Andrew & Anes (Chapter 9)

Chapter 9 : Cowok Itu Lagi

Jumat pagi, sekitar pukul 05.00 Anes baru saja membuka kedua matanya.

“Hmm, sudah jam lima saja. Perasaan baru tidur bentaran sudah pagi saja.”

Anes beranjak dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Seperti biasa, ia melakukan rutinitas paginya. 15 menit kemudian, Anes keluar dan segera memakai seragamnya. Tak lupa ia juga menyemprotkan parfum pada seragam yang ia kenakan.

“Rambut sudah disisir, seragam sudah rapi dan wangi. Sekarang waktunya sarapan.”

Anes keluar kamar menggendong tas sekolahnya. Ia segera menghampiri kedua orang tuanya di ruang makan.

“Selamat pagi, Papa dan Mama Anes tersayang.”

“Pagi, Sayang. Ayo, kita mulai sarapannya! Mama sudah masak makanan kesukaan kamu.”

“Asyik, makan enak nih.”

Anes mengambil posisi duduk dan segera mengambil nasi dan lauk. sarapannya. Sarapan pun dimulai. 20 menit kemudian, mereka selesai sarapan.

“Hari ini Papa yang antar jemput lagi. Papa janji kali ini kamu bakal dijemput sama Papa. Papa nggak bisa biarkan kamu pulang sama cowok playboy itu.”

“Iya, deh. Aku nurut sama Papa.”

“Ma, Papa antar Anes dulu ya!”

“Iya, Pa. Hati-hati ya! Anes, kamu belajarnya yang pintar ya!”

“Siap, Ma.”

Anes dan Andreas keluar rumah.

“Baron, kamu buka pintu gerbangnya. Saya mau antar putri saya sekolah.”

“Siap, Pak.”

Ketika Pak Baron membuka gerbangnya, terlihat sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang dengan seorang cowok yang sedang bersandar di mobil tersebut.

“Selamat pagi,” sapa cowok itu dengan senyuman tak berdosa.

“Cowok itu lagi? Mau apa lagi dia ke sini? Kamu janjian sama dia?”

“Ya nggak mungkin, Pa. Aku nggak janjian sama dia.”

“Biar Papa yang urus dia. Kamu tunggu di sini.”

Andreas turun dari mobil menghampiri pria itu.

“Ngapain kamu ke sini lagi?”

“Selamat pagi, calon mertua. Saya ke sini mau jemput Anes, putri Om yang sangat cantik. Apakah boleh?”

“Nggak, tidak saya izinkan. Lebih baik kamu berangkat sekolah sendirian saja. Anes biar sama saya.”

“Nggak bisa dipertimbangkan lagi, Om? Saya jauh-jauh lho ke sini buat jemput anak Om.”

“Nggak bisa, sekarang kamu pinggirkan mobilmu. Saya mau keluar.”

“Ya sudah, saya permisi. Saya nggak akan nyerah, Om.”

“Kita lihat saja seberapa tahan kamu. Saya yakin kamu akan menyerah.”

Andrew masuk ke mobilnya dengan raut kecewa. Tak lama, mobil itu berlalu pergi meninggalkan rumah itu. Andreas pun kembali ke mobil.

“Kita berangkat sekarang ya! Nggak ada yang ketinggalan?”

“Beres, Pa.”

“Ya sudah, kita berangkat!”

Andreas segera melajukan mobilnya menuju SMA Nusantara.

“Papa tadi bicara apa saja sama dia?”

“Tadi dia mau jemput kamu. Ya, Papa tolak-lah. Papa nggak mau cowok itu dekat-dekat kamu. Kemarin kamu nggak diapa-apain sama dia ‘kan?”

“Nggak, Pa. Kemarin hanya makan mie ayam, terus pulang deh. Aku pun duduk di belakang.”

“Bagus itu. Papa ingatkan jangan dekat-dekat dia.”

“Iya, Pa.”

Setelah percakapan itu, Anes memutuskan untuk mendengarkan musik dengan earphone bluetooth miliknya. Sambil mendengarkan lagu, ia kembali kepikiran dengan raut wajah Andrew barusan. Kecewa! Jujur, Anes merasa tidak enak dengannya karena ia tahu jarak rumah Andrew dan rumahnya lumayan jauh. Sudah jauh-jauh datang, tetapi ditolak mentah-mentah. Kalau papanya tidak keberatan, mungkin Anes akan menerima tawaran Andrew untuk pergi bersama.

30 menit perjalanan, Anes tiba di sekolah. Setelah berpamitan dengan sang papa, Anes memutuskan pergi ke kantin. Ia hendak menemui Andrew untuk meminta maaf. Namun, setibanya di kantin, Anes tidak menemukan keberadaan Andrew. Ia hanya melihat kedua temannya Andrew, Eric dan Gian.

“Eric, Gian, Andrew mana?”

“Eh, Anes. Andrew belum datang, Nes. Tumben banget nyariin dia. Ada apa?”

“Aku ada urusan sama dia.”

“Kayaknya sih bentar lagi, lu tunggu di sini saja.”

“Memangnya boleh?”

“Boleh, Nes. Duduk aja. Nggak apa-apa ‘kan, Gi?”

It’s okay, Nes. Duduk aja. Gue nggak keberatan kok.”

“Aku nggak enak sama kamu, Gian.”

“Santai, kita ‘kan tetap bisa berteman. Gue tahu cinta memang nggak bisa dipaksakan.”

Thanks, sudah ngertiin aku.”

“Oh, iya sambil tunggu, lu mau pesen apa? Batagor? Biar gue pesenin.”

“Hmm, nggak usah, Gian. Aku sudah sarapan.”

“Oh, gitu. Okay, deh. Kalau minum?”

“Nggak usah, Gian. Thanks, tawarannya.”

10 menit, 20 menit, bahkan hingga bel masuk sekolah berbunyi, Andrew tak kunjung muncul. Anes pun menjadi merasa bersalah kepada Andrew.

“Apa Andrew nggak sekolah gara-gara kejadian tadi pagi? Pasti dia kecewa banget ditolak lagi sama Papa. Andrew, maafin papaku ya! Dia memang begitu.” batin Anes.

 To be continued...

©2022 By WillsonEP

Comments

Trending This Week 🔥🔥

My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)

📣 Baca Duluan Bisakah Aku Bahagia