Terror Games (Chapter 2)
Chapter 2
Pagi
hari sekitar pukul 05.00. Jessica bangun seperti biasanya. Ia beranjak memasuki
kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Setelah selesai, Jessica langsung mengganti
pakaian tidurnya menjadi pakaian renang. Jessica memang terbiasa berenang di
pagi hari saat akhir pekan. Sebelum beranjak turun, Jessica menyempatkan mengirimkan
pesan pada Julian.
Julian
Maxime Ardiaman ♥️
Pagi, Pacar.
05:07
Pasti
belum bangun. 05:07
“Hmm …
tumben pesannya langsung masuk. Biasanya centang satu. Mungkin dia lupa matiin
HP-nya.”
Jessica
membawa ponselnya ke area kolam renang. Ditaruhnya ponsel tersebut di atas meja
bersama dengan handuk.
“Berenang
pagi, Sayang?” tanya Margareth yang baru saja keluar kamar, kemudian
menghampiri ke area kolam renang.
“Iya,
Ma.”
“Tumben
pagi amat. Biasanya jam 6-an.”
“Sengaja,
Ma. Mau berenang lebih lama.”
“Oh,
gitu. Ya, udah Mama mau nyiapin sarapan dulu. Kamu mau Mama masakin apa,
Sayang?”
“Hmm …
apa aja deh, Ma. Apapun yang Mama masak pasti aku makan.”
“Kamu
bisa aja. Oh, iya nanti siang Jazz sama Alexa datang. Mereka mau makan siang
bersama di sini. Kamu nggak pergi-pergi ‘kan?”
“Nggak,
Ma. Jessica hari ini memang nggak ada rencana keluar. Mau istirahat di rumah
aja. Oh, iya Nasya ikut ‘kan?”
“Ikut.
Dia udah kangen banget sama Tantenya.”
“Oke, deh.
Jessica berenang dulu ya?”
“Iya,
Mama mau masak.”
Setelah
Margareth beranjak masuk, Jessica langsung memulai aktivitas berenangnya. Satu jam
berlalu. Jessica memutuskan untuk mengakhiri aktivitas renangnya. Setelah
berganti pakaian, Jessica memilih bergabung dengan Margareth menonton berita
pagi ini di televisi sambil menikmati kentang goreng. Tiba-tiba saja muncul
berita yang membuat mereka terkaget-kaget. Berita tersebut berjudul
“Pengusaha Ternama, Maxime Ardiaman Menjadi Korban Penusukkan di Rumahnya.”
Setelah
mendengar berita tersebut, Jessica langsung menelepon sang kekasih untuk
menanyakan kondisi Maxime sekarang. Jessica mencoba menghubungi Julian beberapa
kali, tetapi tidak diangkat. Pesan tadi pagi pun belum dibalas.
“Ma,
Julian kok nggak angkat telepon aku. Aku khawatir dia kenapa-kenapa.”
“Tenang
ya, Sayang. Kita doakan yang terbaik untuk Julian dan Om Maxime. Semoga Julian
dan Om Maxime bisa melewati ini semua.”
“Amin.”
“Sekarang
kita sarapan dulu ya?”
“Oke,
Ma.”
-oOo-
Jessica
dan Margareth baru saja menyelesaikan sarapannya di ruang makan. Jessica
kembali mengecek ponselnya untuk mengetahui kabar Julian dan Maxime.
“Gimana,
Sayang? Udah ada kabar dari Julian?”
Jessica
menggeleng. “Belum, Ma. Julian belum ada kabar. Apa aku coba telepon lagi ya?”
“Coba telepon lagi. Siapa tau diangkat.”
Jessica
kembali mencoba menelepon sang kekasih dengan harapan kali ini akan diangkat.
Tak butuh waktu lama, panggilan terhubung.
“Halo,
Jess. Maaf, aku baru bisa jawab telepon kamu sekarang,” ujar
Julian dengan suara lirih.
“Akhirnya
kamu angkat juga telepon aku. Tadi aku nonton berita di TV, Om Maxime benar
ditusuk orang? Gimana kondisinya sekarang?”
Julian
terdiam.
“Halo,
Jul. Kamu masih di sana ‘kan?”
“Iya,
masih. Papa udah nggak ada, Jess,” ujarnya dengan suara
yang mulai serak karena menangis. Mendengar pernyataan Julian, Jessica turut
meneteskan air mata. Ia sama sekali tidak menyangka Om Maxime bakal pergi
secepat ini. Kemarin, beliau masih sehat dan bahagia bersama merayakan
kelulusannya bersama Julian.
“Sabar
ya, Julian. Aku turut berdukacita.”
“Makasih,
Jess. Kamu bisa ke sini? Aku butuh kamu di sini.”
“Tentu
bisa. Kamu di mana sekarang?”
“Aku
di Rumah Sakit Mitra Sehat.”
“Ya,
udah. Aku sebentar lagi ke sana. Aku siap-siap dulu.”
“Maaf,
jadi ngerepotin kamu.”
“Sama
sekali nggak repot kok. Kamu tunggu ya?”
“Iya,
jangan lama-lama. Aku kangen kamu.”
“Aku
juga. Udah dulu ya? Bye, Jul.”
“Bye, Jess.
Aku tunggu.”
Panggilan
berakhir. Jessica langsung menghampiri Margareth yang sedang mencuci piring di
dapur.
“Gimana?
Udah dapet kabar dari Julian?”
“Udah,
Ma.”
“Gimana
kondisi Om Maxime?”
“Om
Maxime meninggal, Ma.”
“Meninggal?
Mama sama sekali nggak nyangka Om Maxime pergi secepat ini. Perasaan baru
kemaren kita jalan-jalan bareng dia. Umur memang nggak ada yang tau.”
“Iya,
Ma. Jessica juga kaget begitu tahu Om Maxime udah nggak ada. Kita ke rumah
sakit sekarang ya? Julian butuh banget aku, Ma.”
“Oke,
kita siap-siap dulu.”
-oOo-
Jessica
dan Margareth telah tiba di Rumah Sakit Mitra Sehat beberapa menit lalu. Saat
ini, Margareth tengah mengurus administrasi pemindahan jenazah Maxime dari rumah
sakit ke rumah duka. Sementara Jessica memilih untuk menemani Julian di ruang
jenazah. Cukup lama mereka berada di ruang jenazah. Setelah tangis Julian mulai
mereda, Jessica langsung mengajak Julian keluar.
“Kamu
udah makan?”
Julian
menggeleng.
“Kenapa
belum? Nanti kamu sakit. Kita ke kantin sekarang ya?”
“Aku
nggak nafsu makan.”
“Meskipun
nggak nafsu, kamu harus tetap makan. Kita ke kantin sekarang ya?”
“Nggak
mau, Jess. Aku lagi nggak nafsu makan.”
“Ya
udah, aku pulang nih.”
“Jangan
pulang dong. Ya, udah aku mau makan deh. Kamu temenin ya?”
“Nah,
gitu dong. Kita ke kantin sekarang ya?”
“Iya,
iya.”
Julian
dan Jessica sudah berada di area kantin. Jessica pun langsung memesankan
seporsi bakmie untuk Julian.
“Kamu
nggak pesan juga?”
“Nggak.
Aku udah sarapan tadi. Kamu aja yang makan. Aku temenin kamu.”
“Oh,
gitu. Oke.”
Tak
butuh waktu lama, bakmie yang dipesan oleh Jessica datang.
“Terima
kasih, Bu.”
“Sama-sama,
Mas. Selamat menikmati ya.”
Julian
segera mengambil sumpit dan menikmati bakmie yang telah dihidangkan dengan
lahap.
“Katanya
nggak nafsu makan, kok diliat-liat lahap banget makannya.”
“Harus
dong. ‘Kan ditemenin sama pacarku yang cantik,” ujar Julian tersenyum sebentar,
kemudian melanjutkan makannya.
“Gombal.”
Jessica
bersyukur bisa melihat senyum Julian lagi meskipun hanya sebentar. Setelahnya Julian
kembali murung dan lebih banyak diam. Selang beberapa saat. Margareth datang
menghampiri.
“Kalian
di sini ternyata. Administrasinya udah Tante urus ya, Julian. Sekali lagi Tante
turut berdukacita atas meninggalnya Papa kamu.”
“Terima
kasih, Tante. Maaf, Julian jadi ngerepotin Tante.”
“Nggak
perlu minta maaf. Kamu udah Tante anggep seperti anak Tante sendiri. Kalau kamu
butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi Tante.”
“Iya,
Julian. Jangan sungkan ya? Aku dan Mama pasti bantu kamu.”
-oOo-
Jenazah
Maxime telah dipindahkan dari rumah sakit ke rumah duka. Saat ini, Julian
tengah menyambut kedatangan para pelayat dari kalangan teman, keluarga, dan
rekan bisnis.
“Gue
turut berdukacita, Jul. Lo yang kuat ya?”
“Gue
juga turut berdukacita ya, Jul. Kalau boleh tau ceritanya gimana sih?”
“Iya,
Jul. Bisa cerita ke kita?”
“Makasih,
James, Lun. Hmm … nanti gue ceritain detailnya. Duduk dulu aja ya?”
“Oke,
deh. Santai aja. Lo sambut tamu-tamu lo dulu.”
Julian
mempersilakan James dan Aluna duduk bergabung dengan Jessica yang tengah
menyantap kacang kulit.
“Hai,
Jess. Apa kabar?”
“Hai,
Lun. Kabarku baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?”
“Baik
juga.”
“Oh,
iya kalau kamu, James?”
“Kabar
gue baik juga, Jess.”
“Kalian
dateng barengan?”
“Iya,
gue pacaran sama James.”
“Wah,
sejak kapan? Kok gue nggak tahu?”
“Sejak
kita SMA kelas 12. Wajar kalau kamu nggak tahu. ‘Kan kita beda sekolah. Udah
lama juga kita nggak ketemuan. Gimana hubungan lo sama Julian? Masih ‘kan?”
“Masih
dong. Makin nempel malah.”
“Mantap,
semoga langgeng sampai nikah ya? Gue bantu doain.”
“Thanks,
James.”
“Kalau
kalian menikah, jangan lupa undang gue sama James.”
“Pasti
dong.”
“Oh,
iya hampir aja lupa. Congrats ya buat kelulusan lo. Maaf, kemarin gue
nggak bisa datang ke acara wisuda lo.”
“Iya,
Jess. Congrats ya.”
“Thanks,
Lun, James. It’s okay. Kuliah kalian gimana? Semua lancar-lancar ‘kan?”
“Lancar.
Ini lagi tunggu jadwal wisuda keluar.”
“Kalian
satu kampus?”
“Iya,
Jess. Sengaja biar bisa sama-sama terus seperti lo dan Julian.”
“SMA
bareng, kuliah bareng, wisuda bareng. Julian bucin abis!”
“Ah,
kamu terlalu berlebihan James. Julian nggak sebucin itu kok.”
“Masa?”
“Beneran,
James.”
“Pada
ngomongin gue nih? Ngomongin apaan?” tanya Julian yang tiba-tiba datang
menghampiri.
“Bukan
apa-apa. Ini gue sama Aluna penasaran banget sama kejadian Om Maxime. Siapa
pelakunya? Saingan bisnis kah?”
“Hmm …
belum tahu. Sampai saat ini polisi masih menyelidiki pelaku.”
“Oh,
gitu. Semoga pelakunya cepat ketemu.”
“Amin.”
“Terus
gimana kronologisnya?”
“ … “
Julian
mulai menceritakan kronologis kejadian pada Jessica, James, dan Aluna. Cerita
Julian membuat Jessica, James, dan Aluna penasaran dengan pelaku dan motifnya.
Apakah karena persaingan bisnis atau mungkin dendam pribadi? Julian pun
menunjukkan sebuah bukti yang ditemukan oleh polisi yang ia potret dengan
ponselnya. Bukti berupa secarik kertas penuh dengan darah bertuliskan “Permainan
baru dimulai (22)”. Dari kejauhan, tepatnya dari luar ruangan seorang pria
misterius berpakaian serba hitam tertawa puas melihat penderitaan Julian yang
baru saja kehilangan sang papa.
“Permainan
baru dimulai, Julian. Lo nggak boleh hidup bahagia. Lo harus menderita!”
To be continued … © 2024 WillsonEP. Bagaimana chapter kali ini? Tulis di kolom komentar ya.
😭 Turut berduka cita, Jul. Perasaan baru kemaren pergi bareng.
ReplyDeleteStay strong, Jul. 💪🏻
ReplyDeleteHmm … Pelakunya siapa ya? Belum dapet petunjuk. Angka (22) maksudnya apa? 😌🤔
ReplyDeleteBisa aje lu, Jul. 🤭
ReplyDeletePenasaran banget
ReplyDeleteApa mungkin ada kaitannya sama Bintang Megah ya?
ReplyDeleteNext thor
ReplyDeleteNext thor ditunggu
ReplyDelete