Andrew & Anes (Chapter 13)

Chapter 13 : Misi Penting Andrew

Sekitar pukul 18.00, Andrew baru saja membeli dua porsi martabak untuk calon mertuanya di masa depan nanti. Ia sengaja membeli martabak di tempat yang cukup terkenal di Kota Bandung. Setelah urusan transaksi selesai, Andrew pun berangkat menuju kediaman Anes.

“Permisi.”

Tak lama, Baron —satpam rumah Anes — keluar membukakan gerbang.

“Selamat malam. Saya dari WeFood mau antar pesanan martabak atas nama Bapak Andreas. Apakah betul ini alamatnya?”

“Malam. Iya, betul ini kediaman beliau.”

“Ini pesanan martabaknya.”

“Terima kasih, Pak. Pembayarannya bagaimana? Apakah sudah dibayar?”

“Sudah, Pak. Oh, iya saya boleh numpang ke toilet, Pak? Saya kebelet nih.”

“Silakan. Toilet-nya ada di sebelah sana. Saya antar ini ke Bapak dulu ya!”

Okay, Pak.”

Andrew memasuki halaman rumah itu. Namun, sebenarnya ia tidak ingin ke toilet. Ia malah mencari keberadaan kamar Anes.

“Hmm, kayaknya kamar yang itu kamar Anes. Gue harus manjat sekarang.”

Andrew mulai memanjati rumah itu hingga ia tiba di salah satu balkon kamar.

“Untung saja, satpam tadi nggak mengenali penyamaranku. Semoga saja benar kamar ini adalah kamar Anes.”

Andrew mulai mengetuk kaca jendela kamar itu dengan pelan. Anes yang baru saja memasuki kamarnya kaget mendengar suara ketukan tersebut. Anes mengambil tongkat golf untuk berjaga-jaga siapa tahu seseorang di balkon kamarnya adalah orang jahat. Anes mulai membuka tirai jendelanya perlahan.

“Andrew, kamu ngapain di sini?”

“Buka dulu pintunya. Gue mau ngomong.”

“Sebaiknya kamu pulang sekarang. Kalau Papaku tahu kamu di sini kamu pasti dimarahi. Mungkin bakal dilaporkan sampai polisi.”

“Gue perlu ngomong sebentar sama lu. Sebentar saja.”

Anes pun membuka pintu balkonnya.

“Kamu mau bicara apa?”

“Selamat malam, Cantik. Ini bunga mawar putih buat lu.”

Thanks, kamu tahu dari mana aku suka mawar putih? Oh, iya kamu kok bisa di sini? Naiknya bagaimana?”

“Gampang itu. Gue tinggal manjat dan sekarang gue ada di hadapan lu. Lu mau ya jadi pacar gue? Apapun akan gue lakukan supaya lu bisa terima gue. Manjat rumah lu juga gue rela.”

Anes terdiam. Ia sama sekali bingung apa yang harus dilakukannya sekarang ini. Kalau menerima? Ia masih ragu dengan keseriusan Andrew, apalagi kedua orang tuanya melarang dirinya berpacaran selama sekolah. Menolak? Anes pun merasa tidak tega karena perjuangan yang Andrew lakukan selama ini cukup ekstrem. Sekarang pria itu rela memajat rumahnya yang cukup tinggi untuk hanya bertemu? Ini gila! Kalau sampai pria itu jatuh? Bagaimana nasibnya?

“Halo, Anes cantik. Ini gue nunggu jawaban loh. Kok lu malah bengong sih?”

“Kamu gila, Drew! Ini ‘kan tinggi banget. Nanti kamu jatuh bagaimana?”

“Ya, paling patah tulang doang. It’s okay, Nes. Jadi gimana jawaban lu?”

“Nanti aku pikirkan lagi. Sekarang lebih baik kamu pergi dari sini. Cepat!”

Tak lama, mereka mendengar suara Andreas berjalan mendekat.

“Nes, ini ada kiriman martabak dari kolega Papa. Kita makan bersama-sama, yuk!”

“Gawat, Papaku mau ke sini. Lebih baik kamu pergi sekarang! Cepat!”

“Ya sudah, gue pergi dulu. Bye, Sayang!”

Andrew mulai menuruni balkon tersebut dengan gesit.

Bye, Sayang! Sampai ketemu hari Senin!” teriaknya dari bawah.

“Gila juga dia. Manjat-manjat rumah orang! Mana tadi dia turunnya cepat banget  lagi, kalau jatuh bagaimana?”

Beberapa saat kemudian, Andreas memasuki kamar Anes.

“Nes, kamu ngapain di balkon malam-malam gini?”

“Eh, Papa. Cari angin, Pa. Malam ini gerah banget. Oh, iya Papa ngapain ke sini?”

“Papa mau ajak kamu makan martabak. Mau nggak? Kolega Papa barusan kirim martabak.”

“Kolega Papa kirim martabak? Kok aneh banget sih?”

“Kolega Papa yang satu ini beda. Dia unik, Sayang. Ayo!”

“Iya, iya.”

Anes mulai mengikuti sang Papa ke ruang keluarga untuk menikmati martabak kiriman tersebut. Sementara itu, Andrew sudah beranjak pulang ke rumah. Satu jam perjalanan, Andrew tiba di rumah. Sesampainya di rumah, Andrew langsung disambut oleh Hardi, sang papa.

“Bagaimana misinya? Berhasil? Kok kamu nggak jadi kasih martabaknya atas nama kamu? Malah pakai nama Papa.”

“Hmm, Andrew berubah pikiran, Pa. Kayaknya bukan waktu yang tepat untuk Andrew kasih martabak itu atas nama aku. Untuk misi, sepertinya ada progress. Anes mau pikirkan lagi ajakan aku. Papa bantu doa ya! Semoga saja dia mau jadi pacar Andrew.”

“Amin, amin. Bagus itu. Pesan Papa kamu harus serius ya sama dia. Jangan sampai kamu permainkan dia.”

“Iya, Pa. Kali ini aku benar-benar serius.”

“Ya sudah, ayo masuk! Sudah jam segini.”

“Siap, Pa.”

To be continued...

©2022 By WillsonEP

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

📣 BESOK! Bisakah Aku Bahagia Eksklusif di KaryaKarsa

My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)