Mata Batin I Can See You : Chapter 3
Bel pulang sekolah telah
berbunyi. Lucas, Daniel, dan Renald memutuskan untuk pergi ke parkiran
bersama-sama. Sejak jam istirahat tadi, ketiganya sudah mulai akrab satu sama
lain.
“Cas, lo pulang dijemput atau
pulang sendiri?”
“Pulang sendiri.”
“Oh, gitu. Naik motor?”
“Iya, Niel.”
“Wah, mantap nih. Hobi motor
juga?”
“Lumayan suka. Kenapa
memangnya?”
“Daniel punya klub motor, Cas.
lo mau join?”
“Iya, gue punya klub namanya MoClub.
Mau join? Motor lo apa?”
“Motor sport. Kalau
untuk join, nanti gue pikirin lagi deh.”
“It’s okay. kita kasih
waktu. Oh, iya rumah lo daerah mana?”
“Setraduta Residence.”
“Oh, gitu. Nggak begitu jauh
dong dari rumah gue. Gue rumahnya di Pasteur.”
“Kalau gue di Istana Regency
1.”
“Oh, gitu. Ya sudah, gue balik
duluan ya! Nanti kita lanjut ngobrol-ngobrol di chat.”
“Okay, lo hati-hati di
jalan.”
“Siap, kalian juga hati-hati. Bye
!”
Di tengah perjalanan, tiba-tiba
Lucas merasakan sesosok makhluk memeluknya dari belakang. Dari spion, ia
melihat sosok Devina, perempuan tadi pagi. Ia pun memutuskan untuk menepi dan
menghentikan motornya.
“Kamu muncul lagi rupanya. Apa
yang bisa kubantu?”
“Hmm… akan kujelaskan nanti. Lanjutkan
dulu saja perjalanannya. Kita bicarakan di rumahmu.”
“Okay, tapi tolong
jangan peluk aku. Aku nggak nyaman.”
“Nanti aku jatuh bagaimana?”
“Nggak mungkin. Kamu 'kan
bukan manusia. Jatuh pun kamu nggak mungkin merasakan sakit.”
“Hmm, ya sudah. Maaf, bikin
kamu nggak nyaman. Sampai ketemu di rumah ya! Aku tunggu di kamar.”
Sosok Devina menghilang. Lucas
kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, ia segera menuju
kamarnya.
“Dor!”
“Kamu ini bikin kaget saja!
Bisa 'kan munculnya baik-baik?”
“Maaf, cuma mau isengin kamu
aja. Oh, iya kamu bisa bantu aku?”
“Hmm… aku pikir-pikir lagi
deh. Sekarang aku mau mandi dulu. Kamu pergi sana, jangan ngintip!”
“Okay, aku nggak akan
ngintip kok. Aku pamit dulu ya!”
Lucas mulai menanggalkan
pakaiannya dan ditaruhnya pakaian tersebut di keranjang. Setelah mengambil
handuk, ia segera masuk ke kamar mandi. 10 menit berlalu, ia selesai mandi.
Setelah badannya kering, ia pun membalut tubuhnya dengan handuk dan keluar dari
kamar mandi untuk berpakaian. Beberapa saat kemudian, Bi Inah datang memanggil.
“Den Lucas, mandina geus
(mandinya sudah) beres? Bibi mau ambil saragam kotorna (seragam kotor)
Aden. Makan siang buat Aden juga geus Bibi siapkeun.
(siapkan)”
“Sebentar, Bi. Aku lagi pakai
baju.”
“Oh, gitu. Kalau udah kasih
tahu nya (ya) !”
“Iya, sudah beres, Bi. Bibi
boleh masuk sekarang.”
Bi Inah masuk.
“Punten, Den. Bibi mau
ambil bajuna.”
“Silakan, Bi. Makasih ya!”
“Sama-sama, sudah jadi tugas
Bibi ini.”
“Padahal Lucas saja yang
nyuci, Bi. Lucas ‘kan sudah besar. Bibi bisa nyuci pakaian yang lain. Lucas mau
meringankan pekerjaan Bibi.”
“Ah, Bibi udah biasa. Aden mah
ngerjakeun (Ngerjakan) tugas sakola (sekolah) aja, jadi biar Bibi
yang nyuci saragamna Aden.”
“Kali ini saja ya, Bi.
Besok-besok biar aku yang nyuci.”
“Ya sudah, sekarang Aden turun
ya! Makan siang dulu. Baru ngerjakeun PR.
“Hmm… iya, Bi. Aku juga sudah
lapar banget. Kita turun sekarang.”
Mereka turun menuju ruang
makan.
“Wah, masak apa nih, Bi?”
“Pret cikcen ala cep Inah
kesukaan Den Lucas.”
“Fried chicken, Bi.
Bukan pret cikcen.”
“Freed cikcen, Den?”
“Fried, Bi. Fried chicken.”
“Ah, meni hésé (sangat
sulit). Ayam goreng tepung ajalah biar gampang.”
Lucas tersenyum melihat
tingkah Bi Inah yang memang seperti itu dari dulu. Bi Inah, asisten rumah
tangga yang humoris, cekatan, dan pintar memasak. Tingkahnya selalu menjadi hiburan
untuk Lucas dan keluarga. Ia sudah bekerja cukup lama di keluarga ini.
“Ya sudah, di makan atuh
ayamnya nanti keburu dingin.”
“Iya, Bi. Lucas makan. Fried
Chicken ala Chef Inah memang yang terbaik.”
Lucas mulai menyantap ayam
goreng tepung buatan Bi Inah dengan lahap dan bahagia. Bi Inah memperhatikan
majikan mudanya itu dengan senyuman. Ia bersyukur bisa melihat Lucas dapat
kembali tersenyum. Beberapa hari kemarin, ia sama sekali tidak melihat senyuman
terpancar dari wajah tampan sang majikan.
"Bibi kenapa
senyum-senyum gitu?"
"Bibi senang saja Den
Lucas geus bisa senyum deui. (lagi).”
"Oh, gitu. Iya, Bi. Lucas
sudah mulai mengikhlaskan kepergiaan Mama. Mungkin ini yang terbaik. Di sana
Mama pasti sudah nggak merasakan sakit."
"Syukurlah. Iya, Nyonya
sudah sembuh di sana, Den."
Lucas melanjutkan makannya.
Sementara itu, Bi Inah kembali ke belakang untuk mencuci seragam Lucas.
“Cas, kamu bisa bantu aku
nggak?” tanya sosok Devina yang tiba-tiba muncul.
Lucas tersenyum sambil menyuap
kulit ayam.
“Bantu apa dulu?”
“Bantu mencari lelaki bejat
yang memperkosa dan membunuhku.”
“Hmm… kamu tahu siapa
pelakunya?”
Devina menggeleng. Ia sama
sekali tidak mengetahui siapa lelaki yang memperkosanya.
“Waktu itu dia pake topeng,
jadi wajahnya aku nggak tahu.”
“Ini cukup sulit, Dev. Mungkin
ada ciri-ciri lain? Perawakannya bagaimana? Kapan dan di mana kejadiannya?”
“Hmm, pelakunya agak tinggi,
badannya cukup atletis Tingginya kurang lebih seperti kamu. Kejadiannya sebulan
lalu dan waktunya sore hari di rumah tua kosong belakang sekolah.”
“Ada lagi informasi lain?
Soalnya aku masih butuh banyak informasi mengenai hal ini berhubung kejadiannya
sudah agak lama.”
“Hmm, bentar aku ingat-ingat
dulu.”
Devina mulai mengingat-ingat
kejadian sebulan lalu.
“Hai, Sayang. Kamu sudah
bangun rupanya. Terima kasih atas layanannya hari ini. Meskipun dalam keadaan
kamu tidak sadar, aku tetap menikmati kamu 100 persen.”
“Siapa kamu? Apa yang telah
kamu lakukan kepadaku? Lepaskan aku!”
“Percuma kamu teriak-teriak,
ini sudah malam. Nggak akan ada yang dengar.”
“Lepasin! Dasar bejat!”
Pria bertopeng beranjak untuk
memakai pakaiannya kembali.
“Siapa kamu?”
“Berisik! Kamu nggak perlu
tahu siapa aku.”
“Tolong lepaskan aku! Aku mau
pulang.”
Pria itu tertawa.
“Pulang? Enak saja. Gue nggak
akan biarkan lu lolos dari sini.”
Pria itu mengambil sebuah
pisau dari dalam tasnya. Tentu saja Devina panik melihat pria itu membawa
sebuah pisau.
“Lo harus mati!”
“Hello? Mikirnya lama
amat. Sampe makan siangku habis nih.”
“Sabar dong! Kamu nggak
ngertiin banget perasaanku. Aku juga trauma tahu ingat-ingat kejadian itu.
Memang ya laki-laki itu semuanya menyebalkan! Sama aja kayak mantanku. Egois!”
Sosok Devina menghilang secara
tiba-tiba.
“Dev, kamu ke mana? Maaf, aku
nggak bermaksud seperti itu.”
Devina tidak kembali muncul.
Lucas kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Ia hanya
membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk menyelesaikan semua tugasnya hari ini.
“Dev, keluarlah. Aku
benar-benar minta maaf.”
“Kak! Belajarnya udah? Main
yuk!” ajak sosok anak kecil yang tiba-tiba muncul duduk di atas meja sambil
membawa bola.
“Lain kali ya, Dek. Kakak hari
ini lagi capek banget.”
“Ah, aku maunya sekarang, Kak.
Kalau main sendiri nggak seru. Ayolah, Kak! Main! Main!”
“Ya sudah, kita mau main di
mana?”
“Lapangan dekat sini aja
gimana?”
“Boleh, tapi sebentar ya!”
“Iya, Kak.”
“Oh, iya siapa namamu?”
“Denny, Kak.”
“Oh, Denny. Kamu meninggal
karena apa?”
“Tersambar petir, Kak. Waktu
main bola di lapangan pas hujan.”
“Oh, gitu. Ya sudah, kita ke lapangan
sekarang.”
Mereka pun pergi ke lapangan
yang lokasinya tidak begitu jauh. Hanya sekitar 50 meter dari rumah Lucas.
Lucas merasa beruntung karena kondisi
lapangan sore ini begitu sepi. Ia khawatir jika orang lain sampai lihat, ia
dapat dianggap sebagai orang tidak waras bermain bola sendirian dan terlihat mengobrol sendiri.
Permainan pun dimulai.
Waktu telah menunjukkan pukul
lima sore. Lucas memutuskan untuk menyudahi permainan yang telah berlangsung
kurang lebih satu jam. Sesampainya di rumah, ia melihat sebuah mobil berhenti
tepat di depan rumahnya. Tak lama, sang pengendara turun dengan membawa sebuah
tote bag.
“Cas, lo habis olahraga sore
ya?”
“Iya, lo ngapain ke sini? Lo Diandra
‘kan? Tahu alamat gue dari mana?”
“It’s easy. Lo nggak
perlu tahu gue dapat alamat lo dari mana. Gue ke sini mau antar ini.”
“Apa ini?”
“Kue buat lo dari gue sebagai
ucapan selamat datang di SMA Nusantara.”
“Oh, gitu. Thanks.”
“Semoga lo suka ya!”
“Gue suka kok kuenya.”
“Ya sudah, gue langsung pamit
ya!”
“Nggak mau masuk dulu?”
“Lain kali saja. Gue permisi. Bye!”
“Okay, sekali lagi thanks
buat kuenya.”
“My pleasure.”
To be continued...
©2022 By WillsonEP
Nexttt
ReplyDeleteSeru ceritanya😎
ReplyDelete