The Twins Julian & Julivan : Chapter 6

Chapter 6

Keesokan harinya, sekitar pukul 06.00 pagi, Julian baru saja keluar dari rumahnya untuk pergi ke sekolah. Charles pun sudah bersiap untuk mengantar Jenny ke rumah sakit jiwa.

“Ma, Pa, hati-hati di jalan ya! Julian pergi sekolah dulu.”

“Iya, Jul. Kamu sekolahnya yang semangat ya!” jawab Charles.

“Siap, Pa.”

“Ma, Julian pamit sekolah dulu ya!”

Jenny sama sekali tidak merespon sapaan Julian. Tatapannya kosong ke arah depan.

“Mama kenapa, Pa?”

“Entahlah, Julian. Dari tadi pagi, Mama sudah seperti ini. Kamu yang sabar ya!”

“Iya, Pa.”

Julian memeluk sang mama dari belakang.

“Ma, cepat sembuh ya! Julian pengen banget lihat Mama ceria lagi seperti dulu. Julian janji bakal bantu Papa untuk menemukan Ivan,” batin Julian.

“Julian, sudah waktunya kamu berangkat. Nanti kamu telat ke sekolahnya.”

“Oh, iya sudah jam segini. Julian pamit ya!”

Julian melepaskan pelukannya. Ia bergegas masuk mobil dan berangkat bersama Pak Barli, sopir yang biasa mengantarnya. Di perjalanan, ia hanya terdiam memikirkan kondisi sang mama yang akan kembali masuk ke rumah sakit jiwa. Apa sang mama akan baik-baik saja di sana? Julian pun memutuskan untuk memejamkan matanya sebentar. Tak lama, ia kembali bermimpi kejadian 10 tahun lalu. Ia sedang berada dalam pelukan sang mama di tengah terjangan tsunami.

“Ma, Julian takut!”

“Kamu nggak usah takut ya, Sayang. Mama akan jaga kamu. Peluk Mama erat-erat. Mama nggak mau terpisah sama kamu.”

“Iya, Ma. Papa sama Ivan mana, Ma?”

“Mama juga nggak tahu, Sayang. Nanti kita cari mereka ya!”

“Okay, Ma.”

Tak lama, gelombang kembali datang menerjang mereka hingga Julian terbentur sesuatu hingga tak sadarkan diri.

“Mama!” teriak Julian terbangun dari tidurnya.

“Den, Julian baik-baik saja?”

“Saya baik-baik saja, Pak.”

“Kita sudah sampai di sekolah, Den.”

“Oh, sudah sampai. Thanks ya, Pak. Saya turun dulu.”

“Siap, Den. Pulangnya hari ini jam 13.35 ‘kan, Den?”

“Iya, Pak.”

“Nanti saya jemput.”

Julian segera memasuki gedung sekolahnya. Sementara itu, kembarannya, Ivan sedang terbaring lemah di kamar. Sejak kemarin malam, badannya demam cukup tinggi.

“Ivan, kamu sarapan dulu ya? Ibu sudah siapkan bubur buat kamu.”

“Nanti, Bu. Ivan lagi nggak selera makan.”

“Kamu harus makan, Van. Sedikit saja biar perutmu nggak kosong.”

“Ya sudah, sedikit saja ya, Bu.”

Dela mulai menyuapi Ivan perlahan. Satu sendok, dua sendok, tiga sendok.

“Sudah, Bu. Cukup.”

“Ya sudah, sekarang minum paracetamolnya. Semoga saja nanti siang kamu sudah membaik. Kalau belum membaik, kita ke rumah sakit ya?”

“Amin, Bu. Nanti siang pasti aku pasti membaik. Ivan hanya butuh istirahat.”

“Iya, kamu istirahat ya! Ibu mau siap-siap masak buat warung hari ini.”

Dela keluar dari kamar Ivan.

“Ma, Pa, Jul, aku kangen kalian. Apa kalian benar-benar sudah tiada atau mungkin kalian selamat dan berada di suatu tempat? Aku ingin bertemu kalian lagi. Ya Tuhan, kalau mereka masih hidup, tolong pertemukan aku dengan mereka lagi.”

Ivan mulai memejamkan matanya kembali. Badannya masih sangat lemah.

—oOo—

Sekitar pukul 15.00, Tari tiba di rumah Ivan yang sekaligus adalah Warung Tegal Bu Dela. Tari memutuskan untuk menghampiri ke rumahnya karena ia khawatir dengan kondisi Ivan yang tanpa kabar.

“Permisi, Bu.”

“Eh, Nak Tari. Mau cari Ivan ya?”

“Iya, Bu. Ivannya ada? Kok hari ini Ivan nggak masuk sekolah ya?”

“Ada, Ivannya lagi sakit, Nak. Kalau mau jenguk, langsung masuk saja ya! Maaf, Ibu nggak bisa antar. Warungnya lagi penuh.”

“Baik, Bu. Tidak apa, saya bisa sendiri.”

Tari beranjak menuju kamar Ivan. Ini adalah kali ketiga ia mengunjungi rumah Ivan sehingga ia sudah mengetahui di mana letak kamar lelaki itu.

“Van, ini aku Tari. Boleh aku masuk? Aku mau jenguk kamu.”

Tak ada jawaban dari dalam.

“Apa aku langsung masuk saja? Tapi kalau Ivan lagi mandi bagaimana? Aku nggak mau Ivan marah lagi.”

Tari pun mencoba mengetuk pintu kamar lelaki itu dan memanggilnya.

“Van, ini aku. Kamu di kamar ‘kan? Aku masuk ya?”

Tari membuka pintu kamar tersebut perlahan. Ia langsung bisa melihat lelaki itu tengah terbaring di tempat tidurnya.

“Van, kamu baik-baik saja ‘kan?”

Tari berjalan mendekati pria tersebut. 

“Aku ke sini mau jenguk kamu.”

Tak lama, pria itu membuka mata.

“Eh, Tar. Kamu sudah lama di sini? Aku masih nggak enak badan. Kamu ngapain ke sini?”

“Jenguk kamulah. Aku takut kamu kenapa-kenapa. Soalnya kamu nggak ada kabar sih. Oh, iya aku bawa bubur untukmu. Aku bikin sendiri. Semoga suka ya!”

“Kamu bikin bubur? Enak nggak?”

“Enaklah, ‘kan dibuatnya pakai cinta.”

“Hmm, boleh juga. Thanks. Kebetulan aku belum makan siang.”

Ivan berusaha bangkit dari tempat tidurnya .

“Kamu mau ngapain?”

“Ke dapur. Ambil mangkok dan sendok.”

“Nggak perlu, makan saja di rantangnya. Di rantangnya juga sudah aku siapin sendok. Mau aku suapin atau makan sendiri?”

“Aku bisa makan sendiri.”

“Yakin? Nggak mau disuapin saja? Aku lagi baik nih.”

“Yakin, mana rantangnya.”

“Ini.”

Tari menyerahkan rantang tersebut kepada Ivan.

“Bisa bukanya nggak?”

“Bisa, Tar.”

Ivan mencoba membuka rantang tersebut, tetapi Ivan agak kesulitan membukanya karena badannya masih lemas.

“Katanya bisa? Sini deh biar aku saja yang buka. Sekalian aku saja yang suapin. Orang sakit nggak boleh makan sendiri.”

“Kok rantangnya keras banget sih?”

“Itu tandanya memang takdirnya kamu harus terima bantuanku.”

Tari membuka rantang tersebut, kemudian ia segera menyuapi Ivan.

“Sekarang buka mulutnya. Pesawat meluncur…”

“Aku bukan anak kecil, Tar.”

“Iya, iya, buka mulutnya.”

Ivan mulai menerima suapan pertama dari Tari.

“Bagaimana, Van? Masakanku enak nggak? Ada yang kurang?”

“Enak,” jawab Ivan sambil mengunyah bubur yang masih belum habis di mulutnya.

Tak lama, telunjuk Tari berhenti tepat di depan mulut Ivan.

“Kalau lagi ngunyah, jangan sambil ngomong. Tunggu sampai makanannya habis, baru jawab pertanyaanku.”

“Iya, iya. Sorry.”

“Ya sudah, lanjut makannya harus sampai habis biar kamu cepat sehat.”

Tari pun menyuapi bubur itu hingga habis.

“Tar, thanks ya sudah bawain aku bubur sampai suapin aku segala.”

“Sama-sama. Kita ‘kan sahabat.”

“Kamu memang sahabat terbaikku, Tar.”

Setelah itu, mereka pun mulai mengobrol-ngobrol ringan. Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 17.00.

“Tar, sudah sore nih. Kamu nggak pulang?”

“Aku bosan di rumah. Mending aku di sini ngobrol sama kamu.”

“Aku tahu, tapi kamu sebaiknya pulang, Tar. Nggak baik kita berduaan di dalam kamar seperti ini.”

“Iya, deh aku pulang. Kamu cepat sembuh. Bye.”

Bye, Tar. Sekali lagi thanks ya!”

“Sama-sama.”

To be continued...

©2022 By WillsonEP


Comments

  1. 🔥🔥 Akhirnya yang ditunggu publish juga... Next dongg double up bisa kali :)

    ReplyDelete
  2. Baru nemu cerita yang setiap chapternya bikin penasaran 😭😭😭

    ReplyDelete

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

Little Parents 2 (Chapter 1)