Mata Batin I Can See You : Chapter 5
Di sebuah pemakaman tepatnya
di depan makam Devina Felicia, seorang pria berhodie hitam berlutut.
“Hai, Devina Sayang. Apa kabar
kamu di sana? Sebenarnya aku tidak bermaksud membunuhmu. Kalau kamu terus
bersamaku, akhirnya mungkin nggak akan seperti ini. Itu semua salahmu karena lebih
memilih si Daniel. Oh, iya ini aku bawakan bunga kesukaanmu, mawar putih.”
Setelah meletakkan bunga itu,
pria berhodie itu meninggalkan area makam. Tak lama, Lucas dan Daniel datang.
Sepulang dari kedai kopi, mereka memutuskan untuk mampir ke makam Devina. Kalau
Renald, ia memilih untuk langsung pulang karena hari sudah mulai gelap.
“Cas, ada mawar putih.
Sepertinya sebelum kita datang ada yang mampir ke sini. Siapa ya kira-kira?”
“Orangtuanya mungkin?”
“Nggak mungkin, Papanya sudah
nggak peduli sama dia. Sedangkan Mamanya telah meninggal dunia. Keluarganya
yang lain jauh di Surabaya.”
“Oh, gitu. Mungkin salah satu
mantan pacarnya?”
“Bisa jadi.”
Lucas dan Daniel mulai
menaburkan beberapa kelopak bunga tepat di atas makam tersebut. Tak lupa,
mereka pun berdoa agar Devina dapat tenang di sana dan pelaku cepat tertangkap.
“Sayang, kamu yang tenang ya
di sana. Aku janji bakal tangkap pelaku yang berbuat seperti ini ke kamu. Dia
harus dihukum seberat-beratnya.”
“Sabar ya, Niel. Gue akan bantu. Sekarang kita pulang ya! Hari
sudah semakin gelap.”
“Lu benar, Cas. Aura di sini
juga sudah mulai nggak enak. Gue bisa ngerasain banyak banget makhluk gaib di
sini.”
Lu nggak tahu aja, Niel. Gue
pun tahu makhluk gaib di pemakaman itu banyak. Wujudnya pun seram-seram.
“Lu kenapa, Cas?”
“Gue baik-baik saja. Yuk,
balik!”
Mereka beranjak meninggalkan
area pemakaman. Setelah berpisah dengan motor Daniel, Lucas merasakan bulu
kuduknya mulai berdiri. Tak lama, muncul secara bergantian sosok-sosok yang ada
di pemakaman tadi. Mereka tidak berniat mengganggu dan hanya sekadar menyapa.
Lucas pun merespon makhluk-makhluk tersebut dengan sangat baik. Selain menyapa,
ada pula yang bercerita sepenggal kisah mereka saat masih hidup dan mengapa mereka
meninggal. Salah satunya, Bobby, remaja usia 15 tahun. Ia bercerita cukup
panjang hingga Lucas tiba di rumah.
“Bob, sudah dulu ya ceritanya.
Kakak mau masuk dan istirahat.”
“Oke, Kak. Kapan-kapan Bobby
boleh ya main ke rumah Kakak.”
“Iya, lain kali kamu boleh
datang kapanpun.”
“Oke, Bobby pamit dulu.
Makasih sudah dengar ceritaku. Bye, Kak!”
Sosok Bobby menghilang. Lucas
pun masuk ke rumah.
“Baru pulang, Cas? Habis dari
mana?” tanya Levandra, sang papa yang sedang duduk di ruang keluarga.
“Iya, Pa. Lucas habis
nongkrong sama teman di kedai kopi. Habis itu sempat mampir ke makam pacarnya
teman.”
“Oh, gitu. Ya sudah, kamu
bersih-bersih sekarang. Habis dari makam sebaiknya langsung bersih-bersih.”
“Okay, Pa.”
Selesai membersihkan diri,
Lucas langsung bergabung dengan sang papa untuk
makan malam.
—oOo—
Waktu sudah menunjukkan pukul
satu dini hari. Lucas sama sekali belum bisa memejamkan matanya. Setiap ia
memejamkan matanya, ia melihat sosok Devina yang sedang dilecehkan.
“Sialan! Kenapa jadi kepikiran
Devina terus? Apa yang harus aku lakukan biar bisa bantu dia?”
Tak lama, sosok Devina muncul
berdiri tepat di samping tempat tidur.
“Devina, akhirnya kamu muncul
juga. Aku minta maaf soal perkataanku waktu itu. Aku janji akan bantu kamu
temukan pelakunya. Pelakunya anak sekolah kita juga. Apa kamu punya daftar
orang yang mungkin menjadi pelakunya? Mungkin mmantan-mantanmu? Akan kuselidiki
mereka.”
“Sudah aku maafkan. Hmm… kamu
benar. Kamu tahu dari mana anak sekolah kita yang melakukannya? Mantanku
lumayan banyak, Cas. Mungkin salah satu dari mereka memang pelakunya.”
“Aku sempat mendapat
penglihatan. Bisa disebutkan nama-namanya? Biarku catat.”
“Okay, ini yang
berpotensi menjadi pelaku saja ya!”
“Iya.”
“Pertama, Aldi Wijaya. Kedua,
Resta Armandillo…”
Devina mulai menyebutkan
nama-nama mantannya yang berpotensi menjadi pelaku pelecehan dan pembunuhannya.
Setelah itu, ia mulai menceritakan sedikit kisahnya bersama mantan-mantan yang
telah disebutkan namanya.
“Hmm, kamu play girl sekali
ya! Aku nggak nyangka mantanmu sebanyak ini. Ini sudah lima orang yang kamu
curigai. Masih ada lagi?”
“Maaf, Cas. Memang dulu aku
suka sekali mempermainkan mereka semua.
Ini semua gara-gara aku kecewa sama Papaku. Kayaknya sih hanya mereka
yang aku curigai. Untuk yang lain, mereka bisa ngertiin aku dan kita putus
baik-baik.”
“Okay, aku akan coba
selidiki besok. Semoga pelakunya cepat ketemu.”
“Amin. Aku juga berharap
sepeti itu. Aku juga nggak terima pelakunya masih berkeliaran bebas.”
Tak lama, ponsel Lucas
berdering. Tercantum nama Daniel melakukan panggilan.
“Daniel? Dia ngapain teleponku
subuh-subuh gini?”
Lucas mengangkat panggilan
telepon tersebut.
“Halo, Cas. Maaf, gue ganggu lo
subuh-subuh gini.”
“Tidak apa. Kebetulan gue juga
tadi kebangun. Lu telepon ada apa?”
“Gue jadi kepikiran sama
pembahasan tadi di kantin. Gue curiga pelakunya memang salah satu mantan
Devina, tapi gue bingung siapa karena jumlahnya lumayan banyak.”
“Hmm, banyak? Memangnya ada
berapa mantannya?”
“Gue nggak tahu pastinya, tapi
lo jangan salah paham, Cas. Dia itu perempuan baik-baik. Dia begitu karena
punya masalah sama Papanya. Papanya suka…”
“Nggak usah dilanjut, Niel.
Gue nggak mau tahu urusan pribadi. Sekarang lo buat list saja mantannya
yang kemungkinan menjadi pelaku. Besok kita datangi mereka satu per satu.”
“Okay, okay. Gue buat list-nya
dulu. Sekali lagi maaf ganggu lu subuh-subuh.”
“Nggak apa, Niel. Sudah ya!
Gue mau lanjut tidur. Bye.”
“Okay, bye.”
Comments
Post a Comment