Tak Ada Keluarga Sempurna (Chapter 7)
Chapter 7 : Interogasi dan Penyesalan
Bima
beranjak dari sofa mengecek ke arah luar rumah. Dari balik jendela, terlihat Pak
Darma sedang duduk di teras rumahnya sambil merokok.
“Kamu
benar, Sak. Asapnya dari luar.”
“Syukurlah,
Papa nggak curiga.”
“Kita
lanjut. Papa mau bicarain SMP mana yang mau kamu pilih.”
Sakti
merasa lega mendengar maksud Bima mengajaknya mengobrol. Ia segera mengambil
beberapa formulir penerimaan siswa baru dari dalam tas.
“Nah,
ini dia formulirnya, Pa.”
“Biar
Papa lihat dulu.”
Bima
membaca beberapa formulir yang diberikan oleh Sakti dengan seksama. Sesekali ia
menggangguk pelan saat melihat sekolah yang cukup menarik.
“Dari
empat sekolah ini, Sakti mau masuk mana?”
“Hmm
… aku maunya masuk SMP Nirwana, Pa.”
“SMP
Nirwana ya? Sekolah bagus ini.”
“Iya,
Pa. Temen-temen Sakti pada mau sekolah di sana. Boleh ya, Pa? Ada beasiswa juga
kok. Sakti akan berusaha dapatkan beasiswa itu.”
Bima
mengamati harga yang tertera pada formulir penerimaan siswa baru SMP Nirwana. Memang
biayanya cukup mahal, tapi masih dalam batas kemampuannya.
“Gimana,
Pa?”
“Kita
bicarain dulu sama Mama ya? Papa nggak bisa kasih keputusan sendiri.”
“Oke,
Pa. Ada lagi yang mau dibahas? Aku mau ke kamar, mau bersih-bersih.”
“Tunggu,
Papa mau tanya sesuatu sama kamu.”
“Tanya
apa, Pa?”
“Kamu
habis ngerokok?”
Sakti
terdiam. Jantungnya berdegup kencang, tangannya mulai berkeringat.
“Ngerokok?
Nggaklah, Pa. Aku nggak mungkin ngerokok.”
“Papa
tanya sekali lagi.Kamu ngerokok?” tanya Bima lagi dengan tatapan tajam.
“Nggak,
Pa! Mungkin karena tadi Sakti deket temen Sakti yang ngerokok makanya baunya
nempel. Aku nggak ikut-ikutan.”
“Nggak
mungkin kamu hanya berdiri aja di sana. Mulut kamu bau rokok. Kamu mau
coba-coba bohongin Papa?”
“Aku
nggak bohong, Pa.”
“Papa
minta kamu jujur sekarang.”
Sakti
terdiam. Ia memilih menundukkan kepalanya, tak berani menatap Bima.
“Aku
minta maaf, Pa. Sakti memang habis ngerokok.”
“Kenapa
kamu ngerokok?”
“Selain
penasaran, Sakti juga disuruh sama temen Sakti, Pa. Biar Sakti diterima di geng
mereka.”
Bima
menghela napas panjang, mencoba meredam amarahnya. Ia menatap Sakti yang sudah
menunduk dalam diam.
“Jadi,
kamu ngerokok biar bisa diterima sama mereka?”
“Iya,
Pa. Ngerokok itu syarat supaya aku bisa masuk geng mereka.”
“Kamu
pikir geng itu penting banget buat kamu?”
“Aku
cuma mau punya temen, Pa. Aku nggak mau sendirian.”
“Papa
paham, tapi memangnya hanya mereka aja yang bisa Sakti jadiin temen? Papa yakin
banyak kok yang mau jadi temen Sakti. Temen yang baik nggak akan maksa kamu
melakukan hal yang salah. Ada lagi yang mau kamu akui?”
“Hmm
… tadi aku bolos sekolah, Pa. Sakti minta maaf.”
“Kamu
bolos sekolah?”
“Iya,
Pa. Sakti nyesel banget.”
“Papa
maafin, tapi jangan diulangi lagi ya?”
“Iya,
Pa.”
“Sekarang
kamu ke kamar dan bersih-bersih.”
“Oke,
Pa.”
Sakti
beranjak dari sofa, berjalan menuju kamarnya dengan langkah pelan. Kepalanya
tertunduk, pikirannya dipenuhi rasa bersalah. Sementara itu, Bima masih diam di
tempat, menatap kosong formulir penerimaan siswa baru yang tadi dibahas.
“Aku
harus mengawasi Sakti lebih ketat lagi. Aku nggak mau Sakti terjerumus lebih
dalam. Cukup aku dan Aline yang melakukan kesalahan di masa lalu. Aku harus
melakukan sesuatu.”
Bima
meraih ponselnya untuk mengirim pesan kepada Aline.
Aline
♥️
13:50 Kamu pulang
jam berapa, Lin?
13:50 Aku perlu
bicara sama kamu.
Aku
hari ini pulang jam 5, Bim. 13:51
Oke,
nanti sore kita bicara yaa 😘 13:51
-oOo-
Di
kamar, Sakti baru saja selesai mandi. Ia tengah mengeringkan rambutnya yang
masih basah menggunakan handuk. Bayangan percakapannya dengan Bima masih
terbayang-bayang dalam pikirannya. Di satu sisi, ia merasa lega karena sudah
bicara jujur, tetapi di sisi lain rasa bersalah masih menghantuinya. Ia
melangkah menuju meja belajar, mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tasnya.
“Aku
harus buang ini. Benda ini nggak boleh aku coba lagi.”
Dibuangnya
benda itu ke tempat sampah yang terletak di samping meja belajar.
“Sekarang
aku harus tanya temen untuk mengejar ketertinggalan hari ini.”
Diraihnya
ponsel yang semula ditaruh di atas meja. Ia segera mengirimkan pesan kepada
seorang yang dipercaya dapat membantunya mengejar ketertinggalan materi hari
ini. Seorang itu adalah Ratna—teman sekelas Sakti yang sama-sama pintar di
kelas.
Ratna
14:00 Hai, Ratna.
14:00 Aku mau nanya tugas
dan catatan hari ini.
14:00 Makasih
sebelumnya.
Hai,
Sakti. Bentar ya aku fotoin. 14:01
Oh,
iya kenapa tadi nggak masuk? Tumben banget seorang Sakti nggak masuk sekolah.
14:01
Kamu
sakit? 14:01
14:02 Nggak sakit kok.
Tadi aku bangunnya kesiangan banget.
14:02 Daripada telat
banget, mending nggak masuk.
Oh,
gitu. Oke, deh. Bentar ya? Aku belum sampe rumah soalnya.😁
14:03
14:03 Oke, santai
aja. 😁
Sambil
menunggu pesan balasan, Sakti memutuskan untuk melihat foto profil Ratna.
“Kalau
dilihat-lihat Ratna cantik juga. Semoga saja nanti aku bisa dapet pacar
secantik Ratna. Amin.”
10
menit berlalu, Sakti menerima pesan balasan berupa beberapa foto catatan serta tugas
yang harus dikerjakan. Selain itu, Ratna pun bersedia menjelaskan materi yang tidak
dimengerti.
“Gimana,
Sak? Udah ngerti belum?” tanya Ratna dari seberang sana yang terhubung
melalui Zoom—aplikasi konferensi video yang biasa digunakan untuk
berdiskusi jarak jauh.
“Ngerti
banget kok, Rat. Makasih ya udah mau repot-repot jelasin ke aku.”
“Sama-sama.
Aku seneng bisa bantu kamu. Kalau ada lagi yang mau kamu tanyain, bisa langsung
tanya aku ya?”
“Iya,
iya. Sekali lagi makasih.”
“Oke,
udahan dulu ya, Zoom-nya. Aku mau bersih-bersih dulu.”
“Oke,
deh. Bye, Rat.”
“Bye,
Sak.”
Sakti
tersenyum puas karena ia berhasil mengejar ketertinggalan hari ini. Selama
kurang lebih dua jam lamanya, Sakti mengejar ketertinggalan tersebut dibantu
oleh Ratna. Sakti menutup laptopnya, kemudian melakukan peregangan. Rasa bersalahnya
masih ada, tapi setidaknya ia sudah mengejar ketinggalan yang ada hari ini. Ia
beranjak dari meja belajarnya, menanggalkan kaos yang ia kenakan, kemudian merebahkan
diri di tempat tidur.
“Akhirnya
selesai juga. Hari ini panas banget sih.”
Selang
beberapa saat, terdengar suara Bi Tum memanggil.
“Den,
Bibi mau ambil baju kotor. Boleh Bibi masuk?”
“Boleh,
Bi Tum masuk aja. Pintunya nggak Sakti kunci.”
Bi
Tum membuka pintu perlahan.
“Astaga,
Den. Kenapa Den Sakti nggak pake baju? Nggak takut masuk angin?”
“Panas,
Bi. Nggak mungkin masuk angin kalau panas gini.”
“Ya
udah, terserah Den Sakti aja. Baju kotornya mana?”
“Semuanya
ada di keranjang. Makasih ya, Bi.”
“Sama-sama.
Seragamnya kok bau rokok gini, Den? Den Sakti ngerokok?”
“Iya,
Bi, hanya nyoba aja, tapi ternyata nggak enak ya?”
“Memang
nggak enak, Den. Ngerokok itu nggak ada gunanya!”
“Iya,
Bi. Sakti nyesel banget coba-coba ngerokok.”
“Ya,
bagus. Jangan coba-coba ngerokok ya, Den. Sayang badan. Sehat itu mahal, Den.
Jangan sampai kayak suami Bi Tum sampai sakit kanker terus meninggal.”
“Iya,
Bi. Makasih nasehatnya. Sakti turut prihatin atas meninggalnya suami Bi Tum.”
“Sama-sama,
Den. Pokoknya jangan ngerokok ya, Den. Rugi tau!”
“Oke,
Bi. Oh, iya Nanda mana?”
“Lagi
tidur di kamar. Biasa kecapean.”
“Oh,
gitu. Ya, udah Bibi boleh keluar sekarang ya? Sakti mau istirahat.”
“Den
Sakti nggak makan?”
“Nanti
aja, Bi. Sakti belum laper.”
“Ya,
udah. Bibi permisi ya?”
“Oke,
Bi.”
To be continued ... © 2025 WillsonEP. Terima kasih sudah mampir.🙌
Comments
Post a Comment