Terror Games (Chapter 1)
Chapter 1
Suatu
pagi menjelang siang di sebuah universitas ternama, Willson University. Suasana
bahagia menyelimuti para mahasiswa dan mahasiswi yang baru saja dinyatakan lulus
secara resmi melalui acara wisuda sarjana. Mereka mulai berhamburan keluar
ruangan aula untuk mengabadikan momen-momen bahagia bersama keluarga, kekasih,
sahabat, maupun teman-teman seperjuangan. Mereka berfoto bersama di tempat yang
memang disediakan oleh pihak kampus. Satu, dua, tiga. Cekrek.
“Gimana
hasil fotonya?”
“Bagus,
dong. Sekali lagi selamat untuk kita semua! Akhirnya kita semua lulus setelah
empat tahun berjuang! Sukses semuanya untuk kedepannya!”
“Amin.”
“Gue
sama Jessica pamit duluan ya?”
“Iya,
gue sama Julian pamit dulu. Mau foto studio soalnya.”
“Oke,
deh. Kita-kita juga mau foto studio. Kalian foto di mana?”
“Hmm …
gue kurang tahu. Bokap soalnya yang urus.”
“Oh,
gitu. Ya, sudah. Kalian hati-hati.”
“Siap,
duluan ya?”
Setelah
berpamitan dengan teman-teman seperjuangan, Julian dan Jessica menghampiri Maxime
dan Jazz yang sedang asyik mengobrol.
“Mama
mana, Kak? Kita jadi ‘kan foto studio?”
“Di toilet.
Jadi, Om Maxime udah booking kok.”
“Iya,
Jessica. Om udah persiapkan semuanya. Tinggal foto aja. Oh, iya kalian udah
foto berdua belum? Biar Om fotoin.”
Jessica
menggeleng. Pipinya sedikit memerah karena malu.
“Nggak
usah malu-malu, Jessica. Jul, mana HP kamu? Biar Papa fotoin.”
Julian
langsung menyerahkan ponselnya, kemudian mengambil posisi berfoto bersama
dengan Jessica.
“Senyum
dong. Satu, dua, tiga.”
“Bagus
nggak, Pa? Sekali lagi ya?”
“Siap,
Jul. Sekali lagi ya. Satu, dua, tiga.”
“Kalian
serasi banget.”
“Bener
banget, Om. Apa kita langsung nikahin aja mereka?”
“Boleh
tuh.”
“Ah,
Kak Jazz! Baru juga lulus masa udah nikah aja.”
“Ya,
gak apa-apa dong, Dek. Nanti biar Kak Jazz yang bilang ke Mama.”
“Nggak
perlu. Lagian Julian juga pasti belum siap.”
“Iya,
Kak. Julian masih mau mengejar karier dulu.”
“Okelah,
Kakak serahkan semuanya ke kalian. Memang pernikahan itu perlu dipikirkan
matang-matang. Jangan terlalu terburu-buru.”
“Benar
kata Jazz. Tadi kita hanya bercanda.”
“Oh,
iya kita mau foto di mana, Om?”
“Hmm …
kita bakal foto di studio milik teman lama Om sama Mama kamu, Jess. Nama
studionya Adelias Photo Studio.”
“Adelias?
Studio foto yang terkenal itu?”
“Iya,
Jul. Papa mau momen kelulusan kalian diabadikan dengan sangat baik.”
“Terima
kasih, Pa.”
“Sama-sama.
Apa sih yang nggak buat anak Papa satu-satunya. Sekali lagi selamat ya atas
kelulusan kalian.”
“Makasih,
Pa.”
Tak
lama, Margareth—mama dari Jessica—datang menghampiri.
“Wah, pada
ngomongin apa nih? Kayaknya aku ketinggalan.”
“Ada
deh, Ma. Rahasia. Kita jalan sekarang? Jadi ‘kan kita foto?”
“Jadi
dong. Kita berangkat sekarang.”
Mereka
berlima beranjak menuju parkiran menaiki mobil masing-masing. Julian ikut
bersama Maxime, sementara Jessica dan Jazz ikut bersama Margareth. Tanpa mereka
sadari, seseorang dari kejauhan menatap mereka dengan tatapan tajam dan penuh
dengan dendam.
“Kalian
tidak boleh bahagia! Kalian harus menderita seperti apa yang gue rasakan selama
ini! Tunggu pembalasan gue!”
-oOo-
Sesampainya
di studio foto, mereka langsung melakukan pemotretan yang langsung dibantu oleh
fotografer profesional ditemani oleh Adel, pemilik studio foto sekaligus teman
lama Maxime dan Margareth. Sesi foto berlangsung kurang lebih 30 menit.
“Selamat
ya atas kelulusan kalian, Julian, Jessica. Kalian pasangan yang serasi,” ujar
sang fotografer bernama Irwan.
“Terima
kasih udah fotoin kita, Mas.”
“Sama-sama.
Udah jadi tugas saya. Kalau kalian mau foto prewedding bisa di sini
juga.”
“Bener
banget, Jul, Jess. Kalian memang cocok banget. Serasi. Semoga kalian bisa
sampai jenjang pernikahan ya.”
“Amin,
Tante. Makasih doa baiknya,” respon Julian sambil tersenyum kecil.
Jessica
hanya tersenyum sambil memerhatikan wajah tampan Julian.
“Kamu
kenapa perhatiin aku dari tadi? Aku ganteng ya?”
“Ih,
kepedean.”
“Terus
kenapa kamu liatin aku dari tadi?”
“Aku
kagum aja sama kamu.”
“Kagum
kenapa?”
“Kamu
bisa jadi mahasiswa terbaik di kampus dan IPK kamu 4.0. Kamu hebat!”
“Kamu
juga hebat, Jess. Mahasiswi terbaik dan tercantik di hati aku.”
“Ah,
kamu bisa aja!”
“Jess,
tunggu aku ya?”
“Tunggu
apa?”
“Tunggu
aku menikahimu.”
“Jul …
Udah ah, malu.”
“Dunia
serasa milik berdua ya? Yang lain ngontrak,” goda Adel, sang pemilik studio
yang diam-diam memerhatikan percakapan antara Julian dan Jessica.
-oOo-
Malam
hari sekitar pukul 21.00. Julian dan Maxime masih berada di ruang keluarga, tengah
menonton salah satu serial melalui platform OTT.
“Jul,
Papa udah ngantuk nih. Papa duluan ke kamar ya? Kamu lanjut aja nontonnya.”
“Hmm …
ya udah. Kita lanjut nontonnya besok lagi ya, Pa.”
“Kamu
nggak mau lanjut duluan? Duluan aja nggak apa-apa.”
“Nggak
mau, Pa. Seruan nonton bareng. Julian juga ke kamar deh.”
“Ya,
sudah. Kita istirahat sekarang ya. Nontonnya lanjut besok.”
Julian
dan Maxime beranjak memasuki kamar masing-masing.
“Hmm …
Jessica udah tidur belum ya? Coba telepon deh.”
Julian
mengambil ponselnya, kemudian mencoba menelepon sang kekasih.
“Halo,
Jul.”
“Halo,
Jess. Kamu udah tidur?”
“Belum
nih. Ada apa?”
“Aku
kangen.”
“Bukannya
tadi baru ketemuan. Belum ada 24 jam loh.”
“Iya,
sih, tapi udah kangen aja nih. Apa aku nikahin kamu aja ya? Biar kita bisa
selalu bersama. Kamu mau nggak?”
“Mulai
deh. Kalau sekarang, aku sih nggak mau ya.”
“Kenapa?”
“Aku
belum siap, Julian. Mending kita fokus karier masing-masing. Kamu terusin usaha
Papa kamu, aku urusin perusahaan Mama. Udah ah jangan dibahas lagi.”
“Okay,
aku nggak akan bahas sekarang-sekarang. Setahun, dua tahun kemudian cukup lah
ya.”
“Gimana
nanti. Bahas yang lain ah.”
“Okay,
kita bahas yang lain.”
“…”
Tak terasa
25 menit berlalu. Julian memutuskan untuk mengakhiri panggilannya karena
kantuknya mulai tak tertahan. Julian menaruh ponselnya pada nakas, kemudian
beranjak menuju kamar mandi untuk sikat gigi dan cuci muka. Tiba-tiba saja
terdengar suara gaduh dari arah kamar Maxime.
“Kenapa
kamar Papa berisik banget? Aku harus ngecek.”
Julian
beranjak keluar kamar mandi, meraih ponselnya untuk berjaga-jaga apabila ada
pencuri yang masuk rumah. Ia langsung menghampiri kamar Maxime.
“Pa,
ada apa? Papa baik-baik aja ‘kan? Julian boleh masuk?”
Maxime
tidak merespon. Julian langsung membuka pintu kamar Maxime untuk mengecek
keadaanya. Saat pintu terbuka, Julian kaget melihat banyak darah berceceran di
lantai dan sang papa tergeletak tak berdaya dengan luka tusukan. Julian dengan
sigap langsung menelepon pihak berwajib untuk menangani kasus ini.
“Halo,
selamat malam. Saya Julian Maxime Ardiaman mau melaporkan kejadian penusukkan Papa
saya.”
“Selamat
malam, Pak. Bisa dibantu lokasi TKP-nya?”
“Lokasinya
di Pine Residence Kaveling A-1.”
“Baik,
tim kami beserta ambulan segera ke TKP. Mohon tidak terlalu dekat dengan korban
agar proses penyelidikan lebih akurat.”
“Baik,
Pak. Saya tunggu.”
Panggilan
berakhir. Sambil menunggu kedatangan polisi dan ambulan, Julian memutuskan
untuk mengambil beberapa foto tempat kejadian perkara siapa tahu bisa dijadikan
bukti tambahan.
“Pa,
bertahan ya. Sebentar lagi ambulan dan polisi datang.”
-oOo-
Maxime
telah berhasil dibawa dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Julian pun turut
ikut mendampingi sang papa. Sepanjang perjalanan tadi, Julian tidak berhenti
menangisi Maxime yang terbaring berlumuran darah akibat luka tusukan. Maxime
sedang ditangani dokter di ruang operasi. Sementara Julian, menunggu di depan
ruang operasi.
“Pa,
yang kuat ya? Papa nggak boleh tinggalin Julian.”
Beberapa
saat kemudian. Polisi datang menghampiri Julian untuk menanyakan kronologis
kejadian. Julian langsung menceritakan kronologis kejadian berdasarkan apa yang
ia ketahui.
“Apa
Bapak sempat melihat pelaku penusukkan?”
“Tidak,
Pak. Begitu saya masuk, saya hanya melihat Papa saya sudah tergeletak berlumuran
darah.”
“Baik,
kronologis yang diceritakan oleh Pak Julian sudah kami catat. Kami akan
melakukan penyelidikan lanjutan untuk kasus ini. Kami permisi. Semoga Pak
Maxime bisa segera pulih.”
“Amin,
Pak. Terima kasih atas bantuannya. Tolong temukan pelakunya.”
“Kami
akan usahakan ya, Pak. Kami permisi. Selamat malam.”
“Malam,
Pak.”
To be continued … ©2024 WillsonEP Bagaimana chapter perdana Terror Games? Tulis di kolom komentar ya. Kira-kira siapa pelaku penusukkan Om Maxime?
Keren ceritanya๐
ReplyDeleteSeru thor. Kemungkinan saingan bisnis sih ini.
ReplyDeleteMantap cerita baru! Hmm ... kalau ini nyambung dengan Bintang Megah, kemungkinan orang-orang Bintang Megah terlibat.
ReplyDelete๐ค๐คBikin penasaran! Ditunggu lanjutannya
ReplyDeleteYey, cerita baru...
ReplyDeleteCeritanya seru thorr, hanya kurang panjang aja nih hehehe. Next lebih panjang ya?๐
ReplyDeleteSosweet banget Julian dan Jessica. Dunia serasa milik berdua.๐๐
ReplyDeleteNext thorrr
ReplyDelete๐ญSemoga Om Maxime baik-baik saja ya
ReplyDeleteNext thor
ReplyDeleteNextnya mna?
ReplyDeleteIni udah Sabtu thorrr. Kok belum update?
ReplyDelete๐ญ๐ญ
ReplyDelete