Tak Ada Keluarga Sempurna (Chapter 4)
Chapter 4 : Hangat
Hari sudah semakin siang. Aline dan Sakti baru saja selesai menikmati menu terbaru dari Bakso Abim. Keduanya terlihat sangat menikmati menu tersebut. Suasana warung masih cukup ramai pelanggan.
“Bakso beranaknya enak banget ya, Ma. Pantes aja menu ini dari tadi laku keras,” ujar Sakti sambil mengelap mulutnya menggunakan tisu.
“Iya, Sayang. Papa kamu memang jago bikin resepnya.”
“Siapa dulu Papanya Sakti gitu loh.”
Selang beberapa saat, Bima datang menghampiri meja Aline dan Sakti.
“Hai, hai, kesayangannya Papa. Gimana menu terbarunya? Kalian suka?”
“Hai, Pa. Enak banget, Pa. Aku sih yes, Pa.”
“Kalau kamu, Lin?”
“Suka juga. Ini bakso beranak terenak yang pernah aku makan. Aku jadi penasaran kapan kamu mempersiapkan resepnya?”
“Ah, kamu bisa aja,” respon Bima sambil tersenyum tipis. “Padahal persiapannya hanya dua mingguan. Menurutku resepnya belum sempurna,” lanjut Bima.
“Aku serius, Bim. Ini aja udah enak. Aku bangga sama kamu.”
Mendengar kata “bangga” dari mulut Aline membuat wajah Bima memerah.
“Kamu lucu banget sih, Bim.”
“Makasih, Lin. Oh, iya kalian mau nambah?”
“Nggak perlu, Bim.”
“Iya, Pa. Aku sama Mama udah kenyang.”
“Iya, Bim. Aku udah kenyang. Sekarang kita berdua bantu kamu ya?”
“Iya, Pa. Katanya Mama mau bantu Papa.”
“Kamu serius? Kamu nggak capek?”
“Nggak sama sekali. Ayo, Sakti!”
Aline dan Sakti beranjak dari kursinya. Bima tersenyum menatap keduanya.
“Makasih ya udah mau bantuin.”
“Sama-sama, Pa,” jawab Aline dan Sakti kompak.
-oOo-
Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 14.00 siang. Suasana warung Bakso Abim sudah mulai melenggang, hanya terdapat satu keluarga yang terdiri dari empat orang sedang menikmati bakso porsi terakhir. Beberapa pelanggan yang baru saja datang harus kecewa karena mereka harus kembali esok hari untuk dapat menikmati menu terbaru Bakso Abim. Bima pun meminta tolong kepada Ujang untuk membalikkan papan yang semula bertuliskan “BUKA” menjadi “TUTUP, BAKSO HABIS.” Sambil menunggu pelanggan yang tersisa, Bima, Aline, dan Sakti berbincang-bincang ringan sambil membereskan warung.
“Pa, ‘kan baksonya udah habis. Gimana kalau kita jalan-jalan? Mumpung hari Sabtu.”
“Hmm ... memangnya Sakti mau ke mana?”
“Sakti mau ke mall. Boleh ya, Pa, Ma? Please.”
“Kalau Papa sih boleh aja. Coba tanya Mama.”
“Boleh ya, Ma?”
“Okay, Sayang, tapi kita pulang dulu ya? Kita siap-siap sekalian jemput Nanda. Masa Nanda nggak ikut.”
“Okay, Ma.”
Setelah beres-beres dan menutup warung, mereka pun pulang ke rumah. Sakti ikut dengan Aline menggunakan mobil. Sementara Bima mengikuti dari belakang menggunakan motor.
-oOo-
Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju salah satu mall di Jakarta. Bima mengemudikan mobil, Aline duduk di samping Bima, sementara Sakti dan Nanda duduk di belakang bersama dengan Bi Tum. Selama perjalanan, terdengar alunan lagu favorit Bima dan Sakti. Sakti dengan semangat menyanyikan lagu-lagu tersebut, sementara Nanda bertepuk tangan menikmati nyanyian Sakti. Aline bahagia sekali melihat kedua anaknya begitu ceria.
Perjalanan mereka tidak begitu lama. Sekitar satu jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di tujuan.
“Pa, Ma, Sakti lapar. Aku mau makan HokBen.”
“Boleh, kita cari parkir dulu ya?”
“Oke, Pa.”
Bima segera memarkirkan mobil di tempat yang tersedia. Setelah itu, mereka turun dari mobil menuju gerai HokBen di mall tersebut. Bima berjalan di sebelah Sakti, Aline menggandeng Nanda, sementara Bi Tum mengikuti dari belakang sambil mengawasi Nanda. Setibanya di gerai HokBen mereka pun mulai berbaris untuk melakukan pemesanan.
“Aku mau ebi furai, Ma.”
“Kalau Nanda mau apa?” tanya Aline sambil menggendong Nanda.
“Nasi, Ma!” respon Nanda dengan polosnya.
“Kalau nasi udah pasti, Sayang. Mau makan sama apa?”
“Ini! Udang!”
“Oke, Sayang. Kalau Bi Tum mau makan apa?”
“Kalau saya apa aja deh, Non. Bebas.”
“Oke, Bi.”
Bima langsung mengeluarkan kartu debitnya untuk membayar seluruh pesanan mereka. Awalnya, Aline menawarkan menggunakan kartu debit miliknya, tetapi Bima menolak. Setelah melakukan pembayaran, mereka pun mencari meja yang kosong dan nyaman.
“Selamat makan semuanya!” ujar Sakti.
“Jangan lupa doa dulu ya, Sayang.”
“Oke, Mama.”
Mereka pun mulai menyantap makanan masing-masing.
“Pa, habis ini kita ke toko mainan ya? Sakti mau liat mainan.”
“Boleh, Sakti. Sekarang lanjut makan dulu ya? Baru liat mainan.”
“Oke, Pa.”
-oOo-
Selesai makan, mereka pun mulai berkeliling mall untuk sekadar jalan-jalan sambil melihat barang-barang yang terpajang.
“Kita jadi ‘kan ke toko mainan, Pa?”
“Jadi, tapi nanti ya? Mama mau beliin baju buat Sakti.”
“Iya, Sayang. Kita liat-liat baju dulu ya?”
“Oke, Ma,” jawab Sakti pasrah.
Di lubuk hati yang terdalam, Sakti tidak mengharapkan baju baru. Kalau bisa memilih, lebih baik ia dibelikan mainan baru yang sangat ia inginkan.
“Lama nggak, Ma?”
“Sebentar kok, Sayang.”
Sakti menghela napas panjang. Ia sama sekali tidak yakin dengan kata “sebentar” yang diucapkan Mamanya saat memasuki toko baju. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, “sebentar” itu bisa memakan waktu satu sampai dua jam. Mereka mulai memasuki salah satu tenant yang menjual berbagai macam baju.
“Nah, ini kayaknya cocok buat kamu, Sak. Buat ke gereja bagus. Gimana menurut kamu? Suka nggak?”
“Bagus, Ma. Aku suka.”
“Ini juga bagus. Nanti kamu cobain ya, Sayang.”
“Iya, Ma.”
“Kalau Nanda mau yang mana?”
“Pink, Ma.”
“Iya, iya, nggak mau warna lain?”
“No, Ma. Nanda mau pink.”
“Okay.”
Aline mulai melanjutkan memilih-milih baju untuk kedua anaknya ditemani oleh Bi Tum. Sementara itu, Bima dan Sakti memilih untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia.
“Sebentarnya Mama bisa dua jam, Pa. Aku bosen.”
“Ya, begitulah. Kita memang harus banyak-banyak sabar. Perempuan memang gitu, Sak. Kita sebagai laki-laki hanya bisa mengalah.”
“Gimana kalau kita toko mainan sekarang? Aku mau lihat Lego, Pa.”
“Hmm … boleh. Kita ke sana sekarang ya?”
“Oke, Pa. Ayo, mumpung Mama lagi sibuk pilih-pilih baju.”
Bima dan Sakti beranjak pergi menuju toko mainan. Sakti mulai melihat-lihat mainan Lego favoritnya.
“Sakti mau beli yang mana?”
“Sakti nggak mau beli, Pa. Sakti hanya liat-liat aja.”
“Yakin hanya liat-liat? Mau beli juga nggak apa-apa. Papa beliin.”
“Nggak ah. Nanti Mama marah, Pa.”
“Kalau Mama marah, biar Papa yang urus. Kamu pilih aja Lego yang kamu mau, tapi pilih satu ya?”
“Beneran, Pa?”
“Iya, bener.”
Sakti mulai mengambil salah satu mainan bermerek Lego yang berbentuk mobil sport merah.
“Aku mau ini, Pa.”
“Okay, kita ke kasir sekarang ya?”
“Makasih, Pa.”
“Sama-sama. Pesan Papa hanya satu, belajarnya harus rajin.”
“Siap, Komandan!”
Setelah melakukan pembayaran, keduanya kembali menghampiri Aline dan yang lainnya.
“Kalian habis dari mana?” tanya Aline dengan tatapan serius.
“Habis beli mainan, Ma.”
“Beli berapa?”
“Satu.”
“Harga?”
“Di bawah 200 ribu.”
“Pinter. Kamu beli apa, Sayang?”
“Lego, Ma. Mama nggak marah ‘kan?”
“Ngapain Mama marah? Sesekali boleh kok beli mainan. Sakti harus semakin rajin belajar ya?”
“Siap, Ma. Pasti Sakti bakal rajin belajar. Janji.”
“Oke, sekarang kamu cobain baju-baju ini ya?”
“Banyak banget, Ma.”
“Ya, baju nggak apa-apa banyak biar bisa ganti-ganti setiap hari.”
“Makasih, Ma.”
“Sama-sama.”
To be continued ... © 2025 WillsonEP. Terima kasih sudah mampir.🙌
❤️❤️❤️
ReplyDelete