Julian & Jovita [NV] (Chapter 16)

16. Mengungkapkan Isi Hati

// Julian's point of view (POV) start.

Hari ini tanggal 17 Agustus 2019. Hari kemerdekaan Indonesia yang ke-74 tahun. Aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Meskipun hari ini tanggal merah dan libur, aku tetap bangun seperti biasanya pukul 04.00. Aku meraih ponselku untuk mengirim pesan untuk Jovita, gadis yang membuatku jatuh hati.

Jovita Putri

Today

04:02 Selamat pagi, Jovita.

04:03 Hari ini kamu bisa temenin aku?

Hmm… sepertinya Jovita belum bangun. Mungkin 30 menit lagi dia bangun. Biasanya dia ‘kan bangun pukul 04.30. Sambil menunggu balasannya, aku memutuskan untuk menggulir beranda Instagram. Sekitar pukul 04.30, aku mendapat pesan balasan darinya.

Jovita Putri

Today

Read 04:02 Selamat pagi, Jovita.

Read 04:03 Hari ini kamu bisa temenin aku?

Pagi, Julian… Kamu ngapain bangun pagi-pagi gini? Bukannya hari ini libur ya? 😂🤣 04:33

Read 04:33 Iya, sengaja bangun pagi. Kamu nggak ada acara ‘kan hari ini?

Nggak ada sih. Hari ini aku rencananya mau di rumah saja sih. Kamu mau ke mana emangnya? 04:34

Read 04:34 Makan steak. Kamu bisa ‘kan temenin aku?

Boleh. Aku temenin. Kebetulan aku sudah lama nggak makan steak. 04:35

Read 04:35 Nanti aku jemput jam 9 ya? Pakai dress yang rapi ya! Makasih loh sebelumnya sudah mau temenin aku.

Sama-sama. See you, Julian. 04:36

Aku menaruh ponselku, kemudian kumulai mempersiapkan kata-kata untuk menembak Jovita. Sekitar pukul 08.00, kuputuskan untuk mandi. Setelah selesai, kupakai setelan jas berwarna hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Aku keluar dari kamarku, kemudian kulangkahkan kaki menuju ruang makan.

“Pagi, Ma, Pa.”

“Pagi, Sayang. Pagi gini sudah rapi saja nih. Kamu mau ke mana?”

“Iya, Julian. Kamu mau ke mana pakai setelan jas begini? Kencan?”

“Kali ini iya. Aku mau kencan sama Jovita. Hari ini Julian mantap mau menyatakan perasaan Julian ke Jovita selama ini.”

“Cie, cie, semoga sukses ya! Papa dan Mama tidak melarang kamu pacaran. Kamu sudah besar, Julian. Papa dan Mama hanya pesan dua hal, jangan mempermainkan anak orang. Sekolah jangan sampai terganggu. Mengerti?

“Siap, Pa, Ma. Julian bisa dipercaya. Aku pamit dulu ya?”

“Oke, semoga sukses ya!”

“Amin.”

Setelah berpamitan dengan kedua orang tuaku, aku masuk mobil dan segera menjalankannya menuju rumah Jovita. Tak lama, aku tiba di rumah Jovita. Kuketuk pintu rumah Jovita perlahan.

“Permisi.”

“Eh, Nak Julian. Mau jemput Jovita ya?” tanya Tante Rena, mama Jovita.

“Iya, Tante Rena. Saya mau jemput Jovita. Jovitanya sudah siap?”

“Sepertinya masih siap-siap Jovitanya. Julian masuk dulu saja ya?”

“Baik, Tante.”

Aku masuk dan menunggu di ruang tamu.

“Julian mau minum apa? Biar Tante buatkan dulu.”

“Apa saja, Tante. Maaf, merepotkan.”

“Sama sekali nggak repot kok, Julian. Hanya minum saja. Ditunggu ya! Tante ke belakang dulu.”

“Iya, Tante.”

Tak lama setelah Tante Rena masuk, keluar Om Jovan, papa Jovita yang katanya sih galak. Jovita pernah bercerita bahwa papanya lumayan galak. Julian, siapkan mentalmu! Ini calon papa mertuamu.

“Jadi kamu yang namanya Julian?”

“Iya, Om. Saya Julian. Maaf, mengganggu waktunya.”

“Hmm… mau apa kamu mengajak anak saya pergi? Kalian mau pergi ke mana?”

“Saya mau ajak Jovita makan steak, Om.”

“Oh, gitu. Pulang jam berapa?”

“Nggak sampai malam, Om. Siang juga saya sudah antar Jovita pulang ke rumah dengan selamat.”

“Bagus itu. Oh, iya ngomong-ngomong baju Nak Julian ini rapi sekali. Ada maksud lain selain makan steak?”

Gawat, kenapa Om Jovan bisa tahu? Apa dia akan menerkamku sekarang? Aku harus berbuat apa? Tenang, Julian. Jawab saja yang sejujurnya.

“Kenapa diam? Benar ya ada maksud lain?”

“Saya mau…”

“Mau apa?”

“Saya mau izin sama Om.”

“Izin untuk?”

“Izin untuk menjadi pacar putri, Om.”

“Oh, gitu. Tentu, Om izinkan. Kenapa muka kamu tegang seperti itu? Saya nggak galak kok seperti apa yang dikatakan Jovita. Jadi santai saja, Julian.”

“Makasih, Om.”

“Tapi ada syaratnya. Kamu bisa penuhi syarat yang Om minta?”

“Syarat apa, Om?”

“Pertama, jangan bikin Jovita sedih. Kedua, jaga Jovita dengan baik. Ketiga, apa kamu bisa penuhi itu semua?”

“Tentu. Saya akan berusaha. Saya akan jaga Jovita dengan baik.”

“Bagus itu. Keempat, biarkan percakapan ini hanya kita yang tahu. Jovita jangan sampai tahu.”

“Siap, Om. Julian janji akan penuhi semua syarat tersebut.”

“Om pegang janji kamu.”

Tak lama, Tante Rena kembali membawakanku segelas teh hangat.

“Silakan diminum, Julian.”

“Terima kasih, Tante. Om, Tante, Julian izin minum tehnya ya?”

“Silakan, Julian. Ma, Jovitanya bisa tolong dipanggilkan? Kasihan Julian sudah nggak sabar.”

“Boleh, Tante panggilkan dulu ya!”

Tak lama, Jovita keluar bersama Tante Rena. Jovita mengenakan dress warna putih dan terlihat sangat cantik.

“Kamu sudah siap?”

“Sudah, Julian.”

“Ya sudah, kita jalan sekarang ya? Om, Tante, saya sama Jovita pamit dulu ya?”

“Iya, Pa, Ma, Jovita sama Julian pamit dulu.”

“Oke, Sayang. Hati-hati ya!”

“Julian jaga Jovita baik-baik.”

“Siap, Om.”

Kami berdua langsung menuju mobil. Kubukakan pintu mobil untuk Jovita.

“Silakan.”

“Makasih, Julian.”

Setelah Jovita masuk, Aku langsung menuju ke kursi pengemudi.

“Jovita, kamu cantik banget hari ini.”

“Makasih, Julian! Kamu juga, ganteng banget. Kenapa sih kita harus pakai pakaian formal seperti ini? Ada acara undangan makan siang bersama rekan bisnis Om Steve ya? Makanya harus pakai pakaian formal seperti ini.”

“Ya, ada acara penting dan dress code-nya pakaian formal. Nggak apa-apa ‘kan?”

It’s okay. Bytheway kita mau makan steak di mana?”

“Daerah Taman Kopo Indah. Di sana steak-nya enak. Kamu harus coba.”

“Oh, gitu. Kita berangkat sekarang.”

Aku mulai melajukan mobilku menuju kafe steak tersebut. Sekitar satu jam setengah perjalanan, kami tiba di tujuan. Aku segera turun membukakan pintu untuk Jovita.

“Silakan turun, Jovita. Kita sudah sampai.”

“Terima kasih, Julian.”

“Sekarang kita masuk?” tanyaku sambil mulai menggandeng tangan Jovita.

Jovita menerima gandenganku sambil senyum-senyum. Aku semakin yakin bahwa Jovita memiliki perasaan yang sama. Saat kami berdua berpelukan di rooftop tersebut, aku dapat merasakan jantungnya berdebar-berdebar. Jantung berdebar-debar bukannya tanda suka ya? Kami berdua masuk dan segera memilih tempat duduk.

“Mas, kami mau pesan.”

“Silakan pesanannya. Ini menunya.”

“Jovita, kamu mau pesan apa? Sirloin atau Tenderloin?”

“Tenderloin saja deh yang 300 gram medium well.”

“Pesen tenderloin 300 gram medium well, dua porsi sama satu porsi zupa soup.”

“Dua porsi tenderloin 300 gram medium well, satu zupa soup. Bumbu steaknya mau BBQ atau mushroom? Minumnya?”

“Kamu mau apa, Jov?”

“Aku mushroom. Minumnya teh saja.”

“Oke, saya juga samain saja.”

“Baik, ditunggu pesanannya.”

Sambil menunggu pesanan, aku pun memulai  menyatakan isi hatiku pada Jovita.

“Jujur sejak pertama kali bertemu denganmu, aku langsung jatuh cinta. Rasa cinta ini semakin besar ketika aku mengenalmu lebih dalam. Jovita, will you be my girlfriend?”

// Julian's point of view (POV) end.

Bersambung... ©2023 WillsonEP

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

📣 BESOK! Bisakah Aku Bahagia Eksklusif di KaryaKarsa

My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)