Bintang Megah (Chapter 7)

Chapter 7 🔎 : Cerita Jessica

Julian baru saja selesai mandi sepulang dari Altery Restaurant. Sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk, ia meraih ponselnya untuk mengecek pesan yang masuk. Salah satunya pesan dari Jessica Margareth.

Jessica Margareth

Bisa aku telepon kamu sekarang? 19:30

Julian tersenyum kecil melihat pesan tersebut. Ia segera membuka kunci layar dan membuka jendela obrolannya dengan Jessica.

19:30 Wait a minute ya.

Julian menaruh sebentar ponselnya di nakas, kemudian mengambil kaos yang sudah disiapkan di tempat tidur untuk dipakai.

19:31 Sudah, lo bisa telepon sekarang.

19:31 Voice call or video call?

Video call boleh? 19:32

19:32 Of course.

Tak lama, mereka pun terhubung melalui sambungan panggilan video.

Malam, Julian. Maaf nih aku ganggu waktu kamu.”

“Nggak apa. Sebenarnya apa yang mau lo bicarain? Kayaknya penting banget.”

“Ini soal kecurigaanku sama SMA Bintang Megah.”

“Curiga soal apa? Soal ketiga teman kita yang meninggal secara bersamaan?”

“Itu salah satunya, tapi ada hal yang lain yang sangat membuatku curiga.”

“Apa itu?”

“Kakakku sudah hampir dua tahun ini menghilang entah ke mana. Dia juga sekolah di SMA Bintang Megah. Aku curiga sekolah Bintang Megah sengaja menyembunyikan kakakku.”

“Kakak kamu hilang? Gimana ceritanya?”

“Iya, hilang begitu saja. Setelah keluargaku tanya ke pihak sekolah, jawabnya tidak tahu keberadaan kakakku di mana. Kata mereka kakakku hilang begitu saja dari kamarnya. Mencurigakan banget ‘kan?” ujar Jessica dengan ekspresi serius.

Julian hanya diam mendengarkan Jessica lanjut bercerita tentang detail kejadian yang menimpa sang kakak.

“Apa kamu bisa bantu aku menyelidiki hal ini? Tujuanku bersekolah di sekolah ini selain untuk belajar ya ini. Menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi dengan kakakku.”

“Hmm… mendengar cerita lo barusan, gue bakal bantu lo. Ternyata di balik sekolah yang megah itu, ada sesuatu yang disembunyikan.”

“Nah, itu. Makanya kita harus tetap hati-hati selama sekolah di sana.”

“Iya, Jessica. Oh, iya siapa nama kakak lo?”

“Jazz Margareth Putra.”

“Oke, nanti gue bantu cari informasi soal kakak lo.”

“Thanks, Jul. Sekali lagi maaf ganggu waktu kamu. Tadinya aku mau bicarain soal ini di sekolah, tapi kayaknya terlalu beresiko.”

It’s okay, Jessica. Memang sangat beresiko kalau kita bicarakan hal ini di sekolah. CCTV-nya di mana-mana.”

“Ya, memang, tapi giliran diminta rekaman soal kakakku, mereka beralasan maaf CCTV-nya rusak. Aku yakin mereka berbohong. Pokoknya kita harus bongkar kebusukan mereka secepatnya.”

“Lo harus tenang, jangan gegabah. Kita harus kumpulkan bukti dulu.”

“Iya, Jul. Udahan dulu ya? Aku mau tidur.”

“Oke, Jessica. Selamat istirahat ya. Sampai ketemu hari Senin.”

“Bye, Jul.”

Bye, Jess.”

Panggilan video diakhiri keduanya. Setelah itu, Julian segera menaruh ponselnya di nakas dan mulai memejamkan matanya. Sementara itu di sisi lain, Mr. Bintang sedang berada di ruangan laboratorium yang minim penerangan.

“Bagaimana? Apa kamu sudah melakukan apa yang saya minta?”

“Semuanya sudah saya lakukan sesuai permintaan Anda, Mr. Bintang.”

“Kamu yakin ini aman untuk para murid? Saya nggak mau ada yang meninggal lagi gara-gara ini.”

“Sudah saya pastikan aman. Sudah saya sesuaikan dosisnya.”

“Bagus itu. Kalau begitu saya akan bawa dan mencobanya kepada Jazz. Kamu ikut saya.”

“Baik, Mr.”

Mr. Bintang dan seorang ilmuan itu keluar dari ruangan dan memasuki ruangan lainnya.

“Halo, Jazz. Apa kabar?” ujar Mr. Bintang dengan senyuman.

“Lepaskan saya, Mr. Bintang! Sampai kapan Anda mau mengurung saya di tempat ini? Saya mau pulang!”

“Hmm… pertanyaan yang bagus, Jazz. Saya tidak akan melepaskanmu kamu dari sini, apalagi kamu sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di sini.”

“Lepaskan saya! Saya tidak mau jadi objek Anda terus.”

“Wah, sayangnya nggak bisa. Klien saya sangat menyukai kamu, Jazz. Sekarang lebih baik kamu makan jelly enak ini.”

Jelly apa ini? Saya tidak mau! Pasti Jelly ini akan membuat saya menuruti perintah Anda lagi.”

“Tentu saja, Jazz. Saya tidak menerima penolakan. Cepat makan ini!”

Mr. Bintang menekan kedua pipi Jazz dengan satu tangannya dengan kasar, sementara tangannya yang lain memasukkan jelly tersebut secara paksa.

“Telan, Jazz! Ini akan menyenangkan!”

Tak butuh waktu yang lama, Mr. Bintang berhasil membuat Jazz menelan jelly tersebut. Ia pun segera menjetikkan jarinya untuk segera memulai permainannya. Dilepasnya borgol yang semula mengikat tangan dan kaki Jazz.

“Jazz, sekarang kamu ikut saya ke ruang produksi.”

“Baik, Mr.”

-oOo-

Sekitar pukul 02.00 dini hari, proses produksi telah selesai dilakukan. Jazz dikembalikan ke kamar dan kembali diikat dengan borgol. Kondisinya sangat memprihatinkan, badannya penuh dengan luka-luka. Tentu hal ini membuat Jazz meringis sepanjang malam.

“Lihat saja, Mr. Bintang. Semua ini akan segera terbongkar! Ma, Jessica, tunggu aku kembali ya. Aku sangat merindukan kalian.”

Beberapa saat kemudian, seorang pria memasuki kamar Jazz membawa makanan dan minuman.

“Ternyata kamu sudah bangun. Ini makan. Nanti pagi ada produksi lagi. Biar ada tenaga kamu harus makan dulu.”

“Tidak mau, saya hanya mau pulang.”

“Jangan rewel kamu. Memangnya kamu mau mati di sini? Tadi katanya kamu mau ketemu keluarga kamu. Apa kamu mau kembali ke mereka hanya tinggal nama? Makanlah! Saya suapi.”

Jazz terdiam sejenak berusaha mencerna semua perkataan pria itu.

“Baiklah saya akan makan, tapi bisa saya minta sesuatu pada Bapak?”

“Apa itu?”

“Saya minta buka borgol tangan saya. Saya mau makan sendiri.”

“Oke, akan saya buka, tapi ingat jangan macam-macam!”

“Iya, saya nggak akan macam-macam.”

“Hmm… saya tidak percaya sama kamu.”

Pria itu langsung menjetikkan jarinya di depan wajah Jazz.

“Sekarang makanlah. Saya buka borgol kamu.”

“Baik, Pak.”

“Anak pintar. Untung efeknya masih ada jadi saya tidak perlu susah-susah suapin dia. Sambil makan saya akan obati sedikit luka-luka kamu.”

“Terima kasih, Pak.”

“Sebenarnya saya kasihan sama kamu, tapi apa boleh buat. Ini demi menghidupi keluarga saya. Saya harap kamu bisa segera keluar dari tempat ini.”

Jazz mulai merintih ketika pria itu mengobati lukanya.

“Pelan-pelan, Pak. Sakit!”

“Iya, ini juga sudah pelan.”

Perlahan efek jelly yang mengontrol diri Jazz mulai hilang. Jazz kembali menjadi dirinya sendiri.

“Kenapa Bapak mau mengobati saya?”

“Ya, karena saya masih punya hati. Saya juga punya anak seumuran kamu. Namanya Ardan.”

“Ardan? Ardan, siswa SMA Bintang Megah juga?”

“Ya, dia anakku. Kamu pasti kenal baik sama dia. Maafkan saya ya? Saya nggak bisa bantu kamu keluar dari sini.”

“Apa Mr. Bintang mengancam Bapak?”

“Ya, dia mengancam akan menghentikan beasiswa Ardan kalau saya nggak mau bantu dia dalam proyek ini.”

“Bapak tahu ‘kan proyek ini melanggar hukum?”

“Saya tahu, tapi apa boleh buat. Saya juga butuh, Jazz. Selain beasiswa, beliau juga menjamin biaya pengobatan istri saya yang sedang sakit.”

“Apa Ardan tahu soal ini?”

“Tentu tidak. Saya nggak mau Ardan terlibat dalam hal ini. Makan kamu sudah habis, saya harus pergi sekarang. Sekali lagi saya minta maaf, Jazz.”

Pria itu segera mengunci kembali lengan Jazz dengan borgol.

“Saya paham, Pak. Bapak hanya terjebak di permainan ini. Semoga mama Ardan cepat sembuh ya? Bapak bisa pergi sekarang. Saya mau istirahat.”

“Amin, Jazz. Terima kasih atas pengertiannya.”

Pria itu beranjak keluar meninggalkan Jazz sendirian.

To be continued... ©2023 WillsonEP


Comments

Trending This Week 🔥🔥

📣 BESOK! Bisakah Aku Bahagia Eksklusif di KaryaKarsa

My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)