan Mr. Chandra? Kalau lo nggak ikut-ikutan
mereka, lo nggak mungkin di penjara. Kenapa lo jadi nyalahin gue sama Jessica?”
“Pokoknya
semua gara-gara kalian! Hidup gue jadi hancur lebur gara-gara kalian! Lanjutkan
turunkan kerangkengnya!”
“Tunggu
dulu! Gue belum selesai bicara sama lo!”
“Bicara
apa lagi? Tolong kerangkengnya tahan dulu!”
“Gue
mau nanya sesuatu sama lo.”
“Tanya
apa?”
“Apa
lo yang ngebunuh papa gue?”
“Perlu
banget ditanya? Bukannya udah jelas semuanya? Lo-nya aja bego nggak ketulungan.
Memang gue yang bunuh. Memangnya kenapa? Lo keberatan sama tindakan gue?”
“Bajingan
lo! Lo dendam sama gue kenapa papa gue jadi korbannya? Jawab!”
“Pertanyaan
yang bagus, Jul. Gue pengen liat lo menderita. Keluarga gue hancur, keluarga lo
juga harus hancur! Karena lo nggak punya mama, nggak mungkin dong gue ngancurin
rumah tangga papa lo. Jadi ngebunuh papa lo adalah cara satu-satunya.”
“Brengsek
lo!”
“Memang.
Btw kenapa pacar lo diem aja, Jul? Apa dia udah mati sebelum perang?”
“Jess,
kamu kenapa? Bangun, Jess.”
“Pacar
lo mati, Jul? Gue seneng banget liatnya. Turut bersuka cita ya.”
“Jessica
belum mati anjing! Lo jangan ngomong sembarangan!”
“Galak
amat, Brother. Memang dia belum mati, tapi sebentar lagi kalian yang
mati. Lanjutkan turunkan kerangkengnya! Saya udah nggak sabar liat mereka mati
tenggelam. Lanjutkan! Lanjutkan! Turun! Turun!”
“Dasar
anjing! Lo nggak pantas jadi brother gue!”
Tak
butuh waktu lama, seluruh kerangkeng sudah berada di dalam air. Julian mulai
berusaha membuka gembok yang mengunci kerangkeng tersebut.
“Ini
baru Terror Games. Kita lihat sama-sama apa mereka bisa lolos dari maut.
Jack, terima kasih ya lo sudah membantu gue mewujudkan Terror Games
ini.”
“Sama-sama.
Senang saya bisa membantu kamu, Panglima 709,” ujar pria yang semula berada di
ketinggian 10 meter ikut bergabung di balkon ketinggian lima meter.
“Menurut
lo mereka bisa selamat?”
“Kemungkinan
kecil. Bagaimana mereka bisa selamat? Pemberat tersebut akan menyulitkan mereka
berenang meskipun mereka sangat jago berenang.”
“Ini
penampilan yang luar biasa. Terror Games yang selama ini gue
nanti-nantikan.”
Sementara
itu, di dalam air, Julian telah berhasil membuka rantai yang mengikat kedua
tangannya dan pemberat kakinya. Saat ini, Julian sedang berusaha membuka
pemberat pada kaki Jessica.
“Sudah
tiga menit mereka tidak muncul dipermukaan. Apa mereka sudah mati menyusul keluarganya?”
“Bisa
jadi.”
“Semoga
mereka memang benar-benar mati agar semua dendamku terbalaskan.”
Selang
beberapa saat, polisi datang mengepung tempat tersebut.
“Jangan
bergerak! Tempat ini sudah dikepung!”
“Sial,
kita ketahuan. Dari mana mereka tahu keberadaan kita?”
“Menyerahlah
dan angkat tangan kalian!”
Sementara
pihak polisi meringkus para pelaku, Julian berhasil membawa Jessica ke
permukaan. Ia langsung menggendong Jessica yang tidak sadarkan diri ke tepi
kolam renang. Setelah itu, Julian mulai memberikan pertolongan pertama dengan
memberikan napas buatan. Selang beberapa saat, Jessica tersadar.
“Syukurlah
kamu sudah sadar, Jess.”
“Kita
ada di mana?”
“Hmm …
kita ada di tepi kolam. Kita berhasil selamat dari kerangkeng itu.”
“Benarkah?
Syukurlah kita bisa selamat.”
“Gimana
kondisi kamu sekarang? Apa yang kamu rasakan?”
“Hmm …
aku baik-baik saja. Hanya pusing sedikit.”
“Ya,
udah. Aku bantu kamu berdiri ya. Kita harus pergi dari tempat ini.”
“Selamat
malam, Pak. Apa benar ini dengan Pak Julian dan Bu Jessica?”
“Malam,
Pak. Iya, saya Julian dan ini pacar saya Jessica.”
“Syukurlah
kalian selamat dari kejadian ini. Apakah kalian baik-baik saja?”
“Kalau
saya aman, Pak. Saya baik-baik saja. Kalau Jessica, sepertinya harus dibawa ke
rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan. Gips tangannya rusak.”
“Baik,
Pak Julian dan Ibu Jessica bisa ikut kami biar kami antar ke rumah sakit.”
“Terima
kasih atas bantuannya, Pak.”
“Sama-sama,
Pak. Ini sudah menjadi tugas pihak kepolisian untuk membantu warganya.”
To be continued … © 2024 WillsonEP.
Pelaku berhasil ditangkep!
ReplyDeleteAkhirnya Julian dan Jessica selamat. 😁
ReplyDelete