Bintang Megah (Chapter 6)

Chapter 6 🔎 : Melepas Rindu

Selang beberapa saat setelah Jason pergi, Julian mendapati mobil sang papa mulai memasuki area sekolah. Ia langsung berlari kecil menghampiri dan masuk  ke dalam mobil.

“Papa!”

“Halo, Julian. Kamu apa kabar?”

“Kabar Julian baik, Pa. Papa sendiri gimana? Sehat-sehat saja ‘kan?”

“Bisa kamu lihat sendiri. Papa baik-baik saja.”

“Puji Tuhan.”

“Sekarang kita pulang? Ada barang yang ketinggalan nggak?”

“Langsung jalan aja, Pa. Semua barang aman. Barang berharga sudah Julian bawa semua. Di asrama hanya ada pakaian saja.”

“Oke, kita jalan sekarang ya? Pasti kamu sudah kangen banget sama rumah.”

“Kangen banget.”

Sekitar satu jam perjalanan, Julian dan Maxime tiba di kediaman mereka.

“Pa, Julian tiba-tiba kangen sama mama.”

“Hmm… mau ke makam mama?”

“Boleh, Pa. Kita ke sana sekarang ya?”

“Sebaiknya kita makan siang dulu, baru ke makam mama.”

“Ya, sudah. Kita makan siang, terus ke makam mama ya, Pa?”

“Iya, Julian.”

Mereka beranjak masuk, langsung menuju ruang makan. Di ruang makan sudah tersedia masakan buatan Bi Ami, asisten rumah tangga di rumah tersebut.

“Selamat datang kembali, Den Julian,” sambut Bi Ami dengan senyuman. “Den Julian apa kabar?” lanjut Bi Ami.

“Terima kasih, Bi. Kabar saya baik, Bi. Bibi sendiri apa kabar?”

Alhamdulilah, kabar Bibi baik juga. Sekarang Den Julian dan Tuan makan ya? Bibi sudah masakin makanan spesial kesukaan kalian. Bibi permisi dulu ya, Den, Tuan.”

“Oke, Bi. Terima kasih.”

“Sama-sama, Tuan.”

Bi Ami beranjak pergi. Julian dan Maxime pun langsung mengambil posisi duduk dan memulai makan siang mereka. Sambil makan siang, mereka saling berbagi cerita.

“Kamu betah tinggal di sana?”

“Betah kok, Pa.”

“Syukurlah. Oh, iya dengar-dengar ada tiga teman sekelas kamu yang meninggal dunia. Apa benar?”

“Benar, Pa. Julian nggak nyangka mereka pergi dadakan seperti ini. Padahal kemarin-kemarin mereka terlihat sehat.”

“Ya, namanya umur kita nggak ada yang tahu, Jul. Kita lanjut makannya ya? Habis itu kita langsung ke makam.”

“Oke, Pa.”

Selesai makan siang, mereka langsung berangkat menuju Pemakaman Sriwijaya. Sepanjang perjalanan Julian lebih banyak diam, tatapannya kosong ke arah depan.

“Jul, kamu baik-baik saja?” tanya Maxime sedikit khawatir melihat putranya hanya diam saja sejak tadi.

“Julian, Julian.”

Tak lama, Julian tersadar.

“Papa manggil aku?”

“Iya, kamu baik-baik saja?”

“Aku baik-baik saja kok.”

“Yakin?”

“Yakin, Pa. Aku hanya sedikit kelelahan.”

“Oh, gitu. Ya, sudah kamu tidur saja dulu. Perjalanan kita masih lumayan jauh. Nanti kalau sudah sampai Papa bangunin.”

“Oke, Pa.”

Dua jam setengah perjalanan, mereka tiba di tujuan. Maxime pun membangunkan putranya yang tidur pulas perlahan.

“Julian, bangun. Kita sudah sampai.”

Julian mulai membuka kedua matanya perlahan.

“Sudah sampai, Pa?”

“Sudah, sekarang kita beli bunga ya?”

“Oke.”

Mereka keluar dari mobil, menghampiri salah satu penjual bunga.

“Bu, saya beli bunga taburnya dua kantong ya.”

“Siap, Pak. Bunga tangkainya nggak sekalian?”

“Hmm… bunga tangkainya satu deh, Bu. Saya minta mawar putih buat mama saya. Dia suka banget sama mawar putih.”

“Siap, Nak. Biar Ibu ambilkan ya?”

Setelah semua urusan transaksi selesai, mereka beralih menuju makam Jenny, mama kandung Julian.

“Mama apa kabar di sana? Ini Papa sama Julian ke sini karena Julian kangen banget sama mama. Dia mau nunjukkin ke mama, sekarang dia sudah menjadi murid SMA Bintang Megah.”

“Iya, Ma. Ini Julian pakai seragamnya. Menurut mama gimana? Julian keren ‘kan pakai seragam ini?”

“Pasti menurut mama kamu cakep banget. Bajunya pas.”

Julian tersenyum mendengar papanya berbicara demikian menirukan gaya bicara Jenny.

“Sekarang kita tabur bunganya ya?”

“Oke, Pa.”

Julian dan Maxime mulai menaburkan dua kantong bunga sedikit demi sedikit di atas makam Jenny. Setelah memanjatkan doa, mereka segera beralih ke mobil karena cuaca sudah semakin gelap dan rintik hujan mulai turun membasahi area makam.

“Sekarang kita mau ke mana, Jul? Langsung pulang?”

“Hmm… gimana kalau kita ke restoran favorit mama?”

“Boleh juga. Altery Restaurant ya?”

“Iya, sudah lama kita nggak ke sana.”

“Oke, kita ke sana. Kalau nggak salah terakhir kita ke sana tiga tahun lalu. Kita pergi sama mama.”

“Iya, Pa. Julian inget banget momen bahagia itu. Sayang sekarang mama sudah nggak bersama kita.”

“Sudah, Julian. Kita harus mengikhlaskan kepergian mama. Hidup harus terus berjalan. Ini sudah takdir.”

“Julian paham, Pa. Julian sudah ikhlas kok. Julian hanya lagi rindu aja sama mama.”

“Ya, rindu boleh, tapi jangan berlebihan.”

Maxime segera melajukan mobilnya menuju Altery Restaurant, restoran yang menjadi favorit Jenny semasa hidupnya. Dulu ketika Julian masih SD, Jenny sering mengajak Julian ke restoran itu setiap pulang sekolah. Di restoran tersebut terdapat banyak sekali menu yang menjadi favorit Jenny dan Julian. Salah satu menu yang menjadi favorit mereka adalah zuppa soup.

“Sayang, kamu mau pesan apa hari ini?”

“Zuppa-zuppa, Ma.”

“Bukannya kemaren Julian sudah makan zuppa? Makan yang lain ya?”

“Nggak mau. Julian mau makan zuppa-zuppa.”

“Ya, sudah. Mama pesan zuppa-nya. Mbak, pesan zuppa soup-nya dua porsi ya?”

“Baik, Bu. Ada tambahan lain?”

“Air mineral saja dua juga.”

“Baik, ditunggu pesanannya ya.”

“Julian kenapa suka zuppa?”

“Ngikutin, Mama. Zuppa soup enak rasanya.”

“Kamu lucu banget sih, Sayang. Mama sayang sama kamu.”

“Julian juga sayang sama Mama.”

Julian dan Maxime baru saja tiba di Altery Restaurant. Mereka langsung memilih tempat duduk yang biasa menjadi langganan mereka.

“Selamat datang di Altery Restaurant. Silakan pesanannya.”

“Baik, Mbak. Jul, kamu mau pesan apa?”

“Hmm… Julian mau zuppa soup, Pa.”

“Oke, untuk makanan beratnya?”

“Sop buntut sama nasi.”

“Oke, saya pesan dua porsi sop buntut sama nasi, satu porsi zuppa soup.

“Baiklah, dua porsi sop buntut plus nasi, satu porsi zuppa soup. Untuk minumnya?”

“Minumnya teh hangat saja.”

“Baik, minumnya teh hangat. Mohon ditunggu pesanannya.”

“Akhirnya Julian bisa makan sop buntut lagi di sini setelah sekian lama. Terakhir kapan ya kita ke sini?”

“Hmm... kalau nggak salah tiga tahun lalu sebelum mama sakit. Papa juga kangen sama masakan restoran ini.”

Tiba-tiba saja ponsel Julian berbunyi. Julian pun segera mengecek ponsel miliknya. Ternyata, ia mendapatkan pesan baru dari Jessica.

Jessica Margareth

👋🏻Hai, Jul. 17:30

Kamu lagi sibuk nggak? 17:30

Bisa aku telepon kamu? 17:30

17:31 Hai juga, Jess. Gue lagi di luar sama papa.

17:31 Memangnya ada apa?

 

Oh, lagi quality time. 17:32

Jessica sent a sticker. (sorry) 17:32

Sorry, ganggu. 17:32

Tadinya ada yang mau aku obrolin sama kamu. 17:33

17:33 It’s okay. Nanti malam aja gimana? Tunggu gue pulang.

Boleh, boleh. Nanti kabarin aja kalau kamu sudah sampai rumah. 17:34

17:34 You sent a stiker. (Sip)

“Siapa, Jul, yang kirim pesan? Asyik bener.”

“Eh, sorry, Pa. Oh, ini teman Julian, Pa.”

“Oh, gitu. Cewek atau cowok nih? Ada perlu apa?”

“Cewek, Pa. Julian juga nggak tau. Katanya nanti mau telepon.”

“Oh, gitu. Kalau kamu sudah punya pacar, bilang-bilang Papa ya? Jangan main rahasia-rahasiaan.”

“Bukan pacar, Pa. Hanya teman saja.”

“Papa percaya sama kamu. ‘Kan Papa bilang kalau kamu punya pacar jangan lupa bilang sama Papa.”

“Iya, iya, tapi untuk saat ini belum, Pa. Julian masih fokus belajar.”

“Okelah kalau begitu. Sebenarnya Papa nggak masalah juga kalau kamu punya pacar. Asalkan bisa bagi waktu kapan pacaran dan belajar.”

“Iya, Pa. Julian paham soal itu.”

To be continued... ©2023 WillsonEP

Comments

Trending This Week 🔥🔥

📣 BESOK! Bisakah Aku Bahagia Eksklusif di KaryaKarsa

My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)