Tak Ada Keluarga Sempurna (Chapter 3)

Chapter 3 : Jarak

Mobil Aline akhirnya tiba di perkarangan rumah setelah menembus keramaian ibu kota yang sudah memasuki akhir pekan. Diliriknya jam pada dasbor mobil telah menunjukkan pukul 22.30 malam. 

Akhirnya sampai juga,” ujarnya sambil menghela napas. 

Suasana rumah dan sekitarnya sudah amat sepi dan gelap. Aline segera memasuki rumah perlahan agar penghuni rumah lainnya tidak terbangun. Setelah memastikan pintu depan telah terkunci, Aline beranjak menuju kamar. Aline menyempatkan melihat Bima yang terlelap di atas tempat tidur sebentar. 

Aku pulang, Bim,” bisiknya pelan, meskipun ia tahu suaminya tidak akan mendengar 

Aline melanjutkan langkahnya ke arah lemari, mengambil pakaian ganti serta handuk, kemudian memasuki kamar mandi. Setelah berganti pakaian, Aline berbaring di samping Bima yang membelakanginya. Dulu, mereka selalu tidur saling berhadapan, berbagi cerita dan tawa sebelum terlelap. Lalu bagaimana dengan sekarang? Hanya ada jarak di antara mereka. 

Selamat tidur, Bim. Maaf, aku belum bisa nepatin janji aku.” 

Aline mulai memejamkan matanya hingga akhirnya ia terlelap. 

-oOo- 

Sabtu pagi sekitar pukul 06.00, Bima terbangun karena merasakan pelukan hangat Aline yang sudah lama tidak ia rasakan. Sebenarnya Bima rindu akan pelukan itu, tetapi kekecewaannya terhadap Aline membuat Bima akhirnya melepaskan pelukan itu perlahan. Setelah berhasil, ia langsung beranjak ke kamar mandi untuk bersiap berjualan hari ini. 10 menit berlalu, kini Bima tengah mengeringkan rambutnya yang masih setengah basah di depan pintu kamar mandi. Dimatikannya kipas angin yang semula bergerak ke kiri dan kanan menghembuskan angin sepoi-sepoi.  

Matanya kembali tertuju pada Aline yang masih terlelap. Setelah itu, ia beranjak pergi keluar kamar untuk sarapan. Begitu Bima keluar, ia berpapasan dengan Sakti. 

Akhirnya Papa keluar kamar juga. Kita jadikan ke Bakso Abim? 

Jadi dong, Sak. Kamu yakin mau ikut sama Papa? Nggak mau di rumah aja bareng Mama?” 

“Yakin dong. Nggak ah, di rumah pasti Mama ngurus kerjaan juga seperti Sabtu kemarin.” 

Ya, udah. Kita sarapan dulu ya? Habis sarapan baru kita pergi.” 

Siap, Komandan!” 

-oOo- 

Aline baru saja bangun dari tidurnya. Diliriknya jam yang terpasang di dinding sebelah kiri ranjang telah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Bima pun sudah tidak ada di sampingnya. 

Kenapa Bima nggak bangunin aku? Biasanya dia selalu bangunin aku. 

Aline menghela napas panjang, dengan langkah malas ia turun dari tempat tidur menuju kamar mandi. Setelah cuci muka dan membenarkan rambutnya, Aline keluar kamar. 

“Eh, Non Aline udah bangun,” ujar Bi Tum yang tiba-tiba lewat. 

“Bi Tum kok ada di sini?” 

Bibi disuruh sama Nyonya bantuin di sini.” 

“Oh, gitu. Bi Tum mau ke mana?” 

Ini mau ngambil handuk Nanda, Non. Dia mau mandi.” 

Ya udah, makasih ya Bi udah mau bantuin.” 

Sama-sama, Non.” 

“Oh, iya kok rumah sepi? Pada ke mana?” 

“Den Bima dan Sakti ke warung. Pak Afan juga pergi. Kalau  Bu Desti ada di depan. Lagi jualan.” 

“Oh, gitu. Makasih infonya, Bi.” 

Sama-sama. Bibi permisi dulu ya, Non.” 

Aline beranjak keluar menghampiri sang ibu mertua. 

Pagi, Bu.” 

Pagi, Lin. Kamu udah bangun rupanya.” 

Iya, Bu. Maaf, Aline kesiangan.” 

Nggak apa-apa. Kamu sudah sarapan?” 

Aline menggeleng. “Belum, Bu.” 

Ya, udah kamu makan dulu. Itu di meja makan ada nasi kuning buat kamu.” 

Oke, Bu. Makasih.” 

Sama-sama.” 

Aline beralih menuju ruang makan untuk sarapan. Di meja makan, Aline duduk seorang diri. Ia membuka tudung saji, mendapati seporsi nasi kuning beserta beberapa gorengan tertata rapi di atas meja makan. Aline tersenyum kecil, mengingat momennya bersama Bima waktu makan nasi kuning bersama. Sambil melahap nasi kuning, Aline memeriksa ponselnya. 

Kenapa Bima sama sekali nggak ngabarin aku? Apa aku udah nggak penting buat dia? Habis makan aku mau susul Bima ke Bakso Abim.” 

Setelah menghabiskan suapan terakhirnya, Aline kembali ke kamar. Mengganti pakaiannya dengan pakaian kasualkaus putih polos  dan celana jeans biru. Setelah memastikan semuanya rapi, Aline menghampiri Destiana untuk pamit. 

“Bu, Aline nyusul Bima dan Sakti ya?” 

“Oh, gitu. Hati-hati di jalan, Lin.” 

Aline menggangguk sambil tersenyum. Ia segera menaiki mobilnya dan berangkat menuju Bakso Abim. Saat tiba di Bakso Abim, Aline dapat melihat suasana yang begitu ramai. Beberapa pelanggan duduk di bangku panjang, menikmati semangkuk bakso dengan kuah yang mengepul. Dari balik gerobak terlihat Bima sedang menyiapkan pesanan dibantu oleh Ujangasistennya 

Sementara Sakti duduk di meja kasir ditemani karyawan lainnya yang bernama Andi untuk mencatat pesanan pelanggan. Langkah Aline melambat, ia memilih untuk memerhatikan sang suami dari kejauhan. Bima terlihat tenang, tetapi sorot matanya terasa berbeda apalagi saat Bima tak sengaja melihat keberadaan Aline. 

Aline sebenarnya ragu untuk menghampiri Bima dan Sakti ke dalam. Tangannya mengepal erat, hatinya bimbang. 

Apakah Bima dan Sakti masih mau menerima aku? 

Aline memberanikan diri melangkahkan kaki memasuki warung tersebut, menghampiri Sakti lebih dulu di meja kasir. 

Selamat datang, Bu Aline,” sambut Andi yang duduk di samping Sakti. 

Terima kasih, Ndi. Hai, Sayang. Mama pesen dong.” 

Biar aku yang urus, Om. 

Oke, deh.” 

Selamat datang. Mau pesen apa? Kebetulan kami ada menu baru Bakso Beranak Abim. Barangkali mau mencoba menu baru kami?” 

“Hmm … boleh. Mama pesen satu ya?” 

Oke, saya catat. Ada tambahan lain mungkin?” 

Itu aja. Cukup.” 

Totalnya jadi 45 ribu. Pembayarannya mau pakai cash, debit, atau QRIS?” 

“QRIS ya?” 

Aline tersenyum sambil mengarahkan ponselnya pada QR Code yang tersedia. 

Anak Mama pinter banget. Mama bangga sama kamu, Sayang. Pembayarannya sudah berhasil ya?” 

Terima kasih. Ini nomor mejanya. Silakan duduk di tempat yang tersedia ya?” 

Oke, Sayang.” 

Aline melangkah menjauhi kasir, kemudian duduk di salah satu meja yang tersedia dan menaruh nomor meja berangka 10 di atas mejanya. Aline tersenyum bahagia melihat warung bakso sang suami kembali ramai. Sepengetahuannya warung bakso ini sempat sepi dalam beberapa bulan terakhir hingga akhirnya dua cabang Bakso Abim terpaksa ditutup untuk efisiensi. Aline dari dulu sangat yakin bahwa Bima pasti bisa mencapai kesuksesan karena dia adalah orang yang mau berusaha dan pantang menyerah. Hal ini yang sangat disukai Aline dari diri Bima. 

Selang beberapa saat bakso beranak pesanan Aline diantar oleh Bima. 

Makasih, Bim. Launching menu baru kok nggak bilang-bilang aku sih, Bim?” 

Sama-sama. Memangnya kamu peduli? Bukannya pekerjaanmu jauh lebih penting dari aku?” respon Bima datar, sambil menatap ke arah lain—enggan menatap Aline. 

“Kata siapa? Bagiku kamu dan anak-anak tetap yang terpenting di hidupku. Aku minta maaf kalau akhir-akhir ini aku terlalu sibuk sama kerjaan. Kedepannya aku akan meluangkan waktuku lebih banyak untuk keluarga. Sekali lagi aku minta maaf, Bim. Kamu maafin aku ya? Please. Kasih aku kesempatan kedua. 

Bima terdiam sejenak. Kini matanya beralih menatap Aline. 

Oke, aku kasih kamu kesempatan kedua.” 

Beneran ini?” 

Iya, beneran.” 

Aline beranjak dari kursinya dan langsung memeluk Bima. 

Makasih udah maafin aku, Bim. 

Iya, tapi jangan diulangi lagi ya yang kemarin-kemarin?” 

Aline melepaskan pelukannya. 

Aku janji. Kemarin yang terakhir.” 

Aku harus balik. Kamu tunggu di sini ya?” 

Oke, aku juga mau coba menu baru kamu.” 

Selamat menikmati.” 

Aline melepaskan pelukannya dan kembali duduk untuk mencoba menu terbaru Bakso Abim. Aline bersyukur bisa meluluhkan hati Bima. Aline berharap hubungannya dengan Bima akan membaik setelah ini. Masalah meluluhkan hati Bima udah, sekarang tinggal meluluhkan hati Sakti. Sebelum mencoba pesanannya, Aline sengaja memanggil Sakti. 

“Ada yang bisa dibantu?” 

Temenin Mama makan. Satu porsi kebanyakan buat Mama. Kita makan berdua ya, Sayang. Sakti udah nyoba belum menu terbaru Bakso Abim?” 

Sakti menggeleng pelan. 

Belum.” 

“Nah, pas banget. Sakti cobain bareng Mama ya? Please.” 

Hmm … gimana ya? Sakti masih kesel sama Mama.” 

“Mama minta maaf. Mama janji akan meluangkan waktu Mama lebih banyak untuk Papa, kamu, dan Nanda. Mau ya Sakti maafin Mama?” 

Sakti tidak langsung menjawab. Ia diam untuk beberapa saat sambil menatap Aline. 

Janji Mama bisa Sakti pegang nggak?” 

Tentu, bisa. Kali ini Mama janji sama Sakti. Kasih Mama kesempatan kedua.” 

Okay, Sakti maafin.” 

Makasih, Sayang. Sekarang kita coba menu barunya ya?” 

Sama-sama, Ma. Oke, Sakti juga penasaran sama rasanya. Dari aromanya sih Sakti yakin banget rasanya pasti enak. Pelanggan lain pun pada suka.” 

“Kita coba sama-sama ya?” 

Aline dan Sakti mulai menikmati Bakso Beranak Abim dengan penuh kebahagiaan. Jarak itu kini sudah kembali dekat. Aline berharap jarak itu tidak akan ada lagi di antaranya, Bima, Sakti, dan Nanda. 

To be continued ... © 2025 WillsonEP. Terima kasih sudah mampir.🙌

Comments

Post a Comment

Trending This Week 🔥🔥

📣 BESOK! Bisakah Aku Bahagia Eksklusif di KaryaKarsa

My Neighbor, My Lecturer (Chapter 8)