Mata Batin I Can See You : Chapter 10

Chapter 10

Lucas dan Daniel tiba di sebuah rumah mewah yang menjadi kediaman Devina Felicia.

“Ini rumahnya, Niel?”

“Iya, ini rumahnya. Mewah banget ‘kan?”

“Ini sih mewah banget.”

“Papanya bukan orang kaya biasa, Cas.”

Tak lama, mereka berdua dihampiri oleh beberapa penjaga rumah tersebut.

“Siapa kalian? Ada keperluan apa kalian ke sini?” tanya salah satu penjaga.

“Saya Daniel, Pak. Pacarnya Devina. Masa Bapak-Bapak lupa sama saya?”

“Oh, iya kami lupa. Sudah lama sekali kamu tidak ke sini. Kalau ini siapa?”

“Saya Lucas, Pak. Temannya Daniel.”

“Oh, begitu. Kalian mau apa ke sini?”

“Saya dan teman saya ini sedang mencari petunjuk soal kematian Devina di kamarnya.”

“Bukannya polisi sudah sempat ke sini? Buat apa kalian mencari petunjuk itu lagi. Lebih baik kalian pulang.”

Please, Pak. Saya mohon. Perbolehkan kami masuk untuk memeriksanya sebentar. Siapa tahu ada petunjuk yang terlewat.”

“Hmm… Saya perlu menghubungi Tuan Argatama terlebih dahulu. Beliau sudah tidak mengizinkan siapapun masuk ke rumah ini.”

Penjaga itu mengambil ponselnya dan segera menghubungi Tuannya.

“Halo, Tuan Arga. Di depan ada dua anak muda yang hendak masuk. Apakah diizinkan? Mereka adalah Daniel, pacarnya Non Devina dan satu lagi temannya bernama Lucas.”

“Jangan biarkan mereka masuk. Usir saja. Lain kali tidak perlu tanya saya lagi. Jika ada temannya Devina datang, langsung usir saja.”

“Baik, Tuan.”

“Bagaimana, Pak? Boleh kami masuk?”

“Maaf, kalian tidak diperbolehkan masuk. Sekarang kalian pulang saja.”

“Tapi, Pak…”

“Sudahlah, Niel. Kalau nggak boleh, kita pulang saja sekarang. Nggak ada gunanya kita di sini.”

“Lo benar, kita pulang sekarang.”

Sepulang dari kediaman Devina, Daniel mengajak Lucas ke rumahnya. Selang 20 menit, mereka tiba di kediaman Daniel.

“Gue jadi curiga, kenapa Om Arga tidak mengizinkan kita masuk ke rumahnya.”

“Curiga gimana, Niel?”

“Gue curiga… Om Arga ada hubungannya dengan kematian Devina.”

“Apa yang membuat lu curiga?”

“Sejak awal gue kenal Om Arga, gue nggak pernah lihat beliau akur sama Devina. Setiap ketemu pasti aja ribut. Jadi ada kemungkinan dia juga ikut terlibat.”

“Hmm... saran gue jangan nuduh tanpa bukti yang jelas, Niel.”

“Ya, gue paham itu. Gue ‘kan hanya curiga saja. Siapa tahu memang Om Arga dibalik ini semua.”

“Ya sudah, gue balik sekarang ya!”

“Kok buru-buru?”

“Ada yang harus gue kerjakan.”

“Oh, gitu. Okay. Gue antar lu ke depan.”

Daniel mengantar Lucas ke depan. Setelah berpamitan, Lucas menjalankan motornya menuju taman terdekat. Di sana, ia memutuskan duduk di bangku yang tersedia untuk mengobrol dengan klien makhluk gaibnya. Ia mulai membuka buku catatannya dan memanggil klien-kliennya untuk dimintai keterangan apa yang dapat ia bantu. Tak terasa hampir dua jam berlalu. Lucas baru saja selesai mengobrol dengan klien terakhirnya, Reza.

“Baiklah, Reza. Terima kasih atas informasinya. Semoga aku bisa bantu kamu ya!”

“Aku yang harusnya berterima kasih. Sudah lama aku mencari seseorang untuk membantuku menyelesaikan masalah ini.”

“Iya, aku paham. Ya sudah, sekarang aku pamit ya! Aku mau menyelesaikan masalah antrian pertama dulu.”

Okay, Lucas.”

Lucas kembali melajukan motornya menuju kediaman Krisna. Krisna, seorang laki-laki berusia 13 tahun yang baru saja meninggal tujuh hari lalu. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah yang sangat[ sederhana. Ia meminta bantuan kepada Lucas agar jenazahnya segera dikuburkan. Sampai saat ini, sang ibu masih belum ikhlas untuk menguburkan jenazahnya. Sang ibu membiarkan jenazah Krisna terbaring kaku di kamar.

“Kak, makasih ya udah mau bantuin aku.”

“Sama-sama. Ini rumahnya masih jauh?”

“Lumayan, Kak. Rumahku masih agak ke dalam lagi.”

Okay. Kita temui Ibumu.”

Sekitar 10 menit, Lucas menyusuri gang rumah Krisna, akhirnya ia tiba di tujuan.

“Ini benar rumahmu ‘kan?”

“Benar, Kak. Langsung ketuk saja pintunya.”

Okay.”

Lucas turun dari motornya. Ia mulai menghampiri pintu depan rumah tersebut.

“Permisi,” panggil Lucas sambil mengetuk pintu.

Tak lama, sosok ibu Krisna keluar dengan bingung.

“Cari siapa ya?”

“Saya ke sini atas permintaan anak Ibu, Krisna untuk berbicara sebentar sama Ibu. Apakah Ibu bersedia?”

“Krisna yang minta? Kamu kenal Krisna dari mana? Setahu saya Krisna nggak punya teman yang seumuran kamu.”

“Hmm... mungkin ini terdengar aneh, tapi saya mau menyampaikan kepada Ibu bahwa Krisna meminta jenazahnya agar segera dimakamkan. Barusan saja dia datang ke saya untuk meminta bantuan membujuk Ibu. Dia nggak bisa beristirahat dengan tenang di alam sana, Bu. Ibu harus belajar ikhlas.”

Ibu Krisna terdiam sejenak.

“Benarkah? Kamu punya kemampuan mata batin? Krisna belum pergi dari dunia ini?”

“Betul, Bu. Kebetulan anak Ibu ada di sebelah saya sekarang. Ibu bisa bicara dengannya. Dia bisa mendengar suara Ibu.”

“Krisna, kamu di sini, Sayang? Ibu kangen sekali sama kamu. Kenapa kamu pergi secepat ini, Sayang?”

“Krisna juga kangen sama Ibu. Ini semua takdir, Bu. Ibu harus ikhlas menerima kepergianku.”

“Krisna bilang, Krisna juga kangen sama Ibu. Ini semua takdir, Bu. Ibu harus ikhlas menerima kepergianku.”

“Tapi, Nak... Ibu nggak mau tinggal sendirian tanpamu.”

“Krisna juga nggak bisa berbuat apa-apa sekarang. Krisna mau Ibu segera kubur jenazah aku. Aku mau istirahat dengan tenang, Bu.”

“Krisna bilang, Krisna juga nggak bisa berbuat apa-apa sekarang. Krisna mau Ibu segera kubur jenazah aku. Aku mau istirahat dengan tenang, Bu.”

“Baiklah, Ibu akan segera menguburkan jenazahmu, Sayang. Ibu ikhlas kamu pergi. Maaf, kalau Ibu bikin istirahat kamu nggak tenang.”

“Makasih, Bu. Krisna sayang sama Ibu.”

“Saya ikut senang lihat Ibu bisa mengikhlaskan Krisna. Krisna sayang sama Ibu.”

“Ibu juga sayang sama Krisna.”

Setelah percakapan tersebut, ibu Krisna memutuskan memanggil warga sekitar untuk membantunya mengurus pemakaman Krisna. Prosesi pemakaman berlangsung singkat. Saat ini, jenazah Krisna sudah dimakamkan di tempat pemakaman terdekat dibantu oleh tetangga-tetangga. Sosok Krisna mulai bersinar dan perlahan menghilang.

“Terima kasih, Kak Lucas. Sampai jumpa! Titip salam buat Ibu.”

“Sama-sama, Krisna. Kakak ikut senang bisa bantu kamu. Bu, sekarang Krisna sudah tenang di sana. Dia titip salam buat Ibu.”

“Nak Lucas, terima kasih ya sudah menyadarkan saya. Saya nggak nyangka sudah bikin anak saya nggak tenang selama ini.”

“Sama-sama, Bu. Saya senang bisa membantu Krisna dan Ibu. Oh, iya sudah sore. Saya harus pamit sekarang.”

“Baiklah, sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada Nak Lucas.”

“Sama-sama. Saya permisi.”

To be continued...
©2022 By WillsonEP 

Read next chapter only on Wattpad or Karya Karsa. 


Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

📣 BESOK! Bisakah Aku Bahagia Eksklusif di KaryaKarsa

My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)