Hello, Jeremie (Chapter 3)

Chapter 3

Keesokan harinya. Sekitar pukul 05.30, Grace telah bersiap untuk mengajak sang kakak tingkat untuk joging bersama. Pagi ini mengenakan kaos berwarna putih dengan celana training abu.

“Jadi ajak Kak Jeremie joging pagi ini, Sayang?” tanya Sarah yang baru saja keluar dari kamarnya.

“Jadi, Ma. Ini baru mau berangkat. Mama bantu doa ya? Semoga pendekatan Grace hari ini berjalan dengan lancar.”

“Pasti, Sayang. Mama pasti doakan yang terbaik buat kamu. Mau sarapan dulu? Dikit saja.”

“Nggak perlu, Ma. Nanti Grace makannya habis joging saja. Sekalian makan sama Kak Jeremie.”

“Ya, sudah. Kamu hati-hati ya?”

“Siap, Ma.”

Setelah berpamitan, Grace langsung beranjak keluar menuju rumah Jeremie.

“Kak, Grace sudah di depan. Send !” ucap Grace sambil mengirimkan pesan kepada lelaki itu.

Sebentar ya, Grace. 05:37

05:38 Oke, Kak.🙏🏻

Tak lama, Jeremie keluar menghampiri Grace.

“Pagi, Grace. Kamu sudah lama di sini?”

“Pagi, Kak. Belum kok. Baru sekitar dua menit.”

“Oh, gitu. Kita mulai sekarang?”

“Oke, Kak.”

Mereka memulai berjalan santai mengitari area kompleks. Sambil berjalan, Grace pun mengajak Jeremie mengobrol agar ia lebih mengetahui kehidupan lelaki itu.

“Kak Jeremie punya kakak atau adik?”

“Punya. Saya punya dua adik.”

“Oh, ya? Siapa namanya?”

“Julian dan Jessica. Kalau kamu?”

“Hmm… Grace anak tunggal, Kak. Jadi di rumah hanya ada Grace sama Mama. Berdua saja.”

“Oh, gitu. Kalau Papa kamu?”

“Sudah meninggal lima tahun lalu, Kak.”

“Saya turut sedih mendengarnya. Maaf, atas pertanyaan saya barusan.”

“Tidak apa, Kak. Pasti seru ya punya dua adik?”

“Ya, gitu deh. Seru sih, tapi kadang mereka berdua menyebalkan.”

“Menyebalkan gimana, Kak?”

“Ya, kalau saya sedang butuh istirahat, kadang mereka suka mengganggu. Kak, antar Jessica kerja kelompok dong. Beliin makanan dong dan sebagainya.”

Grace tersenyum mendengar secuil cerita Jeremie mengenai kedua adiknya.

“Wajarlah, Kak. Kak Jeremie ‘kan kakak tertua jadi apa salahnya bantu adik.”

“Saya tahu itu, tapi kadang saya merasa iri sama anak tunggal. Pasti hidupnya lebih damai dan tanpa gangguan.”

“Nggak juga. Kalau anak tunggal, lebih repot, Kak. Apa-apa harus dikerjakan sendiri. Pengen main harus keluar sama teman-teman. Pengen martabak harus beli sendiri. Kalau punya adik, bisa ‘kan minta tolong ke dia.”

“Hmm… iya juga sih. Memang ada keuntungan dan kekurangan memiliki adik maupun tidak. Sudah satu keliling nih. Lanjut?”

“Lanjut dong. Tenaga masih banyak nih.”

“Oke, kita lanjut. Mau berapa keliling?”

“Hmm… empat atau lima keliling lagi boleh.”

“Oke, kamu sering joging, Grace?”

“Hmm… nggak juga. Saya baru mulai beberapa minggu lalu. Lumayanlah biar ada olahraganya.”

“Oh, gitu. Kalau saya sih sudah lama. Jogingnya pun nggak hanya di sini.”

“Oh, pindah-pindah ya, Kak?”

“Iya, biar nggak bosan.”

Mereka melanjutkan berbincang-bincang sambil joging di pagi hari. Setelah enam putaran, mereka pun menyudahi olahraga pagi ini dan memutuskan untuk sarapan nasi kuning di Pine Park—taman kompleks yang memang disediakan bagi para penghuninya. Di taman ini terdapat beberapa pedagang makanan yang berjualan setiap hari, ada nasi kuning, nasi uduk, bubur, bakso, pempek, aneka jajanan pasar, dan sebagainya. Kalau malam, ada nasi goreng dan sate.

“Nasi kuning dua ya, Bu.”

“Pakai kacang nggak, Mas?”

“Oh, iya kamu pakai kacang nggak, Grace?”

“Nggak, Kak. Saya alergi kacang.”

“Oke, satu nggak pakai kacang.”

“Siap, Mas. Ditunggu ya?”

“Oke. Ayo, Grace kita duduk.”

“Iya, Kak.”

Jeremie mengajak Grace duduk di salah satu meja yang tersedia.

“Saya sama sekali nggak nyangka, kita ternyata tetanggaan.”

“Iya, Kak. Tetanggaan tapi kok kita nggak pernah bertemu ya?”

“Hmm… entahlah. Mungkin karena rumah-rumah di perumahan ini dibuat berjauhan.”

“Bisa jadi.”

Tak lama, pesanan nasi kuning mereka diantar. Mereka pun mulai menyantapnya dengan lahap. Hanya sekitar 10 menit mereka makan, setelah itu Jeremie langsung mengantar Grace pulang.

“Saya pamit dulu ya, Grace. Terima kasih sudah mengajak joging bersama pagi ini. Sampai ketemu hari Senin ya? Nanti saya jemput.”

“Sama-sama, Kak. Soal jemput, nggak usah. Grace bisa berangkat sendiri. Grace takut merepotkan Kak Jeremie nantinya.”

“Nggak repot sama sekali, Grace. Kamu kelas pagi ‘kan jam 8? Saya juga sama ada kelas jam segitu. Jadi sekalian saja berangkat bersama. Pulangnya kamu bisa naik motormu. Jadi gimana?”

“Ya, sudah. Kalau nggak merepotkan boleh deh.”

“Oke, saya pamit sekarang. Bye, Grace.”

Bye, Kak.”

To be continued... ©2023 WillsonEP

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

📣 BESOK! Bisakah Aku Bahagia Eksklusif di KaryaKarsa

My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)