Tak Ada Keluarga Sempurna (Chapter 1)
Chapter 1 : Di
Balik Harmoni
Sore
hari sekitar pukul 17.30. Suara mesin motor terdengar memasuki pekarangan di
sebuah rumah sederhana berwarna abu-abu. Bima baru tiba di rumah setelah
seharian mengurus bisnis miliknya—Bakso Abim. Ia mematikan mesin motornya
sambil menghela napas panjang.
“Akhirnya
sampai juga di rumah. Mobil Aline belum terlihat. Apa dia pulang telat lagi?”
“Akhirnya
kamu pulang juga, Bim,” sambut Destiana dengan senyum hangat.
Bima
turun dari motor, menghampiri dan menyalami ibunya.
“Bima
pulang, Bu.”
“Kamu
pasti lelah. Bagaimana jualanmu hari ini?”
“Hmm
… nggak begitu ramai, Bu, tapi lumayan laku beberapa porsi.”
“Syukurlah,
begitulah jualan, Bim. Kadang naik dan turun. Kamu yang sabar dan jangan
nyerah.”
“Pasti,
Bu. Bima nggak akan nyerah. Oh, iya Sakti lagi ngapain?”
“Seperti
biasanya lagi ngerjain PR di kamarnya. Kamu mau makan sekarang? Ibu udah siapin
makanan favorit kamu, Bim.”
“Hmm
… Bima mandi dulu deh, Bu. Gerah banget.”
“Ya,
udah. Ayo, kita masuk!”
Destiana
mengajak Bima masuk. Di ruang tamu, terlihat Afan tengah duduk di sofa sambil
menonton televisi. Bima langsung menyalami sang ayah.
“Bima
pulang, Pak. Bapak lagi nonton apa?”
“Ini
lagi coba nonton tontonan favorit Ibu, Bim. Sinetron ternyata seru juga.”
“Oh,
gitu. Bapak sama Ibu lanjut aja nontonnya. Bima permisi ke kamar dulu, mau
bersih-bersih.”
“Oke,
Bim.”
Bima
melanjutkan langkahnya menuju kamar untuk mandi dan berganti. Sekitar 10 menit
Bima berada di kamar mandi. Setelah mandi dan berganti pakaian, Bima memutuskan
untuk menghampiri Sakti yang masih berkutat dengan PR-nya di kamar.
“Ada
yang bisa Papa bantu?”
“Eh,
Papa udah pulang. Pas banget Sakti ada yang nggak ngerti nih, Pa. Ini cara
ngerjainnya gimana?”
Bima
mulai menjelaskan bagaimana cara mengerjakan soal matematika yang tidak
dimengerti oleh Sakti.
“Papa
hebat banget! Makasih ya, Pa.”
“Sama-sama.
Masih ada nggak soal yang belum kamu ngerti?”
Sakti
menggeleng sambil tersenyum.
“Nggak
ada, Pa. Semua PR-ku udah beres. Oh, iya Mama udah pulang belum?”
“Belum,
Sak. Mungkin kerjaannya lagi banyak.”
“Mama
selalu aja begini. Papa coba dong ngomong sama Mama.”
“Iya,
nanti Papa coba bicara sama Mama. Sekarang kita makan ya?”
“Iya.
Sakti minta gendong dong, Pa.”
“Gendong?
Anak kelas enam SD kok minta gendong? Malu dong. Kamu udah bukan anak kecil
lagi, Sakti.”
“Please,
Pa. Sakti pengen digendong Papa.”
“Sekali
ini aja ya?”
“Oke,
Pa.”
Bima
mulai menggendong Sakti keluar kamar.
“Papa
gendong!” ujar Nanda—adik Sakti—yang tiba-tiba keluar dari kamarnya.
“Gantian
ya, Sak? Adikmu minta gendong.”
“Yah,
padahal baru bentar banget. Iya, deh.”
“Mama
mana, Pa?” ujar Nanda.
“Mama
belum pulang.”
“Nanda
kangen Mama.”
“Sabar
ya, Sayang. Mama bentar lagi pulang. Sekarang kita makan malam dulu ya?”
Bima
mengajak Sakti dan Nanda ke ruang makan. Di ruang makan sudah ada Destiana dan
Afan menunggu. Hidangan makan malam sederhana telah tertata rapi di atas meja
makan, ada sayur lodeh, tahu dan tempe goreng.
“PR-nya
udah selesai, Sak?”
“Udah,
Opa. Tadi dibantu sama Papa.”
“Pinternya
cucu Opa. Aline belum pulang, Bim?”
“Belum,
Pak. Sepertinya Aline pulang telat lagi.”
“Apa
dia nggak ngabarin kamu?”
“Hmm
… nggak ada, Bu.”
“Coba
kamu hubungi dia. Tanyain pulang jam berapa. Nggak baik kalau seorang perempuan
pulang terlalu malam.”
“Iya,
Bu. Bima coba chat Aline deh.”
Bima
meraih ponselnya untuk menghubungi Aline.
Aline
♥️
18.00 Lin, kamu di
mana?
18:00 Kok belum
pulang?
18:00 Kamu selalu
aja begini.
18:00 Anak-anak
nyari kamu nih.
18:01 Kamu pulang
jam berapa?
“Gimana,
Bim? Udah dapat balesan?”
Bima
menggeleng.
“Belum,
Bu. Lebih baik kita makan duluan aja.”
“Beneran
nggak apa-apa kita makan tanpa Aline?”
“Ya,
nggak apa-apa, Bu. Aline bisa makan malam di luar.”
“Iya,
Oma. Papa bener. Sakti udah laper banget.”
“Ya,
sudah. Sekarang kita mulai makan malamnya. Jangan lupa berdoa.”
“…”
Di
sela-sela makannya, Bima terus mengecek layar ponselnya berharap mendapatkan
pesan balasan dari sang istri yang tak kunjung pulang. Sesekali ia melirik ke
arah pintu, berharap suara mobil Aline segera terdengar. Bima mencemaskan sang
istri. Selesai makan malam, Sakti mengajak Bima mengobrol di teras depan.
Sementara itu, Nanda ikut dengan Destiana untuk dimandikan.
“Sakti
mau bicara apa sama Papa? Sakti ada masalah?”
Sakti
menggeleng.
“Menurut
Papa, Mama masih sayang sama kita nggak?”
“Masih
dong, Sakti. Kenapa kamu tanya begitu?”
“Sakti
merasa Mama udah nggak sayang sama kita. Mama akhir-akhir ini terlalu sibuk
sama pekerjaannya. Pulangnya selalu telat, pagi pun jarang banget nganter Sakti
ke sekolah. Sakti kangen sama Mama yang dulu.”
“Mama
kerja juga buat kita, Sakti.”
“Tetap
aja, Pa. Sakti maunya Mama tetap punya waktu buat Sakti dan Nanda.”
“Nanti
Papa coba bicara sama Mama ya? Oh, iya gimana sekolah kamu? Lancar-lancar aja?”
“Ya,
gitu deh, Pa. Pinter aja ternyata nggak cukup.”
“Maksudnya?”
“Temen-temen
Sakti kalau main pasti nggak mau ngajak Sakti.”
“Kenapa?”
“Ya,
kata mereka ‘Percuma ajak Sakti, dia nggak punya duit!’ Sakti selalu direndahin,”
ujar Sakti dengan suara mulai serak, menahan nangis.
“Bukannya
Papa kasih Sakti uang jajan setiap hari?”
“Iya,
sih, tapi uangnya kurang, Pa. Sekali makan dan jajan, uangnya langsung habis.”
“Jadi
Sakti mau minta naik uang jajan nih?”
“Iya,
tapi itu juga kalau boleh, Pa. Sakti nggak akan maksa,” ujar Sakti sambil
menyeka air matanya yang tadi sempat turun.
“Oke,
mulai besok uang jajan Sakti naik jadi 25 ribu.”
“Beneran,
Pa?”
“Iya,
biar Sakti semangat belajarnya. Belajarnya harus makin rajin ya?”
“Pasti,
Pa. Makasih Papa selalu ngertiin aku.”
“Sama-sama,
Udah jangan sedih lagi.”
“Iya,
Pa. Oh, iya Papa bisa coba telepon Mama? Mama kok jam segini masih belum pulang
ya? Sakti khawatir sama Mama.”
“Papa
coba telepon ya?”
Bima
meraih ponselnya, mencoba menghubungi Aline dengan loud speaker agar
Sakti dapat mendengar juga.
“Maaf,
nomor yang Anda panggil sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan
cobalah beberapa saat lagi.”
“Yah,
HP Mama mati. Mama ke mana sih, Pa?”
“Entahlah.
Apa Papa coba telepon ke kantornya?”
“Coba,
Pa.”
“Maaf,
nomor yang Anda panggil tidak dapat menerima panggilan Anda. Cobalah beberapa
saat lagi.”
“Ah,
Mama! Kenapa susah banget sih dihubungi?”
“Entahlah,
mungkin HP-nya lowbatt dan telepon kantornya lagi rusak.”
“Bisa
jadi.”
“Kita
tunggu di dalam aja ya?”
“Oke,
Pa.”
Sementara
itu, di sisi lain Aline baru saja menyelesaikannya pekerjaan kantornya. Saat
ini, ia tengah membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang. Namun,
tiba-tiba saja suara telepon kantornya berdering. Aline mengangkat telepon itu
sambil menghela napas panjang.
“Aline,
kamu belum pulang ‘kan? Tolong kamu cek email yang barusan Mama kirim. Kamu
lanjutkan laporannya sekarang ya?”
“Harus
banget sekarang, Ma? Aline baru aja mau pulang. Bima, Sakti, dan Nanda pasti
nungguin Aline di rumah.”
“Laporannya
harus dikirim ke klien malam ini, Lin. Kamu harus profesional dong. Mama tunggu
laporannya.”
“Iya,
Aline selesaikan sekarang.”
Setelah
panggilan terputus, Aline kembali menghela napas panjang.
“Kenapa
harus aku lagi? Bukannya laporan ini seharusnya dikerjakan oleh marketing
staff? Aku punya keluarga yang harus aku urus. Aku harus ngabarin Bima.”
Aline
meraih ponselnya untuk menghubungi Bima. Sayangnya, ponsel Aline mati total
karena kehabisan daya. Aline memutuskan untuk mengisi daya ponselnya itu
terlebih dahulu. Aline pun melanjutkan pekerjaannya, mengerjakan laporan yang
baru saja diberikan.
“Semangat,
Aline! Kamu pasti bisa!”
-oOo-
Tak
terasa waktu telah menunjukkan pukul 20.00 malam. Aline akhirnya berhasil
menyelesaikan semua pekerjaannya hari ini. Aline meraih ponselnya yang tadi
diisi daya dua jam lalu. Begitu dinyalakan, Aline langsung mendapatkan beberapa
notifikasi pesan dan panggilan tidak terjawab dari Bima.
Bima
♥️
Lin,
kamu di mana? 18.00
Kok
belum pulang? 18.00
Kamu
selalu aja begini. 18.00
Anak-anak
nyari kamu nih. 18.00
Kamu
pulang jam berapa? 18:01
20:00 Maaf, baru
bales, Bim. HP aku tadi lowbatt dan baru beres di-charge.
20:01 Ini aku masih
di kantor. Kerjaanku baru beres.
Aline
mencoba menghubungi balik Bima, tetapi tidak diangkat.
“Bima
pasti marah. Aku harus pulang sekarang.”
Aline
bergegas mengambil kunci mobil serta tas yang semula berada di meja,
meninggalkan ruang kerjanya menuju parkiran. Ia melajukan mobilnya dengan
kecepatan sedang agar bisa tiba di rumah secepatnya. Satu jam perjalanan, Aline tiba di rumah.
Suasana rumah sudah sangat sepi dan gelap. Hanya ada satu lampu berwarna kuning
yang menyala untuk menerangi teras rumah. Selang beberapa saat, Bima keluar
menghampiri Aline yang baru saja keluar mobil.
“Masih
inget pulang kamu.”
Suara
Bima terdengar pelan, tetapi Aline dapat merasakan sikap dinginnya sang suami.
“Kamu ke mana aja jam segini baru pulang? Kamu
udah nggak peduli sama anak-anak?”
“Bukan
gitu, Bim. Aku bisa jelasin …”
“Aku
nggak perlu penjelasan kamu, Lin. Aku tahu pasti kamu banyak kerjaan, makanya
pulang telat terus. Kamu selalu aja begini. Sakti dan Nanda perlu kamu.”
“Aku
ngerti, Bim. Sekali lagi aku minta maaf. Aku janji besok-besok nggak akan
begini lagi.”
“Jangan
pernah berjanji kalau kamu nggak bisa nepatin janji itu. Sekarang kamu masuk
dan bersih-bersih. Masuknya pelan-pelan, takut anak-anak kebangun.”
Kasian Sakti ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDeleteKarina bener-bener dari awal emang ngeselin!
ReplyDeleteSeru ditunggu next-nya!
ReplyDeleteSabar ya, Sak.
ReplyDelete