Mata Batin I Can See You : Chapter 7

Chapter 7

Sekitar pukul dua dini hari, Lucas terbangun mendengar suara-suara makhluk gaib.

“Kalian bisa nggak sih muncul di saat yang tepat? Jangan ganggu tidurku!”

Tak lama, sosok-sosok tersebut bermunculan.

“Aku butuh bantuanmu, Cas.”

“Aku juga butuh bantuanmu.”

“Gue juga butuh bantuanmu.”

“Aku dulu yang dibantu.”

Stop ! Kalian ini berisik amat, aku akan bantu kalian, tapi harap bersabar. Sebentar, kuambil buku antriannya.”

Lucas beranjak dari tempat tidurnya menuju meja belajar.

“Aku sudah siapkan daftar antriannya dalam buku ini. Kalian bisa tulis nama kalian di sini.”

“Baiklah, aku isi pertama.”

“Aku kedua!”

“Aku ketiga!”

“Gue keempat.”

“Ya sudah, kalian isi jangan ribut. Aku permisi ke bawah dulu mau ambil minum.”

Lucas keluar kamar. Ia pergi ke dapur untuk mengambil minum. Setibanya di dapur, ia terkejut melihat sesosok perempuan sedang menuangkan segelas air.

“Sayang, kamu haus ya? Ini minumnya sudah Mama siapkan. Sini, Nak.”

“Mama?”

Lucas berlari dan segera memeluk sosok dihadapannya.

“Lucas kangen sama Mama. Kenapa Mama baru muncul sekarang?”

“Mama juga kangen sama kamu, Sayang. Ya sudah, sekarang kamu minum ya! Kamu selalu saja haus subuh-subuh gini.”

“Iya, nih. Tenggorokanku kering, Ma.”

Lucas mulai menyeruput minum yang diberikan sang mama.

“Segarnya. Thankyou, Ma.”

“Sama-sama, Sayang. Maaf, Mama nggak bisa lama-lama di sini. Kamu semangat ya! Mama pamit.”

“Mama mau ke mana? Ma, jangan pergi!”

“Mama nggak pergi, Sayang. Mama akan selalu ada di hati Lucas.”

Selang beberapa saat, sosok perempuan itu hilang entah ke mana. Lucas memutuskan kembali ke kamar. Ia mendapati kamarnya telah kosong dan sangat hening. Ia bersyukur semua makhluk-makhluk tersebut sudah tidak berada di kamarnya lagi. Ia mendekati meja belajarnya dan mengambil buku catatan.

Daftar Klien Lucas Levandra

“Hmm, daftarnya banyak juga. Mungkin besok aku selesaikan dulu masalah Gery dan Devina. Baru yang ada di daftar ini. Memangnya di sekitar sini yang indigo hanya aku? Kenapa nggak minta bantuan yang lain?”

Lucas menutup buku catatannya dan kembali tidur.

—oOo—

Beberapa jam kemudian. Saat ini, Lucas sedang bersama Renald dan Ardian di kantin. Mereka bertiga sedang menikmati nasi goreng buatan Mang Ujang sambil asik mengobrol. Semua berjalan normal seperti biasanya tanpa ada yang janggal. Namun, ketika Lucas dan Renald mulai membicarakan Daniel yang tidak masuk sekolah, raut muka Ardian berubah.

Guys, gue permisi ke kelas duluan ya!” pamit Ardian.

“Kok buru-buru, Di? Masih ada 10 menit lho buat ngobrol-ngobrol.”

“Iya, Ar. Ini masih ada waktu.”

Sorry, Nald, Luc. Kalian berdua terusin aja ngobrolnya. Ada yang harus gue selesaikan.”

“Oh, gitu. Okay.

Ardian berlalu meninggalkan Lucas dan Renald berdua.

“Cas, kok sahabat lu aneh ya?”

“Aneh gimana?”

“Waktu kita bahas Daniel, mukanya langsung berubah. Kayak nggak suka sama Daniel.”

“Masa? Gue nggak gitu merhatiin.”

“Gue serius, tatapannya kayak punya dendam kesumat. Oh, iya pulang sekolah kita jenguk ortunya Daniel yok!”

“Hmm, nanti sore gue sudah ada janji.”

“Janji sama siapa? Pacar ya?”

“Sok tahu lu! Bukan pacar, ada deh urusan penting. Gue titip salam aja ya!”

“Oh, gitu. Okay, deh. Nanti gue sampein ke Daniel.”

Setelah obrolan tersebut, mereka berdua kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.

—oOo—

Hujan kembali mengguyur Kota Bandung. Sepulang sekolah, Lucas memutuskan mampir ke rumah Gery. Di perjalanan, sosok Gery kembali muncul  duduk di samping Lucas yang sedang mengemudikan mobil.

Thanks ya, Luc. Sudah mau bantu aku.”

“Sama-sama, Ger. Semoga saja habis ini kamu bisa beristirahat dengan tenang.”

“Amin. Ya, aku juga berharap demikian. Jadi arwah penasaran itu nggak enak.”

“Nggak enak bagaimana?”

“Nggak bisa ngobrol sama orang yang kita lihat, kecuali orang itu punya kemampuan.”

“Iya, juga. Memang nggak semua orang punya kemampuan ini.”

Selang beberapa saat, mobil Lucas tiba di kediaman Gery. Lucas segera turun dengan menggunakan payung karena hujan masih terus mengguyur.

“Permisi,” panggil Lucas sambil mengetuk pintu rumah itu.

Tidak ada respon dari dalam rumah.

“Papa dan Mama kamu ke mana, Ger? Kayak nggak ada orang di dalam.”

“Hmm, mungkin mereka pergi sebentar. Kita duduk dulu saja ya di sini.”

Okay.”

Lucas pun mengambil posisi duduk di kursi yang tersedia. Sambil menunggu, mereka memutuskan untuk mengobrol tentang masa lalu mereka sewaktu SMP. 20 menit menunggu, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang dengan menggunakan motor.

“Eh, ternyata ada tamu istimewa ternyata.”

Lucas beranjak dari tempat duduknya menyalami Om Roni dan Tante Cynthia.

“Halo, Om, Tante. Apa kabar? Sudah lama banget aku nggak ketemu kalian.”

“Kabar kami baik, Lucas. Iya, ‘kan, Ma?”

“Iya, Lucas. Kami baik. Oh, iya Nak Lucas kok ada di sini? Bukannya terakhir menetap di Jakarta ya?”

“Aku dan Papa memutuskan kembali ke Bandung, Tante, Om. Baru beberapa hari di Bandung setelah Mama tiada.”

“Mamamu meninggal? Meninggal kenapa?”

“Iya, Tante. Mama meninggal karena jantungnya bermasalah.”

“Oh, gitu. Kami turut berduka cita.”

“Makasih, Om, Tante.”

“Oh, iya Nak Lucas ke sini pasti mau ketemu Gery ya? Maaf, Gery sudah meninggalkan kita semua tiga bulan lalu, Cas.”

“Iya, Lucas. Gery sudah tidak ada.”

“Aku turut berduka cita, Tante. Maaf, aku baru tahu soal ini kemarin. Makanya aku langsung ke sini.”

“Tidak apa-apa, Lucas. Kapan-kapan Om dan Tante ajak kamu ke makamnya Gery ya? Kalau sekarang hujannya deras banget.”

“Iya, Om. Kapan-kapan saja.”

“Ya sudah, ayo masuk! Kita ngobrol-ngobrol lebih lanjut di dalam. Lagi nggak buru-buru ‘kan?”

“Kebetulan aku lagi santai, boleh deh.”

Mereka masuk dan duduk di ruang tamu untuk melanjutkan obrolan mereka. Sosok Gery ikut masuk.

“Oh, iya Lucas mau minum apa? Biar Tante siapkan.”

“Apa aja, Tante. Maaf, merepotkan.”

“Sama sekali tidak merepotkan. Bagi Tante, Lucas sudah dianggap sebagai anak Tante sendiri. Oh, iya Ardian apa kabar? Sudah lama banget dia nggak sini. Lucas masih berhubungan sama dia?”

“Kabar dia baik, kebetulan Lucas sekolah di tempat yang sama dengan dia.”

“Oh, gitu. SMA Nusantara? Gery juga sekolah di sana, tapi sayangnya dia sudah tidak ada. Kalau dia masih hidup, pasti dia senang banget bisa satu sekolah dengan sahabat lamanya.”

“Iya, Tante.”

“Oh, iya Tante jadi lupa mau bikin minuman. Ditunggu ya!”

Tante Cynthia beranjak menuju dapur. Sementara itu, Lucas kembali melanjutkan obrolannya dengan Om Roni. Selang beberapa saat, Tante Cynthia kembali membawa tiga gelas teh hangat.

“Silakan diminum tehnya.”

“Terima kasih, Tante.”

Lucas menyeruput teh hangat yang telah disajikan. Setelah itu, ia mulai membicarakan maksudnya datang ke rumah itu.

“Sebenarnya aku ke sini mau menyampaikan pesan dari Gery.”

“Pesan dari Gery? Maksudnya apa, Lucas? Memangnya kalian sempat ketemu?”

“Iya, kami sempat ketemu.”

“Apa pesannya?”

“Dia berpesan agar Om dan Tante tetap kuat menjalani hidup tanpa Gery. Gery juga meminta maaf kalau selama ini selalu merepotkan kalian.”

Om Roni dan Tante Cynthia terdiam sejenak.

“Terima kasih, Lucas. Kami sudah ikhlas kok. Bagi kami, Gery sama sekali tidak merepotkan. Gery adalah anak satu-satunya yang kami sayangi. Kami mau yang terbaik buat dia. Gery sekarang sudah sembuh dan nggak sakit-sakitan lagi.”

“Terima kasih, Lucas. Kamu sudah menyampaikan pesanku. Sekarang, aku bisa pergi dengan tenang karena Papa dan Mama sudah mengikhlaskan kepergianku.”

“Lucas, boleh kami memelukmu?”

“Boleh, Tante, Om.”

Om Roni dan Tante Cynthia memeluk Lucas hangat.

“Luc, aku titip mereka ya!”

“Siap, Ger,” jawab Lucas dalam hati sambil mengacungi jempolnya.

Tak lama sosok Gery menghilang.

“Tante, Om, sudah jam segini. Aku harus pulang sekarang.”

“Baiklah, sudah sore juga. Pasti Lucas juga mau istirahat. Mari kami antar ke depan.”

“Makasih, Om, Tante.”

Setelah berpamitan, Lucas kembali ke mobilnya dan segera beranjak meninggalkan kediaman Gery.

To be continued...
©2022 By WillsonEP

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

📣 BESOK! Bisakah Aku Bahagia Eksklusif di KaryaKarsa

My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)