My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)

Chapter 8 : Pacaran sama Pak Dosen

Aku sedikit kaget mendengar pernyataan Pak Dio yang menyatakan perasaannya padaku. Aku pikir kedekatan kami selama ini hanya hubungan tetangga, mahasiswi, dan dosen. Ternyata Pak Dio memiliki perasaan lebih. Pak Dio pun menembakku detik itu juga.

“Apa kamu mau jadi pacar saya, Raisa?”

“Pak Dio bercanda ‘kan?”

“Saya sedang tidak bercanda, Raisa. Saya benar-benar menyukaimu, mencintaimu. Saya yakin kamu juga punya perasaan yang sama.”

“Pak Dio tahu dari mana?”

“Tatapanmu, Raisa. Jadi bagaimana? Kamu mau jadi pacar saya?”

“Saya ragu, Pak. Takutnya hubungan kita dipermasalahkan oleh pihak kampus.”

“Itu bukan masalah besar, Sa. Di kampus kita bisa berhubungan antara dosen dan mahasiswa. Kalau di luar kampus, kamu pacar saya. Banyak kok hubungan yang seperti kita ini.”

“Hmm … saya mau jadi pacar Pak Dio.”

“Kamu terima saya? Saya senang dengarnya. By the way jangan panggil saya Pak di luar kampus panggil Mas Dio saja ya?”

“Oke, Mas.”

-oOo-

Singkat cerita hari itu aku dan Pak Dio resmi berpacaran. Keesokan harinya aku langsung mengenalkan Pak Dio kepada Ibu dan Ara.

“Jadi ini pacarmu, Sa? Cakep bener. Saya Asmara, ibunya Raisa.”

“Kalau aku Ara, calon adik iparmu, Mas Dio.”

“Salam kenal, Bu. Ara. Saya Dio, pacar Raisa sekaligus dosennya di kampus.”

“Salam kenal, Nak. Raisa sudah cerita semuanya sama saya, tapi apa hubungan kalian nggak akan jadi masalah kedepannya?”

“Tidak akan, Bu. Saya dan Raisa sudah sama-sama sepakat kalau di kampus hubungan kami hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Kalau di luar kampus, baru hubungan kami sebagai pacar.”

“Syukurlah, soalnya Ibu nggak mau ada masalah kedepannya. Raisa, meskipun kamu sekarang udah punya pacar, kuliahnya harus tetep bener ya?”

“Siap, Bu. Raisa janji kuliah tetap nomor satu.”

“Untuk Nak Dio, saya titip Raisa ya. Jaga dia dengan baik. Kalau Raisa males belajar, tolong dimarahi.”

‘Siap, Bu. Saya akan tetap profesional kalau masalah kuliah Raisa.”

“Iya, Bu. Ibu nggak perlu khawatir. Raisa udah gede.”

-oOo-

Hari ini tanggal 31 Desember 2024. Tepatnya malam sekitar pukul 21.00 di sebuah tempat makan yang lokasinya dekat dengan Bundaran HI, salah satu ikon Jakarta yang cukup terkenal. Tentu saja aku bersama dengan Mas Dio. Kami berdua sedang menikmati makan malam sambil menunggu malam pergantian tahun.

“Sa …”

“Ya, Mas?”

“Malam ini kamu cantik banget.”

“Ah, Mas bisa aja. Jadi biasanya aku nggak cantik?”

“Bukan gitu. Malam ini kamu lebih cantik dari biasanya.”

“Udah ah, jangan gombal.”

“Saya nggak gombal, Raisa. Kamu memang beneran cantik,” lanjut Mas Dio sambil mengacak rambutku dengan tangannya.

“Mas … jangan iseng deh.”

“Kamu lucu, Sa.”

Aku tersenyum kecil menanggapinya, kemudian kulanjutkan makan malamku yang belum habis.

“Mau nambah lagi nggak, Sa?”

“Nggak, Mas. Ini aja belum abis.”

“Oke, kalau mau nambah bilang aja ya. Jangan sungkan.”

“Iya, iya.”

Mas Dio kembali melakukan pemesanan.

“Mas mesen lagi?”

“Iya, Sa.”

“Apa nggak kenyang? Tadi ‘kan Mas udah makan cukup banyak.”

Mas Dio menggeleng sambil tersenyum. “Nggak apa-apa, Sa. Sesekali makan lebih banyak dari biasanya boleh loh. Kalau kamu mau tambah, tambah aja.”

“Nggak, Mas. Ini udah cukup.”

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku dan Mas Dio sudah meninggalkan tempat makan tadi dan saat ini tengah menikmati malam menjelang pergantian malam tahun baru di sekitaran Bundaran HI. Kulihat langit malam mulai dihiasi oleh kembang api yang meluncur dengan sangat indah.

“Kamu suka kembang api?”

“Suka banget, Mas.”

“Tuh, ada yang jual di sebelah sana. Kita beli yuk!”

“Jangan, Mas,” cegahku dengan cepat.

“Kenapa?”

“Aku suka kembang api, tapi aku trauma kalau nyalain sendiri.”

“Oh, gitu. Ya, sudah. Kita nonton aja.”

“Makasih pengertiannya, Mas.”

“Sama-sama. Sekarang jam berapa, Sa?”

“Jam 23.03. Tahun barunya masih lumayan lama.”

“Iya, masih lama. Saya punya ide biar waktu terasa lebih cepat.”

“Apa tuh?”

“Kita belajar akuntansi. Mau nggak?”

“Nggak, jangan mentang-mentang dosen jadi belajar terus. Ini ‘kan hari libur. Kita gunakan waktu untuk bersenang-senang tanpa belajar.”

“Jadi beneran nggak mau?”

“Beneran, Mas.”

“Ya, udah. Kamu ada ide nggak?”

“Gimana kalau kita ke sana? Di sana kita bisa lebih jelas lihat kembang apinya. Sekalian kita foto-foto.”

“Oke. Kita ke sana.”

Sesampainya di sana. Kami mulai mengambil beberapa foto dengan latar Bundaran HI sebagai latar belakangnya. Aku senang sekali bisa menghabiskan waktu bersama Mas Dio malam ini. Tepat pukul 00.00, kembang api di langit Jakarta meluncur dengan sangat indah. Semua orang di sekitar serempak berteriak, “Selamat tahun baru 2024!” sambil tertawa bahagia bisa melewati tahun 2023. Tak lupa, aku pun langsung menelepon Ibu untuk mengucapkan selamat tahun baru.

“Selamat tahun baru, Bu, Ara.”

“Selamat tahun baru juga, Sa.”

“Selamat tahun baru, Kak. Kakak lagi di mana? Kok rame banget di sana?”

“Kakak lagi di Bundaran HI sama Mas Dio.”

“Oh, lagi pacaran. Gemes banget kalian. Mas Dio-nya mana? Ara mau ngomong.”

“Boleh. Ini Ara mau ngomong sama Mas.”

“Oh, mau ngomong sama saya?”

Kuserahkan ponselku pada Mas Dio.

“Selamat tahun baru, Ara.”

“Selamat tahun baru, Mas Dio.”

“Oh, iya Ibu mana?”

“Ini ada di sini. Lagi goreng kentang.”

“Ya, Nak Dio? Oh, iya selamat tahun baru.”

“Selamat tahun baru juga, Bu. Ini Ibu lagi masak kentang goreng. Kalian udah makan malamnya?”

“Udah, Bu. Ini kami lagi menikmati suasana tahun baru di daerah Bundaran HI.”

“Oh, gitu. Pulangnya jangan malem-malem ya, Nak Dio.”

“Siap, Bu.”

“Ibu titip Raisa ya, Nak. Jaga dia baik-baik.”

“Siap, Bu. Saya akan jaga Raisa.”

“Terima kasih, Nak Dio. Ibu lanjut masak dulu ya. Ra, ini HP-nya kamu pegang.”

“Oke, Bu. Oh, iya Mas Dio. Ara mau tanya sesuatu boleh?”

“Ara mau tanya apa sama Mas?”

“Kamu mau tanya apa sih, Ra? Tanyanya jangan yang aneh-aneh ya?”

“Ini bukan pertanyaan aneh kok, Kak. Aku boleh tanya ‘kan Mas?”

“Boleh, Ara. Apa yang mau kamu tanyakan?”

“Mas Dio kapan nikahin Kak Raisa?”

“Ara! Kenapa kamu tanya begitu?” ujarku tak terima dengan pertanyaan yang dilontarkan Ara pada Mas Dio.

“Kenapa Kak Raisa sewot sih? Mas Dio-nya aja nggak marah.”

Kulirik Mas Dio, memang dia hanya tersenyum.

“Tidak apa, Sa. Saya jawab ya. Saya rencananya akan nikahin kamu setelah kamu lulus. Sabar ya.”

“Oh, gitu. Mantap Mas Dio! Kak Raisa cepet lulus ya biar cepat nikah!”

Segera kuputuskan panggilan videoku dengan Ara. Jujur, aku jadi salah tingkah setelah mendengar pernyataan Mas Dio barusan. Tak lama, Mas Dio mengenggam lenganku.

“Saya cinta sama kamu, Sa. Saya serius akan nikahin kamu setelah kamu lulus. Kamu mau ‘kan?”

“Hmm … gimana ya? Itu masih lama, Mas.”

“Ya, saya tahu, tapi kamu mau ‘kan jadi pendamping saya?”

“Kita lihat nanti ya, Mas. Aku nggak bisa jawab sekarang.”

“Oke, pertanyaan tadi kamu simpan dulu aja. Kalau yang ini bisa kamu jawab sekarang?”

“Pertanyaannya apa dulu?”

“Kamu sayang sama saya?”

“Sayang.”

“Kamu cinta sama saya?”

“Aku cinta sama kamu, Mas.”

“Mau nikah sama saya?”

“Nanti ya?”

“Oke, saya bakal tunggu kamu lulus.”

The end. ©2024 WillsonEP

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

📣 BESOK! Bisakah Aku Bahagia Eksklusif di KaryaKarsa