Andrew & Anes (Chapter 7)
Keesokan harinya…
Waktu masih menunjukkan
pukul 04.00 pagi. Andrew baru saja menyelesaikan sarapan paginya bersama sang
papa.
“Pa, aku berangkat ke
sekolah dulu ya!”
“Nggak salah? Sepagi ini? Biasanya
berangkat jam 5-an.”
“Andrew mau jemput
seseorang dulu, Pa.”
“Oh, gitu. Jemput pacar baru
lagi ya?”
“Masih calon, Pa.”
“Ya sudah, semangat ya!
Ingat pesan Papa.”
“Iya, kali ini aku
pacarannya hanya sama satu orang kok.”
“Bagus itu. Ya sudah, kamu
berangkat ya! Naik mobil?”
“Iya, Pa. Jaraknya lumayan
soalnya.”
“Okay, hati-hati.”
“Siap, Pa.”
Andrew beranjak menuju
mobilnya. Ia pun segera menjalankan mobilnya menuju rumah Anes, perempuan yang
dicintainya. Sekitar pukul 05.20, mobil Andrew tiba di tujuan. Kali ini Andrew
memarkirkan mobilnya tepat di depan gerbang rumah. Ia segera mengambil
ponselnya untuk menghubungi Anes.
Anes Setiawan
05:22 Gue di depan rumah
lu.
“Semoga saja dia mau terima
tawaran gue. Ayo dong, Nes! Baca chat dari gue.”
Ngapain di depan rumahku?
Kamu masih belum puas dimarahin Mamaku? 05:24
Read 05:25 Jemput lu.
Buruan ke depan. Gue nggak masalah. Sopir lu pulang kampung ‘kan? Makanya gue
jemput.
Hmm, iya, tapi aku bakal
diantar Papa hari ini. Jadi kamu nggak perlu repot-repot. 05:26
Read 05:26 Yakin nggak
nyesel?
Yakinlah, lebih baik kamu
pergi daripada kena marah lagi. Aku juga kena tahu 05:27
“Gue nggak akan nyerah,
Nes.”
Tak lama, Andrew melihat
pintu gerbang rumah gadis itu mulai terbuka. Andrew pun turun dan menghampiri
Andreas dan Anes yang hendak masuk mobil.
“Selamat pagi, Om, Nes.”
“Ngapain kamu ke sini? Mau
bikin onar lagi di rumah saya?”
“Nggak, Om. Saya ke sini
mau jemput Anes dan pergj sekolah bareng.”
“Jangan mimpi kamu! Saya nggak
akan biarkan playboy sepertimu dekati anak saya.”
“Den, mobilnya bisa
dipindahkan? Majikan saya mau keluar.”
“Bentar, Pak. Saya masih
belum selesai. Om Andreas, tolong izinkan saya pergi sekolah bareng Anes. Saya
sudah tobat kok.”
“’Kan sudah saya bilang,
nggak akan! Cepat pinggirkan mobilmu! Saya mau keluar.”
“Baik, Om. Saya pinggirkan,
tapi saya nggak akan nyerah mengejar cinta saya.”
Andrew kembali ke mobil
untuk memundurkan mobilnya yang menghalangi gerbang. Tak lama, Andreas menjalankan
mobilnya dan mulai bergerak menjauh.
“Okay, kali ini gue
belum berhasil. Gue nggak akan nyerah! Sekarang lebih baik, aku ikuti mobil Om
Andreas.”
Andrew menjalankan mobilnya
mengikuti mobil Andreas. Dalam perjalanan, Andreas tak berhenti-berhenti
menasihati Anes untuk menjauhi pria bernama Andrew itu.
“Kamu mengerti, Anes? Jauhi
dia!”
“Iya, Pa. Anes ngerti kok.
Anes dan dia nggak ada hubungan apa-apa.”
“Kamu yakin? Kenapa dia
berani-berani jemput kamu ke rumah?”
“Yakin, Pa. Aku juga nggak
tahu. Inisiatif dia sendiri kali. Aku nggak pernah minta jemput sama dia.”
“Hmm, nekat juga cowok itu.
Papa harus bagaimana ya ngadepin dia?”
“Nggak usah diurusin, Pa.
Nanti juga dia lelah sendiri. Aku sama sekali nggak suka sama dia. Bisa dibilang
kami itu musuhan. Lebih baik kita nggak usah bahas dia. Aku malas bahas dia,
Pa.”
“Ya sudah, kita bahas yang
lain saja ya!”
Di tengah perjalanan,
tiba-tiba mobil yang dikendarai oleh Andreas berhenti. Andrew yang sejak tadi
mengikuti pun memutuskan untuk berhenti juga. Andrew turun dari mobilnya menghampiri
Andreas yang sedang memeriksa mobilnya.
“Mobilnya kenapa, Om?”
“Entahlah, mobilnya
tiba-tiba mati.”
“Oh, gitu. Bagaimana kalau
Anes ikut sama saya saja, Om?”
“Oh, tidak bisa. Saya tidak
bisa membiarkan putri saya bersama lelaki playboy sepertimu. Saya yakin
bisa mengatasi masalah ini. Lebih baik kamu pergi dari sini.”
“Hmm, nggak. Saya tungguin
Om saja.”
Andrew kembali ke mobil. Ia
memutuskan untuk menunggu hingga mobil milik Andreas menyala. Namun, 20 menit
berlalu mobil tersebut tak kunjung menyala. Tak lama, Andreas dan Anes berjalan
menghampiri mobil Andrew.
“Saya berubah pikiran. Bisa
kami ikut? Saya takut putri saya telat.”
“Tentu boleh, Om. Silakan
masuk. Apa sih yang nggak buat calon mertua dan calon pacar.”
“Kamu jangan kepedean. Saya
mau ikut kamu juga terpaksa. Anes, kamu duduk di belakang ya! Biar Papa yang
duduk depan.”
“Okay, Pa.”
Andreas dan Anes mulai
memasuki mobil Andrew. Tak lama, Andrew pun menjalankan mobilnya melanjutkan
perjalanan menuju sekolah. Tentu saja selama perjalanan, suasana di mobil sepi
hening tak ada suara.
“Andrew, Andrew, lu harus
sabar hadapi calon mertua seperti Om Andreas. Om Andreas kaku banget sih. Apa
dia nggak bisa senyum sedikit saja?” batin Andrew sambil sedikit memerhatikan
pria di sampingnya.
“Ada apa kamu lihat-lihat
saya? Nyetir itu fokus!”
“Iya, Om. Saya fokus nyetir
kok.”
Sekitar pukul 06.20, mereka
tiba di tujuan. Sesampainya di tujuan, Andreas langsung turun mengajak
putrinya.
“Drew, thanks ya
sudah antar aku.”
“My pleasure, Nes.”
“Ayo, Sayang! Kamu masuk
sana ke sekolah. Bentar lagi bel masuk ‘kan?”
“Sebentar dong, Pa. Papa
nggak bilang makasih sama Andrew? Papa ‘kan selalu mengajarkanku untuk selalu
berterima kasih ke orang yang telah membantuku.”
“Terima kasih ya sudah
mengantar saya dan putri saya.”
“Sama-sama, Om. Oh, iya, Om
pulang naik apa?”
“Saya bisa naik taksi online.
Anes, kamu masuk sekarang sana. Jangan dekat-dekat sama laki-laki ini.”
“Okay, Pa.”
“Ya sudah, Om. Saya pamit
masuk dulu ya!”
“Tunggu sebentar, saya
perlu bicara.”
“Bicara sama saya?”
“Iya, sama kamu. Ini
penting.”
“Om Andre mau bicara apa
sama saya?”
“Saya hanya mau
mengingatkan kamu untuk jauhi anak saya. Saya nggak mau kamu dekat-dekat putri
saya. Mengerti?”
“Saya ngerti Om Andre nggak
suka sama saya, tapi saya akan tetap kejar Anes sampai dapat.”
“Kamu berani menentang
saya?”
“Saya bukan menentang, ini adalah
perjuangan cinta.”
“Kamu yakin bisa dapetin
anak saya?”
“Yakin, Om. Sudah dulu ya!”
Andrew beranjak
meninggalkan Andreas dan segera memasuki gedung sekolah.
“Hmm, cukup percaya diri
juga dia. Aku harus tetap waspada.”
Andreas mengambil ponselnya
dan segera memesan taksi online.
—oOo—
Bel pulang sekolah baru saja
berbunyi. Anak-anak kelas XI-IPS 2 mulai berhamburan kembali ke kelas setelah
mengikuti pelajaran olahraga.
“Nes, lu pulangnya gimana?
Gimana kalau gue antar?” tanya Andrew tiba-tiba sambil mengelap keringatnya
menggunakan handuk.
“Papa yang jemput, jadi
kamu nggak usah repot-repot.”
“Yah, kenapa nggak sama gue
saja sih? Nggak ngerepotin kok.”
“Selain Papa nggak
mengizinkan, aku juga nggak mau pulang bareng kamu.”
“Kenapa? Gue nggak akan
ngapa-ngapain lu.”
“Sudah ya! Aku permisi
dulu. Kev, Jov, Jul, aku duluan ya!”
“Okay, Nes.
Hati-hati di jalan!”
Anes keluar kelas diikuti
oleh Andrew yang masih tidak menyerah untuk mengantarkan perempuan itu pulang.
“Ngapain ikutin aku terus?”
“Ya, biarin. Gue mau jagain
orang yang gue sayang.”
“Apaan sih? Please, jangan
ikuti aku.”
Anes melanjutkan langkahnya
menuju parkiran. Kali ini sedikit lebih cepat untuk menghindari pria yang
mengikutinya. Namun, tetap saja pria tersebut mengikutinya hingga mereka tiba
di parkiran.
“Mana Papa lu? Belum
kelihatan. Mending lu pulang bareng gue. Ayo!”
“Nggak, mending aku tunggu
Papa di sini.”
“Batu banget sih. Papa lu
bukannya lagi kerja ya? Pasti dia sibuk banget. Mending lu pulang bareng gue.”
“Nggak, Andrew. Aku sudah
janji sama Papa. Kamu maksa banget sih.”
“Ini bukan paksaan, ini penawaran.
Ya sudah, kalau lu nggak mau. Gue temenin ya sampai Papa lu jemput?”
“Terserah.”
Andrew pun duduk di samping
Anes untuk menemaninya hingga dijemput. 15 menit, 25 menit berlalu. Namun, Andreas
tak kunjung muncul.
“Sudah jam segini, Papa lu
belum datang juga. Dia jadi jemput lu nggak? Kalau nggak, mending pulang sama
gue.”
“Kalau Papa nggak jadi
jemput, aku bisa naik ojol.”
“Ngapain naik ojol? Ada
gue, Nes. Gue bakal antar lu pulang dengan selamat dan gratis juga.”
“Suttt berisik! Pergi sana!”
“Gue bakal tunggu di sini
sampai lu pulang.”
Anes pun mencoba
menghubungi Andreas, sang papa. Beberapa kali ia coba, tetapi teleponnya tak
kunjung diangkat.
“Nggak diangkat, ‘kan?
Berarti lagi sibuk. Mending lu sama gue. Ayo!”
“Hmm, okay. Aku ikut
kamu, tapi awas berani macam-macam.”
“Lu tenang saja. Gue nggak
akan ngapa-ngapain lu. Senakal-nakalnya gue jadi playboy dulu, gue nggak
pernah macam-macam sama mereka.”
“Ah, masa?”
“Gue serius, lu bisa tanya
ke mereka. Ya sudah, ayo kita pulang!”
Mereka pun segera beranjak
menuju mobil milik Andrew.
“Pa, Ma, maafin Anes. Aku
terpaksa ikut Andrew karena naik ojol pun aku nggak ada ongkos. Lagian kalau
ada yang gratis kenapa harus bayar?” batin Anes.
“Kenapa lu duduk belakang?
Depan dong.”
“Ah, nggak mau. Aku nggak
suka duduk depan. Kamu keberatan?”
“Hmm, sedikit. Gue bukan
sopir pribadi lu.”
“Ya sudah, aku turun.”
“Jangan, gue nggak
keberatan kok. Gue senang bisa antar lu pulang.”
“Bagus itu. Ayo, berangkat!
Aku nggak mau lama-lama.”
“Iya, iya.”
To be continued...
©2022 By WillsonEP
Yeyyyyyyyy
ReplyDeleteAkhirnya update juga ��😉🤗
ReplyDeleteLanjut thor 😂😂😁
ReplyDeletenextt thorrr :)
ReplyDelete