Tak Ada Keluarga Sempurna (Chapter 6)
Chapter 6 : Pencarian Jati Diri
Matahari
sudah mulai bersinar terik ketika Sakti dan teman-temannya berhasil tiba di
sebuah warung setelah berhasil memanjat
tembok sekolah yang lumayan tinggi. Mereka yang berjumlah lima orang memutuskan
untuk duduk di meja panjang yang tersedia, memesan gorengan sebagai cemilan
kepada pemilik warung. Semuanya terlihat tertawa lega—kecuali Sakti yang
terlihat lebih banyak diam, masih dibayangi rasa bersalah.
“Kenapa
lo diam aja, Sak? Lo takut ya bolos sekolah?” tanya Jimmy, seorang yang menjadi
pimpinan kelompok ini. Tatapannya sinis menatap Sakti.
“Nggak
kok. Gue hanya sedikit lelah habis lari-lari tadi.”
“Jangan
bohong! Gue bisa lihat dari ekspresi wajah lo! Santai aja kali! Nggak akan
ketauan!”
“Oke,”
jawab Sakti singkat. Sebenarnya ia sangat merasa bersalah atas tindakannya yang
membolos sekolah, tapi demi dapat diterima oleh kelompok ia terpaksa mengikuti
semua syarat yang diajukan. Selang beberapa saat, pemilik warung muncul
membawakan gorengan.
“Bolos
lagi lu pada?” tanya sang pemilik warung.
“Iya,
Bang. Biasa lagi males sekolah.”
“Oh,
gitu. Ini siapa? Anggota baru? Gue baru liat lo di sini,” ujar Bang Jaka,
pemilik warung sambil menatap tajam ke arah Sakti.
“Calon
anggota baru, Bang,” respon Jimmy
“Oh,
gitu. Siapa namanya?”
“Sakti,
Bang,” jawab Sakti sedikit takut melihat perawakan Bang Jaka yang kekar,
berotot, dan memiliki banyak tato di tubuhnya.
“Salam
kenal. Lu bisa panggil gue Bang Jaka.”
“Oke,
Bang Jaka.”
“Bagus.
Ini gorengan kalian selamat menikmati.”
“Makasih,
Bang.”
“Yoi,
itu seragam kalian jangan ditaro di luar. Masukin ke tas. Gue nggak mau warung
gue kena masalah gara-gara kalian.”
“Oh,
iya lupa, Bang.”
Setelah
semuanya memasukkan seragam ke dalam tas, mereka pun memulai menikmati hidangan
gorengan di atas meja.
“Berarti
ada satu syarat lagi yang harus lo lakuin biar lo bisa resmi masuk geng gue,
Sak. Lo sanggup nggak?”
“Gue
pasti sanggup, Jim.”
“Yakin
lo? Bukannya lo anak mami?”
“Yakin.
Apapun syaratnya pasti gue lakuin.”
“Oke,
kalau lo memang beneran yakin.”
Jimmy
langsung menyodorkan sebungkus rokok yang masih tersegel beserta korek gas pada
Sakti.
“Untuk
masuk geng gue, lo harus bisa ngerokok!”
Sakti
terdiam menelan ludahnya.
“Lo ga
bisa? Ya, udah lo gak bisa gabung geng gue. Payah lo!”
Setelah
berpikir beberapa saat, Sakti akhirnya menerima barang itu dengan terpaksa.
“Oke,
gue ngerokok sekarang!”
“Oke,
habisin satu bungkus ya?”
“Siapa
takut!”
Sakti
mulai membuka bungkusan rokok tersebut, kemudian mengambil sebatang rokok dan
membakarnya. Sakti menarik napas dalam sebelum ia menghisap rokoknya untuk
pertama kali. Begitu asap rokok memasuki paru-parunya, dadanya terasa sesak, dan
kepalanya sedikit pening, hingga ia terbatuk-batuk kecil. Jimmy dan teman-teman
yang lain hanya terkekeh-kekeh menunggu Sakti menyerah.
“Nyerah
aja deh, Sak. Kayaknya lo memang nggak bisa gabung geng ini.”
“Kata
siapa? Gue bisa kok! Ini harus banget abis sebungkus, Jim?”
“Kenapa
lo nggak sanggup? Payah lo!”
“Kalau
sebungkus kayaknya gue nggak kuat, Jim. Gue baru soalnya.”
“Ya
udah, karena lo baru jadi minimal dua batang baru lo bisa gabung.”
“Oke.”
Selang
30 menit, Sakti berhasil menghabiskan dua batang rokok. Sekarang ia resmi
bergabung dengan geng di bawah pimpinan Jimmy yang bernama Cakrawala. Sakti
merasa lega karena ia bisa memenuhi syarat yang diajukan oleh Jimmy.
“Selamat
bergabung di geng Cakrawala, Sak. Akhirnya lo bisa gabung juga!” ujar Roni,
salah satu anggota Cakrawala.
“Thanks,
Ron.”
-oOo-
Tak
terasa waktu telah menunjukkan pukul 13.00 kurang beberapa menit. Sakti dan
teman-temannya telah kembali ke sekolah dan tengah bersembunyi di toilet sambil
menunggu bubaran sekolah. Udara di dalam toilet terasa pengap, bau khas
sabun cuci tangan bercampur dengan aroma rokok yang menempel pada seragam mereka.
Di dalam bilik kamar mandi, Sakti memilih duduk di atas kloset yang tertutup,
mencoba mengatur napasnya yang masih berat akibat merokok tadi. Sementara
Jimmy, Roni, Joko, dan Saka tengah asyik berbincang pelan membahas kejadian di
warung tadi.
“Sak,
lo baik-baik aja ‘kan?” tanya Roni dari luar bilik.
“Ya,
gue baik-baik aja. Gue mau kencing.”
“Oh,
gitu. Oke.”
Sakti
beranjak berdiri, membuka kloset, kemudian buang air kecil. Tak lama, ia keluar
bersamaan dengan bel pulang sekolah yang berbunyi.
“Sekarang
saatnya kita keluar,” aba-aba Jimmy yang baru saja mengecek kondisi di luar toilet.
Murid-murid
mulai berhamburan keluar kelas menuju gerbang diikuti oleh Sakti dan
teman-temannya. Mereka masuk ke dalam rombongan murid-murid agar tidak ada yang
mencurigai. Dari kejauhan Sakti melihat keberadaan Bima sudah berada di
parkiran. Sakti pun langsung menghampiri Bima setelah berpamitan dengan
teman-teman yang lain.
“Papa!”
“Akhirnya
kamu keluar juga, Sak. Gimana sekolahnya hari ini?”
“Lancar
dong, Pa. Papa udah lama di sini?”
“Nggak
kok baru lima menitan. Kamu mau Papa antar pulang atau ke Bakso Abim dulu?”
“Hmm
… pulang aja. Sakti capek, Pa.”
“Ya,
udah. Papa antar Sakti pulang ya?”
“Oke,
Pa.”
Setelah
Sakti memakai helm dan naik di belakang, Bima langsung menjalankan motornya
menuju rumah. Sepanjang perjalanan pulang, Sakti berusaha mengontrol ekspresi
wajahnya agar kebohongannya tidak terbongkar. Namun, rasa bersalah itu terus
menghantui pikirannya.
“Bagaimana
kalau Papa tahu kalau aku bolos hari ini? Terus gimana kalau Papa tahu aku
ngerokok? Ah, aku harus bagaimana?”
Sakti
melirik ke arah spion untuk memastikan Bima tidak curiga padanya. Terlihat
dalam pantulan kaca spion, Bima fokus menyetir dengan wajah tenang.
“Syukurlah
Papa kayaknya biasa-biasa aja. Semoga aja Papa nggak curiga sama aku.”
Selang
30 menit perjalanan, mereka akhirnya tiba di tujuan. Motor Bima langsung memasuki
perkarangan rumah.
“Papa
nggak langsung ke Bakso Abim?”
“Nggak,
Sak. Papa mau urus kamu dulu. Oma dan Opa lagi pergi soalnya.”
“Oh,
ya? Opa sama Oma pergi ke mana?”
“Oma
nganterin Opa kontrol, Sak.”
“Oh,
gitu. Ya, udah Sakti masuk duluan ya, Pa.”
“Tunggu
dulu. Papa perlu bicara sama Sakti.”
Perasaan
Sakti kembali merasa tidak tenang begitu Bima ingin berbicara dengannya.
“Papa
mau bicara sama aku? Apa Papa udah mulai curiga sama aku? Apa mulut aku bau
rokok? Ah, aku harus bagaimana?”
“Sak,
kenapa bengong? Kita bicara di dalam ya? Di luar panas.”
“Hmm
… oke, Pa.”
Dengan
langkah berat, Sakti mengikuti Bima masuk ke dalam rumah. Sakti hanya bisa
pasrah dengan apa yang terjadi setelah ini. Suasana ruang tamu yang biasa
terasa nyaman, kini terasa sangat menegangkan, apalagi setelah Bima melontarkan
sebuah pertanyaan.
“Kenapa
di sini bau rokok ya, Sak?”
Meskipun
Bima bertanya dengan ekspresi datar dan tenang, berhasil membuat Sakti menelan
ludahnya. Tangannya mulai berkeringat. Ia berharap sang ayah tidak curiga bahwa
bau rokok tersebut berasal dari seragamnya.
“Masa
sih, Pa? Mungkin dari luar.”
To be continued ... © 2025 WillsonEP. Terima kasih sudah mampir.🙌
Hayoloh ketauan nggak? 🤣🤣
ReplyDelete