Tak Ada Keluarga Sempurna (Chapter 8)

Chapter 8 : Rasa Bersalah

Jam digital pada dasbor mobil telah menunjukkan pukul 18.00. Aline baru saja memarkirkan mobilnya di perkarangan rumahnya yang tidak terlalu luas. Dari kaca bagian depan, Aline dapat melihat Bima sudah menunggu kedatangannya di teras rumah dengan ekspresi datar. Aline segera turun dari mobil, menghampiri lelaki itu dan menyalaminya.

“Aku pulang, Bim.”

“Akhirnya kamu pulang juga.”

“Kamu kenapa sih, Bim? Mukanya kok gitu amat? Ada masalah? Kamu bisa cerita sama aku.”

“Ada. Kamu nganterin Sakti tadi pagi gimana sih?”

“Ya, seperti biasanya sampai parkiran. Emangnya kenapa?”

“Kenapa Sakti bisa bolos hari ini? Kamu memangnya nggak pastiin dulu Sakti masuk gedung sekolah?”

“Sakti bolos? Pasti kamu bercanda ya, Bim. Sakti ‘kan paling nggak mau bolos sekolah. Memang tadi pagi aku nggak pastiin dia masuk soalnya Mama minta aku segera ke kantor.”

“Aku nggak bercanda. Kenyataannya Sakti memang bolos hari ini. Nggak hanya itu, dia juga udah berani coba-coba ngerokok. Ini semua salah kamu, Lin. Kenapa kamu nggak pastiin Sakti masuk dulu baru pergi?”

“Aku minta maaf, Bim. Pagi tadi memang ada meeting penting yang harus aku ikuti.”

“Kamu selalu aja begitu. Lebih mentingin kerjaan dibanding anak sendiri. Kamu udah nggak sayang sama anak-anak?”

“Nggak gitu, Bim. Aku bakal bicara sama Sakti. Di mana dia sekarang?”

“Di kamarnya, tadi sih aku liat masih tidur. Pelan-pelan masuknya.”

“Oke, aku permisi ke kamar Sakti dulu.”

“Jangan lupa ajak dia makan malam. Ibu udah siapin masakan favorit dia.”

“Iya, iya.”

Aline beranjak masuk menuju kamar Sakti. Ia mulai membuka pintu kamar Sakti perlahan, terlihat Sakti masih terlelap dengan bertelanjang dada. Aline melangkah mendekat, duduk di tepi tempat tidur.

“Sakti sayang, bangun dulu yuk! Kamu nggak makan? Ini udah sore loh,” ujar Aline sambil mengusap lembut rambut putranya.

Sakti yang semula membelakangi Aline mulai membalikkan badannya.

“Mama udah pulang ternyata.”

“Iya, Mama di sini.”

“Mama ngapain di sini?”

“Mau ajak kamu makan malam. Oma udah masak masakan favorit kamu.”

“Yah, masakan Oma lagi? Sebenernya aku bosen sama masakan Oma, tapi apa boleh buat aku udah laper banget.”

Sakti bergegas meraih kaus tanpa lengan yang sebelum tidur ia taruh di nakas sebelah kanan ranjang.

“Ma, aku duluan ke ruang makan ya?”

“Tunggu, Sayang. Bisa Mama bicara sama Sakti sebentar?”

“Bicara soal?”

“Kata Papa Sakti bolos sekolah hari ini. Beneran?”

“Iya, beneran.”

“Kenapa Sakti bolos? Tumben banget. Sakti ada masalah di sekolah?”

Sakti menggeleng.

“Nggak ada. Aku hanya bosen sekolah aja.”

“Selain bolos katanya Sakti juga coba-coba ngerokok. Kenapa kamu ngerokok?”

“Selain aku penasaran, biar aku keliatan keren. Temen-temen Sakti pada ngerokok, masa aku nggak boleh? Lagian ngerokok bikin pikiran aku jauh lebih enak.”

“Ngerokok nggak bagus buat kesehatan, Sayang. Sakti jangan ngerokok lagi ya?”

“Aku nggak bisa janji, Ma.”

“Kenapa Sakti jadi begini?”

“Suka-suka aku dong. Aku udah gede. Mama nggak usah ikut campur urusan aku. Mama urus aja kerjaan Mama yang banyak itu. Udah ah, aku laper mau makan.”

“Sakti tunggu! Mama belum selesai bicara!”

Sakti beranjak keluar kamar meninggalkan sang Mama sendirian di kamar. Di kamar, Aline menghela napas panjang. Ia sama sekali tidak menyangka putranya bisa berkata seperti tadi. Setelah berdiam diri untuk beberapa saat, Aline akhirnya menyusul Sakti ke ruang makan. Semuanya terlihat sudah berkumpul di meja makan untuk makan malam.

“Kamu ternyata udah pulang, Lin. Ayo, kita makan malam bareng.”

“Iya, Bu. Aline sengaja pulang cepet biar bisa makan malam bareng keluarga.”

“Bagus itu. Sekarang kita mulai ya makan malamnya. Kita doa dulu ya sebelum makan,” tambah Afan.

-oOo-

Selesai makan malam, Sakti langsung kembali ke kamar karena ia sudah ada janji dengan teman-temannya untuk main game bersama. Dibukanya game yang sedang naik daun itu pada ponselnya.

It’s time to play!”

Tak lama, Aline memasuki kamar.

“Mama masih perlu bicara sama kamu.”

Sakti memilih fokus dengan ponselnya karena game tersebut sudah mulai.

“Sakti, tolong jawab Mama.”

“Mau bicara apa lagi sih, Ma? Bukannya tadi udah selesai semua? Aku lagi mabar nih sama temen. Mama ganggu aja.”

“Kenapa kamu bersikap seperti ini sama Mama? Mama memangnya pernah ajarin bicara keras ke orang tua?”

“Habis Mama ganggu aja. Aku lagi mabar tau. Nanti kalah kalau Mama ganggu terus. Mama lebih baik keluar dan jangan ganggu aku.”

“Oke, Mama keluar sekarang.”

Aline beranjak pergi meninggalkan kamar Sakti dengan perasaan bersalah dan khawatir. Ia putuskan untuk masuk ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Bima terlihat tengah berbaring di tempat tidur dengan menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur sambil memainkan ponselnya. Aline menutup kamar pelan, tetapi Bima tetap menyadari kehadiran sang istri.

“Kamu udah bicara sama Sakti?” tanya Bima tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel di depannya.

“Udah, tapi gitu deh. Sakti nggak mau dengerin omongan aku. Dia malah asyik mabar sama temen-temennya. Aku minta maaf ya, Bim. Aku belum bisa jadi ibu yang baik buat anak-anak dan istri yang baik buat kamu.”

“Sabar. Aku juga minta maaf, Lin. Maaf, tadi aku sempat marahin kamu. Padahal aku tau kalau kamu kerja juga buat bantu aku memenuhi kebutuhan rumah.”

It’s okay. Aku memang salah juga, Bim. Harusnya aku pastiin dulu Sakti masuk sekolah baru aku pergi.”

“Ya, kita harus lebih menjaga Sakti lebih ketat lagi. Aku nggak mau Sakti terjerumus ke pergaulan yang nggak baik. Cukup kita saja yang melakukan kesalahan di masa lalu.”

“Kamu benar, Bim. Aku akan bantu kamu mengawasi Sakti.”

“Makasih ya, Lin.”

“Nggak perlu berterima kasih. Ini memang sudah tugas kita sebagai orang tua.”

“Ya udah, sekarang kamu bersih-bersih. Keburu malem.”

“Oke, Bim. Ini juga udah malem.”

“Maksudku keburu malem banget. Mandi malem nggak bagus buat kesehatan.”

“Iya, deh. Aku mandi dulu.”

“Oke. Jangan lama-lama ya, Lin. Aku tunggu.”

“Iya, iya.”

To be continued ... © 2025 WillsonEP. Terima kasih sudah mampir.🙌

Comments

Trending This Week 🔥🔥

📣 BESOK! Bisakah Aku Bahagia Eksklusif di KaryaKarsa

My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)