Mata Batin I Can See You : Chapter 6
Chapter 6
Keesokan harinya. Lucas bangun
seperti biasanya sekitar pukul lima pagi. Setelah menjalani rutinitas paginya,
Lucas pamit kepada Levandra.
“Pa, Lucas pamit berangkat
sekolah ya!”
“Okay, Cas. Kamu naik
motor?”
“Iya, kenapa gitu?”
“Di luar hujan. Naik mobil
saja ya? Mobil kamu sudah diantar tadi malam.”
“Oh, gitu. Ya sudah, Pa. Aku
hari ini berangkat naik mobil. Males juga kalau naik motor hujan-hujan.”
Lucas berlalu meninggalkan
ruang makan menuju mobilnya untuk segera berangkat. Selang beberapa saat, hujan
turun semakin deras. Ia bersyukur menuruti sang papa untuk berangkat
menggunakan mobil. Jika tidak, pasti ia tiba di sekolah dengan pakaian basah
kuyup. Pakai jas hujan pun percuma, pasti tembus kalau hujannya besar seperti
ini.
Di perjalanan, tiba-tiba Lucas
melihat sebuah kendaraan berhenti tepat di depan sebuah halte. Ia memutuskan
untuk menepi dan segera turun menghampiri pengemudi mobil tersebut.
“Diandra? Ternyata lo
pengemudi mobilnya. Mobil lo kenapa?”
“Hai, Lucas. Lo lewat sini
juga ternyata. Iya, nih mobil gue tiba-tiba mogok. Ini lagi nyoba pesan taksi online,
tapi nggak dapet-dapet.”
“Oh, gitu. Mau bareng gue?
Takutnya lo kelamaan di sini dan telat ke sekolah.”
“Nggak ngerepotin nih?”
“Nggak sama sekali.”
“Ya, sudah. Gue ikut, Cas.
Mobil gue biar pegawai Papa yang ambil.”
“Okay. Ayo, Di!”
Diandra turun dari mobilnya.
Lucas langsung mengajak Diandra masuk ke mobil Lucas.
“Sorry, jadi
ngerepotin.”
“Gue sudah bilang, nggak
ngerepotin sama sekali. Kita berangkat sekarang.”
Mereka melanjutkan perjalanan.
Selama perjalanan, mereka asik mengobrol berbagai hal hingga tak terasa mereka
akhirnya tiba di tujuan.
“Sampai deh, Di.”
“Thanks, sudah boleh
nebeng. Kalau nggak ada lo, mungkin gue bakal telat.”
“My pleasure, Di. Gue
senang bantu lo. Pulang mau bareng lagi?”
“Memangnya nggak ada yang
marah?”
Lucas tersenyum tipis. Ia tahu
maksud Diandra menanyakan hal itu.
“Siapa yang marah? Tenang, gue
masih jomlo. Lo nggak usah khawatir ada yang marah.”
“Seriusan? Seganteng lo masih
jomlo? Kirain gue udah ada yang punya.”
“Serius. Sekarang kita turun,
bentar lagi bel bunyi.”
“Okay.”
—oOo—
Jam istirahat telah berbunyi.
Anak-anak SMA Nusantara mulai berhamburan ke segala arah keluar dari kelas
masing-masing. Ada yang ke kantin, perpustakaan, lapangan, dan sebagainya.
Sementara itu, Lucas, Daniel, dan Renald memutuskan untuk pergi ke gudang
sekolah menghampiri Resta Armandillo, target pertama yang dicurigai menjadi
pelaku pembunuhan Devina.
“Gue yakin banget. Kemungkinan
si Resta pelakunya! Dia sering banget gangguin gue sama Devina.”
“Hmm, bener tuh. Gue juga
yakin banget si Resta. Dia itu biang onar di sekolah ini.”
“Kalian sabar dulu. Jangan
asal tuduh tanpa bukti yang kuat.”
Mereka bertiga tiba di gudang.
Mereka masuk secara perlahan hingga menemukan sosok yang dimaksud sedang merokok
bersama teman-temannya.
“Ngapain kalian ke sini? Anak
cupu nggak mungkin ke sini buat merokok ‘kan?” sinis pria bernama Resta
Armandillo.
“Iya, ngapain anak cupu di
sini? Pergi lo! Ganggu aja.”
“Awas saja kalau sampai ngadu
ke guru!”
“Gue nggak cupu ya! Gue ke
sini mau tanya sesuatu sama lo. Ini soal Devina, pacar gue.”
“Devina? Buat apa? Dia sudah
nggak ada gara-gara lo nggak becus jaga dia.”
“Gue tahu. Gue curiga lu
pelakunya!”
“Enak saja! Jangan sembarangan
nuduh lo! Gue sayang sama dia. Lo yang nggak becus, kenapa jadi nyalahin gue.
Pergi lo!”
“Jangan bohong! Ngaku aja! Lo
pelakunya ‘kan?”
“Sabar, Niel. Jangan pakai
emosi,” peringat Lucas.
Resta emosi dan langsung
menonjok Daniel hingga terjatuh.
“Dasar ngeyel! Bukan gue
pelakunya, Anjing!”
“Niel, lu nggak apa-apa? ‘Kan
gue sudah bilang jangan pakai emosi.”
“Gue nggak apa-apa, Cas. Gue
yakin banget dia pelakunya.”
“Iya, lo ngaku aja, Res. Lo
‘kan pelaku pembunuhan Devina?” tambah Renald ikut emosi.
“Lo mau gue tonjok juga,
Nald?”
“Nggak, Res. Gue nggak mau
bonyok.”
“Ya sudah, pergi dari sini
sekarang! Gue bukan pelakunya! Ingat, jangan lapor ke guru!”
Resta dan teman-temannya
melanjutkan aktivitas merokok mereka. Sementara itu, Lucas dan Renald
memutuskan untuk membawa Daniel ke UKS untuk mengobati lebam pada pipinya.
“Lo sih emosian. Gue ‘kan
sudah bilang jangan emosi. Kita bisa bicarakan ini baik-baik.”
“Aw, sakit! Pelan-pelan, Cas!”
“Iya, ini juga udah pelan.”
“Cas, masih lama? Gue sudah
lapar nih. Kantin yok!”
“Iya, ini sudah selesai. Ayo!
Waktu istirahat masih ada sisa sekitar 10 menit.”
—oOo—
Bel pulang sekolah telah
berbunyi. Setelah Lucas berpisah dengan Daniel dan Renald, ia beranjak menuju
mobilnya bersama Diandra. Ia hendak mengantar Diandra pulang sesuai janji tadi
pagi. Lalu lintas sore yang begitu padat membuat mereka kembali mengobrol
banyak. Mereka menjadi saling mengenal satu sama lain.
“Gue senang bisa ngobrol sama
lo. Lo orangnya asik.”
“Ya, banyak yang bilang
begitu. Lo juga asik kok. Gue nyaman ngobrol sama lu, Di.”
“Ah, lo bisa aja. Gue jadi
malu. Oh, iya sorry ya! Gara-gara antar gue, kita jadi kejebak macet
gini.”
“It’s okay, Di.
Jakarta lebih parah dari ini, gue sudah terbiasa menghadapinya.”
“Iya, juga, apalagi ditambah
udara Jakarta yang panas. Pasti tersiksa banget!”
“I agree.”
Selang satu jam, mereka
akhirnya tiba di kediaman Diandra.
“Akhirnya sampai juga. Lu mau
masuk dulu, Cas?”
“Hmm, boleh. Kebetulan gue mau
numpang ke toilet.”
“Ya sudah, ayo masuk!”
Mereka pun mulai memasuki
kediaman Diandra. Diandra langsung menunjukkan keberadaan toilet kepada
Lucas. Lucas beranjak ke toilet. Sementara itu, Diandra memilih untuk
menunggu lelaki itu di ruang tamu. Tak lama, Lucas kembali.
“Sudah ke toilet-nya?”
“Sudah, Di. Thanks ya! By
the way do you live alone? Why is it so quiet?”
“Yes, gue tinggal
sendiri. Papa dan Mama lagi di LN. Gue sudah terbiasa.”
“Oh, gitu. Ya, sudah.
Gue pamit ya!”
“Okay, Cas. Be
careful on the way. Thanks for today.”
“My pleasure. Bye, Di.”
Lucas beranjak meninggalkan
kediaman Diandra. Ia sangat takjub dengan keberanian Diandra tinggal sendirian.
Jarang-jarang ia temui perempuan seberani itu. Saat Lucas hendak memasuki
mobilnya, tiba-tiba seseorang menghampiri dirinya.
“Hai, lo Lucas ‘kan? Lo apa
kabar?” sapa seorang pria berseragam SMA Nusantara juga.
“Hai, kok tahu nama gue? Kenal
dari mana?”
“Lo lupa sama gue? Gue Ardian,
teman SMP lo!”
“Ardian?”
Lucas terdiam sejenak. Ia
mencoba mengingat-ingat masa lalunya.
“Oh, Ardian. Kabar gue baik Sorry,
sorry gue agak lupa sama lo. Lo tinggal di sekitar sini?”
“Iya, rumah gue yang itu. Lo
kapan balik dari Jakarta? Bukannya terakhir lo tinggal di sana ya?”
“Baru beberapa hari pindah ke
Bandung.”
“Oh, gitu. Mau mampir ke rumah
gue?”
“Kayaknya nggak bisa, Ar.
Mungkin lain kali. Lo sekolah di SMA Nusantara juga? Kok gue nggak pernah lihat
lo sih?”
“Lu kelas mana?”
“Gue kelas XI-IPS 2.”
“Oh, pantes. Gue kelas XI-IPS
3. Kelasnya di lantai atas, gue juga jarang turun.”
“Pantes. Ya sudah, gue pamit
dulu ya!”
“Yoi, hati-hati brother.
Sampai ketemu besok ya di sekolah! Kita
ke kantin bareng!”
“Okay.”
Tak lama, hujan gerimis
kembali turun. Lucas bergegas kembali ke mobilnya.
“Sial, kenapa pakai hujan
lagi? Mana langitnya gelap gini? Pasti mereka bakal bermunculan.”
Tak lama, Lucas menjalankan
mobilnya menuju rumah. Sesuai prediksi Lucas, di perjalanan makhluk-makhluk
kasat mulai bermunculan. Jika di motor sosok yang menumpang muncul bergantian,
kali ini mereka dapat muncul bersamaan. Lucas menyikapinya biasa saja karena
memang dia sudah terbiasa dengan ini semua. Mereka semua hanya curhat mengenai
masalah pribadi, penyesalan, dan sebagainya. Tak disangka ia bertemu dengan
Gery, salah satu sahabatnya sewaktu ia duduk di bangku SMP.
“Aku Gery, Luc! Kamu lupa?”
“Gery? Gery anaknya Om Roni?”
“Iya, dulu kita sempat
tetanggaan. Kamu apa kabar, Luc? Sudah lama banget kita nggak ketemu.”
“Kabarku baik, Ger. Kamu
sendiri?
“Ya, kabarku ya gini, Luc.
Baru meninggal beberapa bulan lalu karena penyakit ginjalku yang semakin
parah.”
“Kamu sakit ginjal? Kok aku
nggak tahu?”
“Nggak semua tentangku kamu
harus tahu, Luc. Aku nggak mau buatmu kepikiran. Kamu pun tidak beri tahu aku
bahwa kamu indigo? Aku baru tahu soal ini beberapa hari lalu. Makanya aku datangi
kamu.”
“Oh, gitu. Iya juga. Aku
sengaja tidak memberitahukan siapa pun soal aku yang punya kemampuan ini. Aku
takut dianggap aneh, makanya aku nggak pernah cerita.”
“Hmm, aku mengerti. Memang
punya kemampuan yang tidak biasa dimiliki orang akan dianggap aneh. Aku juga
punya kemampuan itu, Luc. Aku pernah di bilang aneh waktu SD dulu. Makanya
sewaktu SMP aku pindah ke sekolahmu agar tidak ada yang mengetahui bahwa aku
indigo.”
“Oh, kamu juga indigo. Oh, iya
kamu tahu dari mana keberadaanku ada di sini?”
“Tahulah, aku tahu dari
penerima donor mataku, Diandra namanya. Teman sekelasmu.”
“Diandra?”
“Iya, dia.”
“Oh, gitu. Jadi dia indigo
juga?”
“Ya, bisa dibilang begitu,
tapi… sepertinya dia belum mengetahuinya.”
“Kasihan dia. Kalau dia tidak
siap bagaimana?”
“Ya, kita lihat dulu saja.
Kalau dia tidak siap, aku akan ambil kemampuan itu. Oh, iya aku bisa minta
bantuanmu?”
“Bantuan apa?”
“Tolong datangi orang tuaku.
Sampaikan minta maafku kepada mereka. Gara-gara pengobatanku selama ini,
membuat mereka menjadi susah.”
“Baiklah, kubantu, Ger. Maaf,
aku nggak ada di saat-saat terakhirmu.”
“Tidak apa, Luc. Aku masih
punya Ardian di saat terakhirku. Dia sangat memperhatikanku. Dia sampai putus
sama cewek yang dia cinta gara-gara aku.”
“Ardian punya pacar? Siapa?”
“Awalnya sih aku nggak tahu,
tapi setelah mengintip kamarnya dia suka sama Devina Felicia, salah satu
primadona sekolah. Dia banyak menyimpan fotonya di kamar. Mungkin dia
pacarnya?”
“Ya, bisa jadi. Thanks,
infonya. Kebetulan aku sedang mencari tahu tentang kematiannya bulan lalu.”
“Dia meninggal? Kenapa?”
“Memangnya kamu nggak tahu?
Dia dibunuh dan sebelumnya sempat dilecehkan.”
“Astaga, kasihan dia. Aku
nggak nyangka dia meninggal dengan tragis seperti itu. Ya, karena akhir-akhir
ini aku lebih menghabiskan waktu di rumah. Siapa tahu Papa dan Mama bisa
merasakan kehadiranku.”
“Oh, gitu. Ya, sudah aku
permisi turun dulu. Sudah sampai nih di rumah.”
“Oh, okay. Thanks, sudah
mau dengerin curhatanku.”
“My pleasure, aku sudah
terbiasa. Banyak makhluk yang sering curhat seperti ini. Bye, Ger.”
“Bye, Luc.”
To be continued...
©2022 By WillsonEP
next
ReplyDelete🔥Penasaran sama part lanjutannya
ReplyDeleteNextnya Selasa depan ya? Ditunggu thor...
ReplyDelete